Presiden Tagih Komitmen Instansi Pemerintah Belanja Produk Dalam Negeri
Pemerintah mesti peka krisis di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian. Belanja pemerintah pun harus diprioritaskan untuk produk dalam negeri demi meningkatkan nilai tambah dan memulihkan ekonomi Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Untuk kesekian kalinya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki kepekaan terhadap krisis di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian. Seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, diminta merealisasikan komitmen penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk belanja produk dalam negeri. Selain menciptakan nilai tambah bagi produk dalam negeri, aksi itu juga diyakini dapat memulihkan perekonomian nasional.
Permintaan itu kembali disampaikan Presiden Jokowi dalam acara Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (14/6/2022). Menurut dia, belanja pemerintah pusat maupun belanja pemerintah daerah yang utama harus mampu menciptakan nilai tambah.
”Jangan beli hanya beli, belanja hanya belanja, harus memberikan nilai tambah pada negara ini. Yang kedua, bisa membangkitkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, men-trigger (memicu) pertumbuhan ekonomi. Yang ketiga, memang efisien, ini harus,” kata Presiden Jokowi.
Baca juga: Optimalkan Pengadaan dari Produk Dalam Negeri
Permintaan agar instansi pemerintah membelanjakan anggarannya untuk produk lokal sudah beberapa kali disampaikan Presiden. Sampai saat ini, realisasi dari komitmen belanja produk dalam negeri telah mencapai 45 persen dari total target Rp 400 triliun.
Jangan beli hanya beli, belanja hanya belanja, harus memberikan nilai tambah pada negara ini. Yang kedua, bisa membangkitkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, men- trigger (memicu) pertumbuhan ekonomi. Yang ketiga, memang efisien, ini harus.
APBN senilai Rp 2.714 triliun dan APBD Rp 1.197 triliun jangan sampai justru digunakan untuk membeli produk impor. Presiden mengaku sedih apabila uang rakyat, uang yang dikumpulkan dengan cara yang tidak mudah dari pajak; baik Pajak Penjualan (PPn), Pajak Penghasilan (PPh), PPh badan, PPh perseorangan, PPh karyawan, dari bea ekspor, dan PNPB (penerimaan negara bukan pajak) justru digunakan untuk belanja produk impor.
”Bodoh sekali kita. Maaf, kita ini pintar-pintar, tapi kalau caranya seperti itu bodoh sekali kita. Saya harus ngomong apa adanya. Ini APBN lho, ini uang APBD lho, (kok) belinya produk impor. Nilai tambahnya yang dapat negara lain, lapangan kerja yang dapat orang lain, apa enggak bodoh kita ini,” tambah Presiden Jokowi.
Dalam kesempatan itu, Presiden juga menyampaikan bahwa situasi ekonomi global masih tidak menentu. Karena itu, pejabat pemerintahan dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap krisis.
”Bank Dunia, IMF, menyampaikan bahwa akan ada kurang lebih 60 negara yang akan ambruk ekonominya, yang 40 diperkirakan pasti. Inilah ketidakpastian yang tadi saya sampaikan. Kita semuanya harus tahu, harus mempunyai kepekaan, harus mempunyai sense of crisis semuanya,” ujar Presiden.
Presiden mencontohkan, dua hari yang lalu dirinya mendapat telepon dari seorang perdana menteri. ”Beliau meminta-minta betul: ’Presiden Jokowi tolong dalam sehari, dua hari ini, kirim yang namanya minyak goreng. Stok kami betul-betul sudah habis dan kalau barang ini tidak datang akan terjadi krisis sosial, ekonomi yang berujung juga pada krisis politik’. Dan, itu sudah terjadi, ini negara yang namanya Sri Lanka,” tuturnya.
Pengawalan serius
BPKP serta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pun diminta mengawal serius program belanja produk dalam negeri dan harus berhasil. ”Saya tahu banyak kementerian, banyak lembaga, banyak daerah tidak mau beli produk dalam negeri alasannya macam-macam, spek-nya (spesifikasinya) enggak paslah, kualitasnya enggak baiklah, alasan banyak sekali. Itu yang Bapak Ibu kawal,” tegas Presiden.
Menurut Presiden Jokowi, terdapat 842 produk impor di dalam e-katalog belanja pemerintah yang sebetulnya produksi di dalam negerinya ada. ”Untuk apa itu? Coret. Sebanyak 842 (produk impor) itu drop, kalau memang produknya dalam negeri sudah ada. Untuk apa dipasang di e-katalog? Inilah tugasnya APIP, tugasnya BPKP,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi mengapresiasi bahwa jumlah pemerintah daerah yang memiliki e-katalog produk lokal sudah meningkat. Sebelumnya, baru ada 46 pemda yang memiliki e-katalog lokal dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi. Jumlah ini sekarang telah meningkat menjadi 123 pemda.
Produk lokal yang ditemui Presiden Jokowi di sejumlah daerah terbukti tak kalah berkualitas dibandingkan barang impor. ”Saya baru berapa hari yang lalu ke Wakatobi, jauh sekali dari sini, dan saya kaget produk-produk lokalnya sudah terkemas dalam kemasan yang sangat baik, branding-nya bagus, kok beli impor, banyak sekali kok macamnya,” kata Presiden.
Baca juga: Presiden Ancam Sanksi Instansi Pemerintah yang Lebih Suka Barang Impor
Presiden Jokowi kemudian mencontohkan beberapa produk dalam negeri yang harganya tidak kalah jauh dibandingkan produk impor, seperti mesin jahit low speed, pipa oksigen, dan alat mekanik. Meskipun harga terpaut sedikit lebih mahal, produk lokal tetap harus dibeli karena bisa memberi nilai tambah di dalam negeri melalui penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
”Lima tahun yang lalu saya jengkel betul. Saya sudah memerintah BUMN untuk beli pipa. ’Enggak ada Pak, spek dalam negeri Pak, spek-nya ini Pak, nomornya ini Pak, ukurannya ini. Terpaksa kita harus impor’. Apa sesulit ini mau buat pipa? Saya ke pabrik pipa, ’Semuanya ada Pak, Bapak mau cari apa ada, ukuran apa ada, kualitas apa ada. Ini kita ekspor semuanya Pak,” ujar Presiden.
Menurut Presiden, belanja produk dalam negeri (PDN) dapat memacu pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi, dan memperluas lapangan kerja. Saat ini, realisasi dari komitmen belanja produk dalam negeri telah mencapai 45 persen dari total target Rp 400 triliun. Berbeda dengan BPKP yang menyebut total komitmen senilai Rp 720 triliun, Presiden Jokowi menyebut bahwa komitmen belanja produk lokal ini sudah Rp 839 triliun yang diminta segera direalisasikan.
BPKP pun diminta secara konsisten terus mengawal, menjaga, dan memberikan sanksi terhadap kepatuhan kementerian, lembaga, pemda, BUMN, BUMD agar memenuhi target belanja produk dalam negeri. BPKP juga harus menyinergikan upaya ini dengan mengawal semua APIP di daerah dan unit-unit lain untuk menjalankan program belanja dalam negeri dengan penuh kedisiplinan.
Identifikasi masalah
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh menuturkan, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa permasalahan utama yang harus diselesaikan. Pada tahap perencanaan, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (KLD) kesulitan mengidentifikasi belanja yang dapat dioptimalkan untuk menyerap produk dalam negeri. ”Ketiadaan daftar rujukan yang komprehensif mengenai PDN dengan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) yang baik menjadi salah satu penyebab sulitnya merencanakan belanja produk lokal,” ujarnya.
Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan, menurut Yusuf Ateh, masih terdapat produk impor yang dibeli pemerintah walaupun telah terdapat produk lokal pengganti. Berdasarkan pengawasan BPKP, setidaknya terdapat 842 produk impor yang dibeli melalui e-katalog yang sudah ada produk lokalnya.
Keengganan untuk menyerap PDN tersebut salah satunya dipicu harga produk lokal yang relatif lebih tinggi dibandingkan produk impor. ”Dari sampel pengujian kami atas 853 produk impor yang dibeli, sebanyak 560 produk atau sekitar 66 persen harganya lebih murah dibandingkan produk lokal,” kata Yusuf Ateh.
Sementara itu, terkait belanja impor yang dikarenakan ketiadaan produk lokal pengganti, menurut dia, perlu segera didorong pengembangan industri lokal terkait. ”Terakhir, (menyangkut aspek) pengendalian dan pemantauan oleh manajemen, kita lihat masih belum optimal dalam memastikan kecepatan dan efektivitas belanja produk lokal oleh KLD dan BUMN. Hal ini memerlukan penguatan tata kelola, pengendalian intern, dan pengawasan intern yang efektif,” ujar Yusuf Ateh.
Merujuk arahan Presiden Jokowi, dia menuturkan bahwa pemanfaatan belanja pemerintah harus dimaksimalkan untuk menyerap PDN sehingga dapat mengalirkan manfaat secara maksimal kepada aktivitas ekonomi dalam negeri. ”Merespons hal tersebut, pengawasan intern telah kami lakukan secara intensif untuk mengawal disiplin prioritas belanja pemerintah untuk PDN,” kata Yusuf Ateh.
Sebagai perbandingan, hingga triwulan I-2022, e-katalog Indonesia masih didominasi produk impor; baik dari sisi produk tayang maupun realisasi transaksi. Namun, setelah terbitnya Inpres No 2/2022, kondisi tersebut berangsur membaik.
”Pada minggu ketiga Mei 2022, produk lokal telah mendominasi produk tayang di e-katalog nasional meskipun secara transaksi produk informasi lebih tinggi. Dan, alhamdulillah, Bapak Presiden, sampai dengan kemarin, 13 Juni 2022, PDN yang tayang di e-katalog dan transaksinya untuk pertama kalinya telah berhasil menyaingi produk impor,” kata Yusuf Ateh.
Hasil validasi BPKP juga menunjukkan per 13 Juni kemarin, KLD dan BUMN telah berkomitmen untuk menyerap produk lokal senilai Rp 720,88 triliun. ”Ini hasil validasi yang real-nya, Pak. Sementara realisasinya, belanja PDN telah mencapai Rp 180,72 triliun. Ini hasil pemeriksaan, Pak, atau 45,18 persen dari target Rp 400 triliun,” katanya.