Akuisisi atas Nama Ekspansi
Pada paruh pertama tahun 2022 ini, perekonomian terus menggeliat lagi setelah terhantam pandemi Covid-19. Salah satu upaya untuk memperbesar bisnis di tengah tantangan ekonomi adalah melakukan merger dan akuisisi.
Pada paruh pertama tahun 2022 ini, perekonomian terus menggeliat lagi setelah terhantam pandemi Covid-19. Namun, tantangan yang dihadapi korporasi masih terus ada, seperti kenaikan harga komoditas dan juga inflasi. Bahkan, hantu resesi mulai membayangi.
Salah satu upaya untuk memperbesar bisnis, walaupun sedang menghadapi tantangan, adalah melakukan merger dan akuisisi. Menurut data Ernst & Young (EY), merger dan akuisisi pada tahun ini turun 27 persen dari sisi nilai. Akan tetapi, aktivitasnya naik. Menurut analisis EY, kesepakatan merger dan akuisisi lintas negara berubah, mencerminkan tensi geopolitik. Transaksi antarnegara turun pada semester I-2022. Terlihat, investasi dari China ke Amerika Serikat turun dari 27 miliar dollar AS pada semester I-2016 menjadi 1,9 miliar dollar AS pada semester I-2022. Sementara investasi ke Eropa naik dari 60 miliar dollar AS menjadi 149 miliar dollar AS pada periode yang sama.
Merger dan akuisisi di Indonesia, khususnya di bursa saham, juga tetap marak pada paruh pertama 2022 ini. Pertumbuhan bisnis tidak hanya dilakukan secara organik, tetapi juga melalui akuisisi.
Beberapa transaksi jumbo terjadi dan menarik perhatian. Pada awal tahun 2022, misalnya, PT Indosat Tbk merger dengan PT Hutchison 3 Indonsia. Entitas baru yang diberi nama Indosat Oodredoo Hutchinson itu pun memiliki peningkatan aset tidak lancar atau naik 68,5 persen menjadi Rp 87,45 triliun. Jumlah pelanggan pun naik 57,7 persen menjadi 94,6 juta hingga akhir Maret 2022.
Baca juga : Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Ekonomi Masih Sulit, Menabung Pun Tak Bisa
Selain Indosat, emiten pada sektor telekomunikasi yang melakukan akuisisi adalah PT XL Axiata Tbk juga mengakuisisi Hipernet Indodata senilai Rp 321,3 miliar. Akuisisi ini bertujuan untuk meningkatkan produk-produk XL untuk pelanggan di segmen korporasi. Pada Juni lalu, Axiata Group Berhad dan PT XL Axiata Tbk juga mengakuisisi 66,03 persen saham PT Link Net Tbk. Nilai akuisisi tersebut mencapai Rp 8,72 triliun.
Selain emiten di sektor telekomunikasi, akuisisi juga dilakukan oleh emiten pertambangan. Pada dua tahun terakhir, harga komoditas tambang menguat. Kesempatan ini diambil oleh emiten pertambangan untuk memperluas bisnisnya. PT Medco Energi Internasional Tbk juga melebarkan bisnis dengan mengakuisisi 100 persen saham ConocoPhilips Indonesia Holding Ltd yang menguasai ConocoPhilips (Grissik) Ltd. ConocoPhilips merupakan operator Blok Corridor, wilayah kerja minyak dan gas bumi di Sumatera Selatan. Adapun nilai transaksi ini sebesar 1,32 miliar dollar AS.
Emiten Grup Sinarmas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk, juga mengakuisisi tambang. Dian Swastatika melalui anak usahanya, Stanmore Resources Ltd, mengakuisisi perusahaan tambang asal Australia, Dampier Coal. Nilai akuisisinya mirip dengan Medco, yakni 1,2 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 17,3 triliun dengan asumsi kurs ketika itu Rp 14.447 per dollar AS.
Pada paruh pertama 2022, PT Merdeka Cooper Gold Tbk juga melakukan dua akuisisi besar, yaitu membeli PT Hamparan Logistik Nusantara dan PT Andalan Bersama Investama. PT Hamparan memiliki aset dengan cadangan bijih nikel dan smelter nikel yang telah beroperasi. Total nilai transaksi akuisisi ini sebesar Rp 5,7 triliun. Sementara transaksi Merdeka atas PT Andalan sebesar Rp 1,1 triliun.
Di sektor keuangan, pengembangan bank digital dengan cara akuisisi masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank kecil diakuisisi untuk dijadikan bank digital.
Di sektor keuangan, pengembangan bank digital dengan cara akuisisi masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank kecil diakuisisi untuk dijadikan bank digital. Pada paruh pertama 2022, akuisisi dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI yang mengambil alih 63,72 persen saham International Finance Corporation di Bank Mayora. Menurut rencana, BNI akan mengembangkan Bank Mayora menjadi bank digital. Sekretaris Perusahaan BNI Mucharom ketika transaksi selesai menjelaskan, ceruk pasar di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta ritel akan digali, khususnya dalam pengembangan Bank Mayora ke depan.
”Bank Mayora ke depannya dipersiapkan untuk menjawab berbagai potensi pengembangan bisnis segmen UMKM di seluruh Indonesia dengan fokus awal pada mereka yang berada dalam value chain BNI dan Grup Mayora saat ini,” kata Mucharom dalam keterangannya ketika itu.
Baca juga : Daya Lindung terhadap Ekonomi Domestik Diperkuat
Grup Astra juga rajin melakukan akuisisi. Pada awal tahun, Astra membeli 5,43 persen saham PT Medikaloka Hermina Tbk, emiten operator Rumah Sakit Hermina. Selain itu, Astra juga menyuntikkan dana pada beberapa perusahaan rintisan (start up), seperti Sayurbox, sehingga total investasinya mencapai Rp 202,64 miliar. Astra juga menyuntik Mapan, platform perdagangan sosial berbasis komunitas digital sehingga total investasinya mencapai Rp 80 miliar. Akhir semester pertama tahun ini, Astra mendanai Paxel bisnis logistik berbasis teknologi dengan nilai Rp 216 miliar.
Semester kedua, Astra mengakuisisi 49,56 persen saham Bank Jasa Jakarta dengan nilai transaksi sebesar Rp 3,9 triliun. Sebelumnya, Astra melepaskan saham pada PT Bank Permata Tbk kepada Bangkok Bank. Pada tahun 2020, Bangkok Bank membeli saham Astra dan Standard Chartered di Bank Permata senilai Rp 33,28 triliun.
Terus berlanjut
Pada semester II-2022, aksi korporasi berupa merger dan akuisisi masih terus berlanjut. Akuisisi perusahaan tambang dengan nilai transaksi besar. PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk yang fokus pada infrastruktur energi terintegrasi mengakuisisi PTT Mining Ltd Hong Kong senilai 471 juta dollar AS atau Rp 7 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.888 per dollar AS.
Pada semester II-2022, aksi korporasi berupa merger dan akuisisi masih terus berlanjut. Akuisisi perusahaan tambang dengan nilai transaksi besar.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia awal bulan ini, Sekretaris Perusahaan Astrindo Kurniawati Budiman menjelaskan, Astrindo baru saja menandatangani perjanjian jual beli saham dengan PTT International Holdings Limited dan PT Sintesa Bara Gemilang terkait akuisisi itu. Sintesa Bara merupakan anak usaha dari Astrindo dengan kepemilikan tidak langsung melalui PT Astrindo Mahakarya Indonesia. Diharapkan seiring dengan kenaikan harga batubara, akuisisi ini berdampak langsung terhadap peningkatan kinerja Astrindo.
Pada sektor menara telekomunikasi, anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel, mengakuisisi menara telekomunikasi milik anak usaha Telkom lainnya, Telkomsel. Kali ini, Mitratel mengakuisisi 6.000 menara dengan nilai transaksi sebesar Rp 10,28 triliun.
Baca juga : Memulihkan Ekonomi Nasional di Tengah Ketidakpastian Global
Akuisisi menara milik Telkomsel sudah dua kali dilakukan Mitratel. Pertama, pada tahun 2020 sebanyak 6.060 unit dan 2021 sebanyak 4.000 unit sehingga total menara Telkomsel yang diakuisisi Mitratel sebanyak 16.050 unit.
Emiten propeti PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk juga merencanakan mengakuisisi 51 persen saham PT Bangun Kosambi Sukses (BKS) senilai Rp 6,49 triliun. BKS nanti akan mengambi alih 51 persen saham PT Mega Andalan Sukses senilai Rp 4,699 triliun. Selain itu, BKS akan mengakuisisi 51 persen saham PT Cahaya Gemilang Indah Cemerlang senilai Rp 1,799 triliun. Sebanyak 80 persen saham Pratama dimiliki oleh PT Multri Artha Pratama
Di antara emiten-emiten yang sudah sukses melakukan akuisisi, PT Nusantara Infrastructure Tbk menunda akuisisi ruas jalan tol layang MBZ dari PT Jasa Marga Tbk. Sedianya, rencana ini akan dibahas pada rapat umum pemegang saham pada 9 Agustus ini. Akan tetapi, agenda ini ditunda karena masih diperlukan pemenuhan dokumen administratif kepada regulator, demikian penjelasan dari Head of Corporate Communication & CSR Nusantara Indah Pertiwi.
Sumber dana
Dari mana emiten-emiten itu mendanai akuisisi mereka? Ternyata sumber dana cukup beragam. Bagi emiten dengan kas besar, akuisisi dibiayai dari kas perusahaan, seperti yang dilakukan oleh Astra. Astra memiliki kas sebesar Rp 33,6 triliun, tidak termasuk kas anak perusahaan jasa keuangan. Jumlah ini naik dari Rp 30,7 triliun pada akhir tahun 2021 lalu.
Sementara PT Pratama Abadi akan melakukan penawaran umum terbatas dengan hak memesan efek terlebih dahulu atau right issue. Dengan menerbitkan 13,12 miliar saham dan harga pelaksanaan Rp 500, Pratama berpotensi mendapatkan dana segar Rp 6,56 triliun. Saham Pratama sempat disuspensi Bursa Efek Indonesia karena naik pesat dari Rp 500 menjadi Rp 9.800 hanya pada Juli 2022 lalu.
PT XL Axiata Tbk mendapatkan pinjaman bergulir dari Bank MUFC Ltd cabang Jakarta senilai Rp 1,9 triliun berjangka waktu 18 bulan. Selain itu, XL juga mendapatkan pinjaman dari BNI senilai Rp 1 triliun berjangka waktu 12 bulan. XL juga menerbitkan Obligasi Berkelanjutan Tahap I tahun 2022 Rp 1,5 triliun dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan III XL Axiata Tahap I tahun 2022 Rp 1,5 triliun. Dengan demikian, total obligasi yang diterbitkan sebesar Rp 3 triliun.
Sementara emiten dari Grup Sinarmas Dian Swastatika Sentosa Tbk untuk mengakuisisi tambang, Dian menerima fasilitas pembiayaan akuisisi sebesar 625 juta dollar AS dari sindikasi lembaga pembiayaan. Awal tahun, Dian Swastatika juga mendapatkan fasilitas pinjaman berjangka sindikasi dari Bank Mandiri senilai Rp 700 miliar.
Ramainya akuisisi ini juga menunjukkan optimisme emiten untuk memperbesar ruang bisnisnya setelah sempat terhambat karena pandemi. Bisa jadi juga kecenderungan kenaikan tingkat suku bunga menjadi salah satu faktor emiten untuk mempercepat transaksi akuisisi ini. Akuisisi juga tanda perekonomian semakin menggeliat.
Baca juga : Jangan Keburu Senang