Kendati probabilitas resesi di Indonesia relatif rendah, Indonesia tetap perlu waspada. Pasalnya, pelemahan aktivitas ekonomi dan inflasi tinggi di sejumlah negara maju bisa saja merambat masuk ke ekonomi domestik.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi
JAKARTA, KOMPAS — Tanda-tanda pelemahan ekonomi dunia yang sudah semakin jelas membuat pemerintah mempertebal pagar untuk melindungi ekonomi domestik dari rembetan dampak global. Beban belanja untuk subsidi pun ditambah agar pasar dalam negeri tidak mengalami guncangan inflasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA secara virtual, Rabu (27/7/2022), mengatakan, pemerintah semakin mewaspadai risiko global yang dapat memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional.
”Kenaikan harga komoditas sejak awal tahun membuat inflasi melonjak di sejumlah negara. Dengan adanya perkembangan geopolitik, inflasi, dan respons kebijakan, tanda-tanda pelemahan ekonomi global mulai terlihat,” ujarnya.
Meskipun aktivitas ekonomi melambat, inflasi global justru diperkirakan semakin tinggi, kebanyakan didorong oleh kenaikan harga pangan dan energi.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juli ini memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global 2022 menjadi 3,2 persen, lebih rendah 0,4 poin dari proyeksi di bulan April sebesar 3,6 persen. Sementara untuk tahun 2023, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global akan lebih rendah lagi, yakni 2,9 persen.
Dalam laporan IMF bertajuk ”World Economic Update: Gloomy and More Uncertain”, revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global disebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), China, dan kawasan Uni Eropa.
Meskipun aktivitas ekonomi melambat, inflasi global justru diperkirakan semakin tinggi, kebanyakan didorong oleh kenaikan harga pangan dan energi. IMF memperkirakan inflasi global tahun ini mencapai 6,6 persen di negara maju dan 9,5 persen di pasar negara berkembang.
”Kita lihat di sejumlah negara yang dihadapkan pada dilema kenaikan inflasi dan pengetatan moneter yang menyebabkan pelemahan ekonomi, mereka dihadapkan pada munculnya resesi,” kata Sri Mulyani.
Efek rambatan
Meski probabilitas resesi di Indonesia relatif rendah, Sri Mulyani menyebut, Indonesia tetap perlu waspada. Pasalnya, pelemahan aktivitas ekonomi dan inflasi tinggi di sejumlah negara maju bisa menimbulkan efek rambatan ke Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah memagari ekonomi domestik dari rembetan dampak inflasi global adalah peningkatan anggaran untuk kompensasi dan subsidi energi. Ini membuat harga BBM dan elpiji tetap bertahan di tengah tren kenaikan harga energi dunia.
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi tersebut terdiri dari tambahan untuk subsidi BBM, elpiji, dan listrik Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) Rp 275 triliun.
Penambahan anggaran hampir Rp 350 triliun ini dilakukan lantaran pemerintah ingin menahan kenaikan harga listrik, minyak, dan gas agar tidak diteruskan ke masyarakat. ”Sebab, apabila berdampak pada masyarakat, dikhawatirkan akan sangat mengguncang dari sisi inflasi seperti yang terjadi di beberapa negara di dunia,” kata Sri Mulyani.
Dalam keterangan resminya, Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan, inflasi yang meluas ke banyak negara mencerminkan dampak tekanan biaya dari rantai pasokan yang terganggu dan pasar tenaga kerja yang semakin ketat.
Ia menambahkan, ketika negara-negara maju menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, kondisi keuangan mengetat, terutama untuk negara-negara berkembang. Bank sentral negara berkembang harus menggunakan alat makroprudensial dengan tepat untuk menjaga stabilitas keuangan.
”Biaya pinjaman yang lebih tinggi, aliran kredit yang berkurang, dollar yang lebih kuat, dan pertumbuhan yang lebih lemah akan mendorong lebih banyak negara ke dalam kesulitan,” ujarnya.
Hal tersebut melatarbelakangi IMF memangkas tipis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 sebesar 0,1 poin persentase menjadi 5,3 persen tahun ini dibanding 5,4 persen pada proyeksi April lalu. Untuk 2023, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,8 poin persentase menjadi 5,2 persen.
Waspadai bunga
Dalam acara bertajuk ”CORE Midyear Review 2022”, Rabu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, mewanti-wanti terjadinya kenaikan tingkat bunga utang seiring dengan naiknya suku bunga acuan di banyak negara.
”Jika hal tersebut terjadi, beban APBN untuk membayar bunga utang pun bisa meningkat,” ujarnya.
CORE Indonesia mencatat, saat ini, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) telah mencapai 42,7 persen. Angka itu memang relatif lebih rendah dari negara-negara lain, tetapi Akbar tidak menyebut bahwa kondisi Indonesia serta-merta baik.
Ia menjelaskan bahwa pada 2014 porsi pembayaran bunga utang terhadap pengeluaran APBN masih di 7,5 persen. Angkanya terus naik hingga pada 2019 menyentuh 11,9 persen, kemudian melonjak mencapai 17,8 persen pada tahun ini.
”Persentase pembayaran bunga utang terhadap total belanja APBN saat ini saya kira yang tertinggi. Persentase ini besar mengingat APBN bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif,” ujar Akbar.