Penerapan perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang bakal segera diterbitkan dinilai menyerupai sistem kontrak penangkapan ikan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji coba perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota bakal segera diterapkan. Tahap uji coba akan dilaksanakan pada tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara atau PPN Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara, dan PPN Kejawanan di Jawa Barat.
Perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusul pembatalan pemberlakuan sistem kontrak penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang menuai pro dan kontra. Perizinan khusus memiliki jangka waktu 15 tahun, di mana alokasi jumlah kapal per jenis alat tangkap dalam izin usaha perikanan (SIUP) dialihkan ke alokasi kuota tangkapan ikan. Skema penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga beralih dari praproduksi ke pascaproduksi.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menyebutkan, uji coba perizinan khusus dijadwalkan akan dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Dalam uji coba perizinan khusus itu tercatat 12 perusahaan penerima kuota tangkapan ikan yang tersebar pada zona industri 1-4. Sebagian besar perusahaan itu bekerja sama dengan investor luar negeri dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Kerja sama investasi itu, antara lain, dengan perusahaan asal China, Thailand, Taiwan, dan Malaysia. Dari 12 perusahaan, baru satu perusahaan yang tercatat sudah memiliki kapal, yakni Grup SIS di Tual. Selebihnya, dalam proses pengadaan kapal dari luar negeri.
Zona industri perikanan yang menerapkan kuota penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera), WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat), dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Zaini menambahkan, sebagian dari 12 perusahaan perikanan itu merupakan perusahaan lama dengan kepemilikan kapal-kapal buatan luar negeri yang pernah terdampak kebijakan moratorium kapal eks asing pada 2014. Perusahaan itu telah berganti nama, di antaranya perusahaan di Tual dan Wanam, Merauke. ”Perusahaan baru, tetapi beberapa di antaranya masih dimiliki orang lama,” katanya.
Pengadaan kapal-kapal perikanan dari China saat ini tengah menunggu penandatanganan nota kesepahaman (MoU) bidang penangkapan ikan antara Pemerintah Indonesia dan China. MoU itu akan menjadi landasan kerja sama investasi kapal perikanan dari pelaku usaha kedua negara, serta memastikan investasi berjalan sesuai aturan, mulai dari registrasi kapal hingga pertukaran data pendaratan ikan.
Sebagian dari 12 perusahaan perikanan itu merupakan perusahaan lama dengan kepemilikan kapal-kapal buatan luar negeri yang pernah terdampak kebijakan moratorium kapal eks asing pada 2014.
”Dengan MoU ini diharapkan semua pengadaan kapal ikan hasil kerja sama diawasi oleh kedua pihak (negara), serta ada kesepahaman dalam penegakan hukum. Pemerintah China juga berkepentingan untuk perlindungan investasi,” ujar Zaini.
Mirip sistem kontrak
Zaini menambahkan, sosialisasi publik terkait penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah dilakukan. Skema perizinan khusus itu menyerupai sistem kontrak, hanya tidak ada penandatanganan kontrak antara pemerintah dan pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya ikan.
”Aturan main perizinan khusus hampir sama dengan sistem kontrak, hanya tidak ada teken kontrak,” katanya.
Adapun peraturan pemerintah terkait penangkapan ikan terukur saat ini masih disusun. Meski peraturan pemerintah penangkapan ikan terukur belum terbit, pelaku industri perikanan penerima kuota tangkapan telah meneken kesanggupan untuk mematuhi seluruh peraturan penangkapan ikan terukur yang terbit kemudian.
Saat ini, pemerintah mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, serta PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam waktu dekat, lanjut Zaini, pemerintah juga akan menerbitkan keputusan menteri terkait penetapan kuota penangkapan ikan per zona industri. Adapun kuota tangkapan ikan yang diberikan maksimum 100.000 ton, tergantung jenis ikan. Perusahaan-perusahaan dapat melakukan konsorsium untuk mencapai kuota tangkapan yang diberikan.
Senior Advisor Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Harimuddin mengemukakan, KKP telah mendengarkan masukan publik dengan membatalkan sistem kontrak penangkapan ikan terukur yang menuai polemik publik. Sistem kontrak untuk pemanfaatan sumber daya alam, termasuk sumber daya ikan, bertentangan dengan konsitusi, karena memosisikan negara sama dengan swasta.
Harimuddin mengingatkan agar perizinan khusus bukan merupakan manipulasi atau penamaan lain atas sistem kontrak. ”Jangan sampai sistem perizinan khusus hanya ‘berganti baju’ dari sistem kontrak agar terkesan sesuai dengan aturan. Padahal, faktanya tetap melegalisasi sistem kontrak. Ini yang perlu kita waspadai,” katanya.
Di sisi lain, perizinan khusus dikhawatirkan berpotensi melahirkan diskriminasi baru dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. ”Musti juga diperjelas apa yang membuat industri mendapatkan izin khusus, sebab nelayan kecil juga punya hak memanfaatkan sumber daya ikan,” katanya.