Meski Menurun, Posisi Cadangan Devisa Masih Memadai untuk Pembiayaan Impor dan Utang
Cadangan devisa Juli menurun dibandingkan Juni. Salah satu pemicunya adalah intervensi di pasar keuangan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian global dan arus modal keluar, Bank Indonesia mengintervensi pasar keuangan dengan menggelontorkan cadangan devisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Cadangan devisa pada Juli pun menurun dibandingkan Juni.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa Indonesia pada Juli 2022 sebanyak 132,2 miliar dollar AS atau menurun 4,2 miliar dollar AS dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 136,4 miliar dollar AS.
”Penurunan posisi cadangan devisa pada Juli 2022, antara lain, dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Jumat (5/8/2022).
Erwin menjelaskan, posisi cadangan devisa saat ini masih setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan 6,1 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah. Nilai tersebut berada di atas standar kecukupan internasional yang setara 3 bulan impor.
Ke depan, lanjut Erwin, BI memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga. Ini seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pada Juli 2022, nilai tukar rupiah memang sempat beberapa kali terdepresiasi hingga menembus level psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Maka, BI pun melakukan intervensi pasar untuk menjaga stabilitas rupiah agar tidak melemah lebih lanjut.
”Intervensi di pasar oleh BI memang diperlukan untuk menjaga kepercayaan diri para investor,” ucap Josua.
Hasilnya, nilai tukar rupiah terdepresiasi lebih baik ketimbang mata uang negara lainnya. Sejak awal tahun sampai 20 Juli 2022, rupiah terdepresiasi 4,90 persen, lebih rendah ketimbang ringgit Malaysia yang sebesar 6,41 persen, rupee India yang sebesar 7,07 persen, dan baht Thailand yang sebesar 8,88 persen.
Adapun pada penutupan perdagangan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat (5/8), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di level Rp 14.904.
Josua memperkirakan depresiasi rupiah yang dipicu arus modal keluar tidak akan terjadi secara signifikan pada waktu mendatang. Sebab, bank sentral Amerika Serikat diperkirakan tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga.
Dengan potensi arus modal keluar tidak akan lagi sebesar sebelumnya, menurut Josua, intervensi moneter dengan cadangan devisa juga akan menurun. Kendati demikian, cadangan devisa saat ini cukup untuk terus mempertahankan stabilitas rupiah ke depan.
Ekspor-impor
Josua menambahkan, ketebalan cadangan devisa ke depan juga akan dipengaruhi perkembangan harga komoditas dunia yang memengaruhi kegiatan ekspor dan impor Indonesia.
Saat ini, harga komoditas dunia, seperti minyak kelapa sawit mentah, mengalami penurunan. Kementerian Perdagangan merilis harga referensi minyak kelapa sawit mentah menjadi 872,27 dollar AS per ton yang efektif pada periode 1-15 Agustus 2022. Padahal, harga referensi pada Juli berada di level 1.615,83 dollar AS per ton.
Di sisi lain, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dalam negeri, volume impor kemungkinan akan meningkat. Mayoritas bahan baku industri manufaktur Indonesia masih banyak bergantung pada impor. Peningkatan konsumsi dalam negeri artinya harus ditutupi oleh produksi manufaktur dalam negeri. Sayangnya, mayoritas bahan baku industri manufaktur Indonesia juga banyak bergantung pada impor.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, menambahkan, kinerja ekspor Indonesia kemungkinan juga akan menurun dalam waktu mendatang. Pemicunya adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang tengah melambat.
”Permintaan ekspor dari negara mitra dagang dan negara dunia juga menurun,” ujar Faisal.
Penurunan ekspor dan peningkatan impor akan mengurangi surplus neraca perdagangan sehingga berdampak pada penambahan jumlah cadangan devisa Indonesia ke depan.