Kemenhub Undur Batas Pemberlakuan Tarif Baru Ojek Daring
Kementerian Perhubungan mengundur pelaksanaan regulasi baru tentang tarif ojek daring guna memperpanjang masa sosialisasi. Aturan yang sedianya berlaku maksimal 10 hari diundur menjadi 25 hari sejak penetapan aturan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan mengundur jadwal pemberlakuan ketentuan tentang tarif baru ojek daring dari semula 10 hari menjadi 25 hari setelah terbit Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor untuk Kepentingan Masyarakat pada 4 Agustus 2022. Pengunduran jadwal itu untuk menambah waktu sosialisasi terkait penetapan tarif baru tersebut.
Semula, Keputusan Menteri (Perhubungan) Nomor KP 564 Tahun 2022 menyebutkan, pemberlakuan tarif baru efektif dilakukan maksimal 10 hari kalender sejak penetapan aturan. Kemudian, berdasarkan hasil peninjauan kembali, diperlukan waktu yang lebih panjang, yakni paling lambat 25 hari kalender sejak keputusan ditetapkan, untuk sosialisasi terhadap tarif baru ini bagi seluruh pemangku kepentingan.
Pertimbangannya, moda angkutan ojek daring berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. ”Karena itu, pemberlakuan efektif aturan ini ditambah menjadi paling lambat 25 hari kalender,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Darat Hendro Sugiatno, dalam siaran persnya di Jakarta, Sabtu (13/8/2022).
Hendro menyatakan, penambahan waktu sosialisasi ini berdasarkan masukan dari seluruh pihak. Oleh karena itu, selama 25 hari kalender itu aturan diharapkan dapat dilaksanakan oleh para aplikator (penyedia aplikasi ojek daring) sesuai ketentuan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 12 tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Hendro berharap, terkait waktu penyesuaian tarif di aplikasi, para aplikator dapat segera menerapkan tarif baru dan meningkatkan pelayanan bagi penumpang, termasuk menjamin keselamatan penumpang.
Secara terpisah, pengamat transportasi Darmaningtyas, Minggu (14/8/2022), menyatakan, keputusan menteri tersebut menjadi tanda bahwa permintaan para pengemudi ojek daring akhirnya disetujui. Para pengemudi ojek ini telah meminta penyesuaian tarif sejak 2019. Hingga kini, penyesuaian tarif memang belum pernah dilakukan, sementara harga bahan bakar telah naik.
Baca juga: Informalisasi Pasar Kerja Meningkat, Kualitas Pemulihan Dipertanyakan
Besaran tarif ojek daring secara pasti ditentukan oleh aplikator. Sebab hal itu itu merupakan domain aplikator. Hal yang diatur dalam surat keputusan tersebut adalah pedoman tarif batas bawah, atas, dan tarif minimal. Aplikator memiliki kewenangan untuk menentukan besaran tarif definitif berdasarkan pedoman pemerintah.
Seperti aturan sebelumnya, besaran tarif ojek daring ini dibagi menjadi tiga zona, yaitu Zona I yang meliputi Sumatera dan sekitarnya; Jawa dan sekitarnya selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; serta Bali dengan besaran tarif batas bawah sebesar Rp 1.850 per kilometer (km), batas atas sebesar Rp 2.300 per km; dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 9.250 hingga Rp 11.500.
Adapun Zona II meliputi wilayah Jabodetabek dengan besaran tarif batas bawah Rp 2.600 per km; tarif batas atas Rp 2.700 per km, dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000-Rp 13.500. Zona III yang meliputi wilayah Kalimantan dan sekitarnya; Sulawesi dan sekitarnya; Kepulauan Nusa Tenggara dan sekitarnya; Kepulauan Maluku dan sekitarnya; serta Papua dan sekitarnya, dengan tarif bawah sebesar Rp 2.100 per km; tarif batas atas sebesar Rp 2.600 per km; dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500-Rp 13.000.
Menurut Darmaningtyas, tarif minimal itu perlu ditentukan guna melindungi pengemudi. Sebab, jika tidak ada tarif minimal dan ternyata pesanannya jarak pendek dan macet, pengemudi akan menderita kerugian besar. Apalagi, apabila operator kenaikan tarifnya berdasarkan tarif bawah saja.
Dalam surat keputusan (SK) tersebut ditentukan bahwa perusahaan aplikasi melakukan penyesuaian pencantuman biaya jasa pada aplikasi paling lambat 10 hari kalender sejak Keputusan Menteri ditetapkan. SK Menteri Perhubungan ini ditetapkan pada tanggal 4 Agustus 2022. Dengan demikian, tarif baru ojek daring akan mengalami penyesuaian pada 15 Agustus 2022. Namun, setelah evaluasi itu, penyesuaian tarif diperpanjang hingga 25 hari kalender.
Respons bervariasi
Darmaningtyas mengatakan, keputusan Menteri Perhubungan tentang penyesuaian tarif ojek daring direspons secara bervariasi. Ada yang menyambut gembira, tetapi ada pula pengemudi yang sedih. Yang menyambut gembira adalah mereka yang sejak awal berjuang untuk penyesuaian tarif. Sementara mereka yang menyambut sedih mulai menyadari bahwa kenaikan tarif justru akan mengakibatkan penurunan order karena tarif baru hampir sama dengan tarif taksi sehingga penumpang dikhawatirkan beralih ke alat transportasi taksi pelat kuning.
Kekhawatiran seperti ini disampaikan oleh sejumlah pengemudi ojek daring saat diskusi, Minggu (7/8/2022). Mereka lebih menuntut pada perlakuan tarif yang adil dan manusiawi dari aplikator, terutama untuk layanan antarbarang dan makanan.
Hal itu mengemuka karena ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh operator. Hal itu diduga merugikan mitra (pengemudi), tetapi tidak diketahui oleh konsumen. Pada setiap pengiriman barang atau pemesanan makanan, konsumen selalu bayar ongkos secara normal seperti yang ditentukan oleh aplikator. Namun, saat giliran pembayaran kepada pengemudi oleh aplikator nilainya sangat minim, terutama terjadi pada pesanan pengiriman gabungan dalam program same day.
Ada pengemudi yang mengantar lima order, tetapi upah yang diterima hanya Rp 17.500 atau 14 titik lokasi pengantaran, tetapi upah yang diterima pengemudi hanya Rp 39.200. Angka tarif itu dinilai tidak manusiawi. Sementara para konsumen membayar ongkos kirim rata-rata di atas Rp 15.000.
Baca juga: Perlindungan Pekerja Informal dan Rentan Butuh Aksi Nyata
Bahkan, kata Darmaningtyas, dari pengalamannya mengirim barang dengan menggunakan jasa ojek daring, sebuah barang yang bobotnya tidak sampai dua kilogram dan jarak titik tujuan pengantaran hanya 10 kilometer, ongkosnya Rp 20.000. ”Kalau pengemudi yang mengantar barang saya tadi dapat order gabungan dan hanya dibayar murah, lalu ke mana larinya ongkos kirim yang saya bayar, di luar 20 persen yang menjadi hak aplikator?” ujar Darmaningtyas.
Para mitra ojek daring juga sering harus memikul beban parkir yang tidak masuk dalam perhitungan komponen tarif. Padahal, dalam kenyataannya, beban parkir lebih dari dua kali sering dialami oleh mitra saat mendapat order mengantar barang/pesan dan pemesan tinggal di kompleks apartemen. Biasanya, di apartemen dikenai parkir, dan di tempat pesan makanan juga dikenai parkir.
Bahkan, lanjut Darmaningtyas, ada pengemudi yang menuturkan, saat mengantar penumpang ke Polda Metro Jaya, dikenai tarif parkir Rp 4.000. Padahal, belum ada lima menit memarkir kendaraannya.
Menurut Darmaningtyas, perilaku aplikator yang tidak memanusiawikan mitra ini dan beban parkir ini tidak terendus oleh regulator sehingga tidak pernah menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan komponen tarif. Meski demikian, regulator selayaknya melakukan pengawasan terhadap aplikator dalam membangun kemitraan dengan para pemilik moda produksi (sepeda motor) dan sekaligus pekerjanya.
”Memperlakukan mitra secara sewenang-wenang, hanya karena mitra tidak berkutik—lantaran kalau protes langsung, konsekuensinya tidak dapat order untuk beberapa saat—jelas bertentangan dengan etika kemanusiaan. Bisnis yang akan berkelanjutan adalah bisnis yang menjaga etika kemanusiaan. Bisnis yang eksplotatif terhadap sesama tidak akan pernah langgeng, tinggal menunggu waktu kehancurannya,” ujar Darmaningtyas.
Belum lagi pekerja ojek daring juga kerap mudah dikenai sanksi suspend, potongan saldo, putus mitra (PHK) tanpa dapat pesangon layaknya pekerja di sektor formal. Mereka tidak punya hak banding apabila ada penilaian buruk (bintang 1) dari pelanggan dan sangat merugikan pengemudi hingga berujung sanksi putus mitra.
Menurut dia, jam kerja mereka juga lebih dari delapan jam karena tidak ada kepastian pendapatan setara upah minimum. Bagi pengemudi perempuan juga tidak ada cuti haid, keguguran, atau melahirkan. Artinya, apabila saat-saat sedang haid, keguguran, atau melahirkan mereka libur, mereka memerlukan proses yang lama untuk beroperasi kembali.
”Istilah pengemudi anyep (tidak ada apa-apa alias kesulitan) karena dianggap tidak aktif akunnya apabila libur beberapa hari. Ini karena manajemen algoritma aplikator sangat tertutup dan pengemudi tidak mengerti sebenarnya aturan yang dibuat melalui algoritma itu seperti apa,” kata Darmaningtyas, menghimpun berbagai keluhan pengemudi.
Darmaningtyas memandang, persoalan-persoalan hubungan industrial yang eksploitatif ini tidak boleh terjadi lagi dengan adanya kenaikan tarif baru. Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tetapi pengemudi tetap tidak sejahtera, dan keuntungan terbesar masuk ke aplikator. Kalau ini yang terjadi, perjuangan kenaikan tarif oleh para mitra sebetulnya hanya menjadi pepesan kosong belaka.
Baca juga: Subsidi Upah bagi Pekerja Informal Mendesak