Sistem Kontrak untuk Industri Perikanan Diberlakukan pada 2022
Pemerintah akan segera menetapkan zona industri perikanan dengan sistem kuota penangkapan ikan bagi investor. Penangkapan terukur perlu diimbangi dengan pengawasan untuk memastikan sumber daya ikan lestari.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan bagi industri perikanan. Sistem itu merupakan bagian dari kebijakan penangkapan terukur dan berkelanjutan yang akan diterapkan mulai tahun 2022.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini mengemukakan, kebijakan penangkapan terukur merupakan upaya menyeimbangkan prinsip ekonomi dan ekologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Konsep penangkapan terukur yang berbasis kuota tangkapan akan diterapkan pada seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI mulai tahun 2022.
Kebijakan penangkapan terukur di WPP RI mencakup tiga zona, yakni zona industri perikanan (fishing industry), zona nelayan lokal, dan zona perlindungan laut. Adapun zona industri perikanan mencakup empat zona, yakni WPP 716 (Laut Sulawesi) dan 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur), WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat), WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara), serta WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan).
Kuota tangkapan ikan didasarkan pada hasil penghitungan stok ikan di laut dan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB). JTB akan menentukan jumlah kapal, ukuran kapal, dan alat tangkap yang diizinkan di setiap WPP RI. Dengan sistem kontrak, perusahaan dinilai memiliki kepastian hukum untuk memanfaatkan kuota tangkapan ikan. Pemerintah juga dapat memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi.
”Sistem kontrak ini dalam rangka memberikan jaminan kepada perusahaan yang akan berinvestasi di bidang penangkapan ikan sehingga selama masa kontrak (perusahaan) memiliki kepastian hukum. Sistem kontrak bisa berlaku hingga 20 tahun,” kata Zaini, dalam Dialog Penerapan Perikanan Berkelanjutan dan Terukur Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Selasa (14/9/2021).
Kebijakan penangkapan terukur merupakan upaya menyeimbangkan prinsip ekonomi dan ekologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan.
Zona industri perikanan akan diisi industri yang memiliki kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT). Nelayan lokal dengan ukuran kapal di bawah 30 GT tetap dapat menangkap ikan dengan kuota pada zona industri perikanan, yakni dengan batas perairan 12 mil, serta kuota untuk kegiatan hobi atau wisata memancing.
Dari data KKP, jumlah tangkapan yang dibolehkan per tahun 2019 sebanyak 9,45 juta ton dengan proyeksi nilai produksi sebesar Rp 229,3 triliun. Pemerintah telah menargetkan pemasukan dari PNBP tahun ini senilai Rp 1 triliun dan pada 2024 menjadi Rp 12 triliun.
Ketua Unit Kerja Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Anastasia mengemukakan, proyeksi ekonomi terkait penangkapan ikan terukur akan memberikan multidampak hulu-hilir dari sisi industri, lapangan kerja, dan perputaran uang. Di sisi hulu, pihaknya memperkirakan perputaran uang pada zona industri perikanan bisa mencapai Rp 146,68 triliun.
Pendataan
Menurut Zaini, pemerintah akan mengutamakan pelaku usaha lokal yang berkelompok atau tergabung dalam koperasi untuk terlebih dulu memperoleh kuota tangkapan. Selebihnya, jika masih ada kuota, baru akan dilepas ke investor-investor untuk melakukan eksploitasi perikanan di WPP RI.
”Sumber daya ikan di laut sekian juta ton kalau tidak dieksploitasi, tidak ada gunanya. Potensi perikanan menjadi nilai ekonomi kalau sudah diangkat ke pelabuhan dan dijual,” ucap Zaini.
Proyeksi ekonomi terkait penangkapan ikan terukur akan memberikan multidampak hulu-hilir dari sisi industri, lapangan kerja, dan perputaran uang.
Zaini menambahkan, pihaknya sedang menyusun persyaratan industri dalam kontrak penangkapan ikan. Persyaratan itu antara lain perusahaan wajib mengajukan proposal penawaran dan kesanggupan menyetor PNBP. ”Ini akan kita hitung, mana yang paling menguntungkan, bukan saja dari aspek PNBP, melainkan juga secara keseluruhan berapa kemampuan perusahaan untuk melakukan penangkapan. Kami akan bentuk tim untuk evaluasi dan analisis,” paparnya.
Pada setiap periode penangkapan, perusahaan yang sudah mencapai kuota tangkapan per tahun wajib menghentikan operasional tangkapan. Kuota tangkapan akan dievaluasi setiap tahun dan jika terjadi penurunan sumber daya atau penangkapan berlebih, dapat dilakukan penurunan kuota terhadap perusahaan. Uji coba sistem kontrak akan dilakukan hingga akhir tahun ini.
Salah satu perubahan mendasar dalam kebijakan perikanan terukur adalah hasil tangkapan di setiap WPP RI wajib didaratkan pada pelabuhan di WPP tersebut. Dicontohkan, perusahaan yang memiliki kontrak menangkap ikan di Laut Arafura (WPP 718) wajib mendaratkan ikan pada pelabuhan di WPP 718. Apabila ikan akan diangkut ke Jawa, wajib menggunakan kapal angkut.
Pihaknya saat ini sedang menyusun peraturan menteri dan peraturan pemerintah, antara lain mencakup ketentuan, hak dan kewajiban, serta pengenaan sanksi terhadap pelanggaran kebijakan penangkapan terukur.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas Sri Yanti JS menambahkan, kebijakan perikanan terukur akan kuat jika dibarengi dengan data yang akurat. Pembenahan data hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah, antara lain karena kendala sarana prasarana.
Sejak beberapa tahun terakhir, pihaknya telah meminta KKP mengalokasikan anggaran terkait penghitungan stok dan pembenahan pendataan. Selain itu, bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk perbaikan sistem pendataan.
”Perikanan yang bertanggung jawab memerlukan data yang akurat. Perbaikan data harus terus dilakukan,” ujar Sri Yanti.