Perlindungan Pekerja Informal dan Rentan Butuh Aksi Nyata
Saat ini masih ada kekosongan regulasi dan infrastruktur data untuk melindungi pekerja informal dan rentan. Mereka kerap dikecualikan dari berbagai instrumen kebijakan dengan alasan tidak adanya data dan payung hukum.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu perlindungan pekerja informal yang sedang dibahas di Kelompok Kerja Bidang Ketenagakerjaan G20 diharapkan tidak hanya menjadi jargon semata. Sebagai presidensi G20, Indonesia punya pekerjaan rumah besar untuk serius melakukan pendataan dan merumuskan regulasi perlindungan sosial yang adaptif bagi pekerja informal dan rentan.
Aksi nyata untuk melindungi pekerja informal dan rentan itu semakin mendesak di tengah meningkatnya informalisasi pasar kerja pascapandemi. Menurut data Badan Pusat Statistik, per Februari 2022, dua tahun setelah kemunculan Covid-19, jumlah pekerja informal bertambah menjadi 81,33 juta orang, sedangkan pekerja formal berkurang jadi 54,28 juta orang.
Dalam satu tahun terakhir, ada 4,55 juta orang baru yang terserap di pasar kerja, sebanyak 70,1 persen (3,19 juta orang) masuk ke sektor informal. Hanya 29,8 persen (1,36 juta orang) yang terserap di sektor formal.
Informalisasi pasar kerja yang semakin pesat itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara berkembang lainnya. Isu ini pun menjadi topik utama dalam pertemuan kedua Kelompok Kerja Bidang Ketenagakerjaan atau The 2nd Employment Working Group (EWG) Meeting G20 dengan tema ”Sustainable Job Creation Towards the Changing of Work” pada 10-12 Mei 2022.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Kamis (12/5/2022), mengatakan, di Indonesia, masih ada kekosongan regulasi dan infrastruktur data untuk melindungi pekerja informal dan pekerja rentan. Mereka kerap kali dikecualikan dari berbagai instrumen kebijakan dan perlindungan sosial dengan alasan tidak adanya data dan payung hukum yang relevan.
Dalam forum EWG G20, Wahyu yang hadir sebagai anggota Delegasi C20 menyuarakan agar isu perlindungan pekerja informal dan pekerja rentan ini diiringi dengan aksi nyata. Sebagai tuan rumah G20, pemerintah diharapkan bisa menjadi pionir dan memberikan contoh konkret.
”Regulasi dan kebijakan kita selama ini belum memberi rekognisi kepada pekerja informal. Kita terlalu terpaku pada pekerja formal. Dengan bertambahnya informalisasi kerja pascapandemi, harus ada regulasi dan kebijakan yang lebih adaptif dengan situasi terkini,” kata Wahyu saat dihubungi.
Perumusan regulasi dan kebijakan yang adaptif itu pun tidak bisa lepas dari pembenahan infrastruktur data terkait pekerja informal. Saat ini, pekerja informal dan pekerja rentan yang tersebar secara sporadis belum terdata dengan baik. Pendataan yang buruk itu membuat mereka kerap tidak tersentuh berbagai kebijakan dan program perlindungan sosial.
Pekerja informal dan pekerja rentan belum terdata dengan baik. Pendataan yang buruk itu membuat mereka kerap tidak tersentuh berbagai kebijakan dan program perlindungan sosial.
”Kekosongan data selalu dijadikan alasan bahwa kita tidak bisa menjangkau pekerja informal. Misalnya, bantuan subsidi upah yang ironisnya selalu hanya menyasar pekerja formal. Mengingat pekerja informal jumlahnya lebih banyak dan lebih membutuhkan, ini jadi salah sasaran. Harus segera ada pendataan serius sebagai landasan kebijakan,” tuturnya.
Ia menilai, asalkan ada keinginan politik (political will) yang kuat, pendataan pekerja informal sangat mungkin dilakukan. Pemerintah dapat bekerja sama dengan sejumlah organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan pekerja informal dan pekerja rentan untuk mendapatkan data berskala mikro.
”Berikutnya, data mikro itu bisa diteruskan ke BPS yang memiliki kapasitas teknis untuk mengembangkannya menjadi data makro yang lebih luas,” ujarnya.
Upaya melakukan pendataan dan merumuskan regulasi ini harus melibatkan kelompok masyarakat sipil serta dilandasi perspektif yang jelas agar kebijakannya inklusif. Terkait problem pelurusan perspektif ini, Wahyu mencontohkan, masih ada anggapan keliru bahwa beberapa profesi di sektor informal tidak dianggap sebagai pekerja.
Pemahaman soal pekerja informal biasanya hanya seputar pedagang kaki lima dan pedagang pasar. ”Pekerja rumah tangga, misalnya, tidak masuk kategori pekerja karena dianggap rewang (pembantu) dianggap keluarga. Atau, tukang batu juga sering tidak dianggap pekerja. Bias-bias seperti ini bisa mereduksi perlindungan. Jadi, perspektifnya harus jelas dulu di awal,” ujarnya.
Ini memang tidak mudah karena tantangan yang kita hadapi sekarang telanjur besar, sementara di saat yang sama kita belum punya data yang solid untuk merepresentasikan kondisi faktual ketenagakerjaan kita.
Co-Chair C20 dan Manajer Program Prakarsa Herni Ramdlaningrum menambahkan, perlindungan yang adaptif itu harus diperluas ke pekerja rentan lainnya, seperti pekerja migran, pekerja rumah tangga, pekerja domestik, pekerja difabel, anak buah kapal, buruh harian lepas di sektor agrikultur dan perikanan, pekerja (atau mitra) platform digital, serta pekerja marjinal lainnya.
”Kami meminta pimpinan G20 untuk menghapus wilayah abu-abu dalam dikotomi status pekerjaan dan ikut mengakui pekerja informal supaya mereka juga mendapat jaminan perlindungan sosial yang resmi sebagaimana pekerja formal,” kata Herni.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah menyadari tantangan yang perlu disikapi sebagai presidensi G20. Kemenaker pun saat ini sedang menyusun peta jalan perlindungan sosial bagi kelompok informal.
Peta jalan tersebut akan menjadi landasan untuk merumuskan regulasi, kebijakan, dan penataan data terkait pekerja informal. Tanpa itu, kebijakan seputar perlindungan pekerja informal akan cenderung bersifat reaktif dan tidak komprehensif.
”Ini memang tidak mudah karena tantangan yang kita hadapi sekarang telanjur besar, sementara di saat yang sama kita belum punya data yang solid untuk merepresentasikan kondisi faktual ketenagakerjaan kita,” ujarnya.
Menurut dia, melalui momentum presidensi G20 ini, keinginan politik untuk mewujudkan perlindungan yang inklusif tidak perlu diragukan. ”Kelompok informal akan mendapat manfaat perlindungan yang serupa dengan pekerja formal, dari asuransi kesehatan, jaminan hari tua, dana pensiun, sampai jaminan kehilangan pekerjaan,” kata Anwar.