Indef: Ada Sejumlah Tantangan dan Risiko dalam Asumsi Ekonomi Makro RAPBN 2023
Di balik asumsi makro RAPBN 2023 ada sejumlah tantangan dan risiko. Apalagi, menuju tahun politik, kebijakan anggaran perlu diarahkan untuk melindungi kalangan yang rentan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada sejumlah tantangan dan risiko dalam asumsi ekonomi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2023. Hal itu, antara lain, terkait pembengkakan bunga utang, tekanan stagflasi global, dan penurunan pendapatan sektor perpajakan.
Tantangan dan risiko itu akan membayangi kinerja pemerintah dalam menggulirkan strategi untuk menjaga dan menumbuhkan perekonomian sosial. Sejumlah strategi yang digulirkan itu diharapkan bisa terealisasi dengan baik untuk menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan serapan tenaga kerja, serta menekan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan.
Pandangan itu mengemuka dalam Diskusi Publik ”Arah Kebijakan Anggaran dan Ekonomi di Tahun Politik” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara daring di Jakarta, Selasa (16/8/2022) sore. Peneliti Indef Nailul Huda, Riza A Pujarama, dan Ahmad Heri Firdaus menjadi pembicara dalam diskusi itu.
Diskusi itu merupakan tinjuan dan tanggapan atas pidato Presiden Joko Widodo tentang RAPBN Tahun Anggaran 2023 dan Nota Keuangan. Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah asumsi ekonomi makro dalam RAPBN 2023.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 ditargetkan sebesar 5,3 persen dan inflasi akan dijaga di level 3,3 persen. Nilai tukar rupiah diasumsikan bergerak di kisaran Rp 14.750 per dollar AS dan imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun di kisaran 7,85 persen. Adapun harga minyak mentah global diperkirakan 90 dollar AS per barel.
Nailul Huda mengatakan, risiko stagflasi atau inflasi tinggi yang dibarengi dengan perlambatan ekonomi masih akan terjadi pada 2023. Hal itu akan dibarengi dengan penurunan harga sejumlah komoditas global, termasuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang menjadi andalan ekspor, serta pendapatan negara dari sektor pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pada 2021 dan 2022, PNBP sangat bergantung pada tingginya harga komoditas global, terutama CPO. Namun, pada tahun depan, pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan windfall atau durian runtuh itu lantaran harga CPO terus turun.
”Mau tidak mau, pemerintah akan kembali mengandalkan pemasukan dari sektor lain, terutama pajak penghasilan (PPh) yang berkontribusi sekitar 37 persen dari total pajak. Maka, mendorong PPh sangat diperlukan pada 2023. Caranya adalah dengan memperluas basis perpajakan dan menindak para pengemplang pajak,” ujarnya.
Kementerian Keuangan memperkirakan PNBP dalam RAPBN 2023 bisa mencapai Rp 426,3 triliun, turun 16,6 persen dari PNBP 2022 yang diperkirakan sebesar Rp 510,9 triliun. Penurunan PNBP itu terjadi lantaran harga komoditas global turun.
Pada 2023, PNBP berbasis sumber daya alam diperkirakan sebesar Rp 188,7 triliun. Padahal, pada 2021 dan 2022, PNBP tersebut masing-masing sebesar Rp 149,5 triliun dan Rp 218,5 triliun. Pendapatan itu jauh dari PNBP pada 2019 yang sebesar Rp 97,2 triliun.
Riza A Pujarama menambahkan, asumsi nilai tukar rupiah di level Rp 14.750 per dollar AS dan imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun di kisaran 7,85 persen, tanggungan bunga utang pemerintah bakal semakin besar. Dalam APBN 2022, bunga utang yang ditanggung pemerintah sudah mencapai Rp 405,9 triliun. Pembiayaan bunga utang itu semakin meningkat pada RAPBN 2023 menjadi Rp 441,4 triliun.
”Saat ini, Indonesia merupakan negara yang imbal hasilnya tertinggi di ASEAN, yakni di kisaran 7 persen. Imbal hasil obligasi negara-negara di Asia Tenggara lainnya hanya di kisaran 2-5 persen. Dengan tanggungan bunga utang yang semakin meningkat, beban pemerintah menjadi semakin besar,” katanya.
Apalagi, dengan meningkatnya imbal hasil obligasi Pemerintah AS, lanjut Riza, potensi arus modal asing keluar masih sangat besar. Per 11 Agustus 2022 saja, nonresiden yang menjual Surat Berharga Negara (SBN) sudah mencapai Rp 126 triliun, sedangkan pembelian bersihnya hanya Rp 58,2 triliun.
Di tengah kondisi itu, pemerintah menggulirkan sejumlah strategi untuk menjaga dan menumbuhkan perekonomian pada 2023. Sejumlah strategi itu, antara lain, mendorong hilirisasi sumber daya alam melalui investasi dan menjamin pelindungan sosial masyarakat.
Ahmad Heri Firdaus berpendapat, hilirisasi industri di sektor pertanian perlu dibangun dan ditumbuhkan melalui investasi. Investasi tersebut harus tepat sasaran, memberikan nilai tambah produk, dan menyerap tenaga kerja.
Investasi itu juga harus mengarah pada ekspor produk bernilai tambah tinggi dan subtitusi impor. Penumbuhan investasi di sektor pertanian tersebut perlu dibarengi dengan meningkatkan pasar di dalam negeri.
”Jangan sampai produk olahannya sudah bernilai tambah, tetapi tidak ada yang membeli. Pasar produk domestik itu harus diciptakan. Pemerintah bisa menggunakan anggaran belanja barang yang dialokasikan Rp 379 triliun dalam RAPBN 2023 untuk membeli produk-produk dalam negeri. Hal ini pasti akan menstimulus industri domestik untuk semakin ekspansif,” ujar Heri.
Sementara Huda berharap agar pemerintah tetap menurunkan angka kemiskinan dan mengatasi ketimpangan sosial. Angka kemiskinan memang turun, tetapi rasio gini di perkotaan meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rasio dini wilayah perkotaan per Maret 2022 sebesar 0,403, naik dari September 2021 yang sebesar 0,398.
”Di tengah kenaikan harga pangan dan energi, konglomerat semakin kaya, sedangkan orang miskin semakin miskin,” katanya.
Pada 2023, pemerintah menargetkan angka kemiskinan bisa berada dalam rentang 7,5-8,5 persen dengan rasio gini di kisaran 0,375-0,378. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka diharapkan dapat ditekan di kisaran 5,3-6 persen.
Per Maret 2022, BPS mencatat, angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,54 persen dengan rasio gini 0,384. Adapun tingkat pengangguran terbuka per Februari 2022 sebesar 5,83 persen.