Informalisasi Pasar Kerja Meningkat, Kualitas Pemulihan Dipertanyakan
Pascapandemi Covid-19, informalisasi kerja meningkat pesat. Tren informalisasi itu tak kunjung mereda kendati pandemi mulai terkendali dan ekonomi kembali bergerak.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2022 mengalami penurunan secara tahunan, sebagian besar masih terserap di sektor informal. Untuk mencapai pemulihan ekonomi yang lebih berkualitas, penciptaan lapangan kerja formal bersifat padat karya perlu ditambah seiring dengan upaya meningkatkan keterampilan serta perlindungan tenaga kerja.
Data Keadaan Ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik awal pekan ini menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun dari 8,75 juta orang pada Februari 2021 (6,26 persen dari total angkatan kerja) menjadi 8,4 juta orang pada Februari 2022 (5,83 persen dari total angkatan kerja).
Kendati demikian, peneliti ketenagakerjaan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Triyono, Rabu (11/5/2022), mengatakan, kualitas pemulihan di sektor ketenagakerjaan tidak cukup hanya dilihat dari output angka pengangguran yang menurun, tetapi siapa yang terserap di pasar kerja dan terserap ke sektor mana.
Pascapandemi Covid-19, informalisasi kerja meningkat pesat. Gelombang kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja yang dirumahkan, dan pemangkasan upah mendorong pekerja untuk lari ke sektor informal sebagai solusi mencari nafkah. Tren informalisasi itu belum mereda kendati pandemi mulai terkendali dan ekonomi kembali bergerak.
Hal itu terlihat dari data penyerapan tenaga kerja per Februari 2022 yang lebih banyak terjadi di sektor informal. Dari total 4,55 juta orang yang terserap di pasar kerja pada kurun waktu tersebut, sebanyak 3,19 juta orang atau 70,1 persen masuk ke sektor informal. Sementara pekerja yang terserap di sektor formal hanya 1,36 juta orang atau 29,8 persen.
Tingginya informalisasi juga tampak dari banyaknya tenaga kerja lulusan SD ke bawah yang terserap di pasar kerja, yakni 4 juta orang atau 87,91 persen. Sebagai perbandingan, hanya 80.000 pekerja lulusan SMA (1,76 persen), 40.000 pekerja lulusan SMK (0,88 persen), 40.000 pekerja lulusan diploma (0,88 persen), dan 120.000 pekerja lulusan univeresitas (2,64 persen) yang terserap di pasar kerja.
Kondisi tersebut menunjukkan problem pada sisi penawaran dan permintaan di pasar kerja. Pertama, lapangan kerja formal yang tercipta pascapandemi belum cukup banyak untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia. Kedua, kapasitas dan keterampilan tenaga kerja tidak sesuai dengan lapangan kerja yang tercipta. ”Ditambah, ada cukup banyak angkatan kerja baru yang masuk di dunia kerja,” katanya.
Dari total 4,55 juta orang yang terserap di pasar kerja pada kurun waktu tersebut, sebanyak 3,19 juta orang atau 70,1 persen masuk ke sektor informal.
Manufaktur lesu
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, menilai, problem penyerapan tenaga kerja itu tidak bisa dipisahkan dari fundamental ekonomi yang tercipta selama triwulan I-2022, khususnya sektor manufaktur. Data BPS menunjukkan, total kontribusi sektor pengolahan yang padat karya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus menurun.
Pada Februari 2022, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB adalah 19,19 persen, turun dari 19,83 persen pada tahun sebelumnya. ”Jika industri manufaktur terus mengalami penurunan performa dan kontribusi, penyerapan tenaga kerja tentu akan terus bermasalah. Ini terlihat dari angka pengangguran yang masih tinggi,” kata Abdul.
Lesunya industri manufaktur itu disumbangkan oleh berkurangnya kontribusi sektor makanan dan minuman terhadap PDB, dari 6,8 persen menjadi 6,55 persen. Sektor makanan dan minuman menjadi salah satu industri yang menghadapi kendala ketersediaan bahan baku di tengah ketidakpastian rantai pasok global belakangan ini, tetapi kesulitan menaikkan harga produk jadi.
”Saat industri mau menaikkan harga, dia harus berpikir dua kali karena itu akan berpengaruh terhadap harga di tangan konsumen. Akhirnya, industri mengurangi margin keuntungan,” ujarnya.
Kondisi menyempitnya ruang arus kas perusahaan itu pun memengaruhi kemampuan perusahaan untuk membuka rekrutmen tenaga kerja baru. Kondisi sektor pengolahan yang tidak prima itu juga tampak dari upah tenaga kerja di sektor manufaktur yang turun 1,04 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
”Meski pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan pengangguran berkurang, tetapi kalau dibedah lagi, tantangannya sangat mengkhawatirkan karena sektor yang berperan cukup tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja itu kondisinya sedang rapuh,” kata Abdul.
Meski pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan pengangguran berkurang, tetapi kalau dibedah lagi, tantangannya sangat mengkhawatirkan karena sektor yang berperan cukup tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja itu kondisinya sedang rapuh.
Kapasitas dan perlindungan
Menurut Triyono, problem ketimpangan di pasar kerja itu perlu ditangani dari sisi penawaran dan permintaan. Upaya pemulihan ekonomi harus disertai dengan kebijakan reindustrialisasi yang kuat. Investasi dan penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur perlu semakin ditingkatkan. Saat ini, meski investasi bertambah, dampaknya pada penyerapan tenaga kerja masih terhitung minim.
Lapangan kerja yang tercipta pun tidak bisa asal banyak, tetapi harus layak, baik dari sisi kepastian kerja, upah, serta pemenuhan jaminan sosial ketenagakerjaan yang layak. ”Kalau melihat di beberapa kantong industri, yang jadi masalah itu, kan, lapangan kerja ada, tetapi statusnya kontrak kerja, tidak permanen, dan minim perlindungan,” ujarnya.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah peningkatan keterampilan pekerja. Pandemi yang menggeser proses belajar-mengajar secara daring memengaruhi pengembangan kapasitas tenaga kerja. ”Tenaga kerja harus disiapkan untuk berpacu dengan dunia industri yang tuntutan akan penguasaan teknologinya terus berkembang. Kalau tidak, pasar kerja kita bisa direbut oleh tenaga kerja asing,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi di tengah situasi yang serba tak pasti itu, kebijakan perlindungan pekerja yang adaptif juga dibutuhkan untuk melindungi pekerja dari krisis dan guncangan ekonomi yang akan datang.
”Perlindungan bagi pekerja juga diperlukan untuk mewujudkan kerja layak bagi pekerja, menghindari perlakuan tidak adil dari pemberi kerja, terutama dalam situasi di mana pekerja memiliki sedikit pilihan dan posisi tawar,” katanya usai memimpin pertemuan kedua Kelompok Kerja Bidang Ketenagakerjaan G20 (The 2nd Employment Working Group).
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang menambahkan, ada beberapa aspek perlindungan pekerja yang perlu ditinjau ulang oleh semua negara dalam menghadapi perubahan dunia kerja, yaitu kebijakan upah, jam kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, hak berserikat, jaminan sosial, dan maternitas pekerja.
”Apalagi, mengingat gelombang informalitas baru yang dipicu oleh krisis ini akan membuat banyak pekerja di sektor informal tak terlindungi secara sosial dan ekonomi,” kata Haiyani.