Memulihkan Ekonomi Nasional di Tengah Ketidakpastian Global
Hingga pertengahan tahun 2022, Indonesia relatif aman dari ancaman resesi. Kendati diperkuat oleh ekonomi domestik, ketidakpastian global masih membayangi pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung.
Ekonomi Indonesia tumbuh menguat di tengah ancaman resesi global. Sejumlah indikator menunjukkan tren perbaikan setelah sempat terpuruk akibat pandemi. Meski demikian, ketidakpastian masih membayangi ekonomi global. Kewaspadaan dan formulasi kebijakan tepat sasaran tetap menjadi keharusan agar pemulihan ekonomi terus berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan membawa Indonesia lebih optimistis menghadapi ancaman resesi. Data Badan Pusat Statistik terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,44 persen pada triwulan II-2022 secara tahunan (year on year/YOY). Laju pertumbuhan ini hampir mendekati pertumbuhan ekonomi satu dekade silam dengan rata-rata pertumbuhan 5,5-6 persen per tahun.
Capaian pertumbuhan ini menjadi bekal kuat fondasi perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian global. Sebelumnya, pada Juli 2022, hasil penelitian Bloomberg menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi dengan probabilitas 3 persen.
Meskipun pertumbuhan triwulan kedua 2022 tersebut bukan yang tertinggi, cukup menggambarkan keadaan ekonomi sesungguhnya. Berbeda dengan pertumbuhan tahun lalu, pada periode yang sama di mana tumbuh menjulang hingga 7,07 persen, tetapi dapat dikatakan semu. Tingginya laju pertumbuhan triwulan II-2021 itu dikarenakan basis pertumbuhan yang rendah di tahun 2020 akibat terpaan pandemi (low based effect) sehingga kurang menggambarkan kondisi senyatanya.
Pada pertumbuhan triwulan kedua 2022 kali ini, dasar penghitungannya berpijak pada periode yang sama tahun 2021. Artinya, telah melalui sejumlah penyesuaian dan perbaikan keadaan pascapandemi sehingga cukup menggambarkan kondisi sesungguhnya. Meskipun secara tahunan (YOY) lebih rendah daripada tahun lalu, ekonomi tetap dapat tumbuh ekspansif dan mendekati situasi pada masa-masa sebelum pandemi. Secara triwulanan pun ekonomi Indonesia juga tumbuh positif, yakni 3,72 persen dibandingkan triwulan I-2022. Padahal, laju pertumbuhan pada triwulan I lalu terkontraksi 0,95 persen dibandingkan pada akhir tahun 2021. Artinya, dengan positifnya pertumbuhan pada triwulan II ini, menunjukkan bahwa Indonesia bebas dari ancaman resesi.
Kondisi Indonesia itu berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang saat ini benar-benar menghadapi situasi resesi. Laju pertumbuhan salah satu raksasa ekonomi dunia itu terkontraksi 0,9 persen pada triwulan kedua 2022. Angka ini sedikit membaik dari triwulan sebelumnya yang tumbuh minus 1,6 persen. Dua kali kontraksi pertumbuhan ekonomi secara berturut-turut ini menyebabkan AS dinyatakan memasuki masa resesi.
Ekonomi domestik
Bagi Indonesia, akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut salah satunya didorong oleh momentum hari raya Ramadhan dan Idul Fitri. Perayaan tahunan yang sempat tertahan selama dua periode akibat pandemi itu kembali meriah di tahun ini. Apalagi, pemerintah kembali mengizinkan tradisi mudik. Merujuk data Balitbang Kementerian Perhubungan, terdapat 13 juta pemudik yang keluar dari Jabodetabek sejak H-7 hingga H-1 Lebaran.
Fenomena tersebut tentu saja mendorong perputaran ekonomi menjadi lebih cepat. Salah satunya tergambar dari laju pertumbuhan sektor transportasi yang sangat tinggi, yakni 21,27 persen secara tahunan. Dengan laju pertumbuhan empat kali lipat lebih besar dari ekonomi nasional itu, membuat pertumbuhan sektor transportasi menjadi yang tertinggi dibandingkan sektor lainnya.
Sektor lain yang juga mencatatkan pertumbuhan relatif baik dengan adanya peningkatan mobilitas itu adalah kelompok penyediaan makanan dan minuman. Sempat terpuruk akibat pembatasan aktivitas masyarakat, kini sektor yang erat kaitannya dengan kegiatan wisata ini tumbuh 9,76 persen atau tertinggi kedua setelah transportasi. Sektor berikutnya yang turut meningkat cukup tinggi laju pertumbuhannya ialah pengadaan listrik dan gas sebesar 9,33 persen; jasa lainnya 9,25 persen; serta sektor informasi dan komunikasi sebanyak 8,05 persen.
Kebangkitan ekonomi tersebut juga terjadi seiring meningkatnya aktivitas masyarakat dengan kembalinya kegiatan sekolah, bekerja, belanja, dan rekreasi. Hal itu tecermin dari data perubahan mobilitas penduduk yang dirilis secara bulanan atau biasa disebut google mobility index.
Perubahan aktivitas di tempat belanja, misalnya, mencapai 40,89 persen pada Mei 2022. Kian meningkat pesat setelah pada periode sebelumnya mengalami penyusutan seperti pada Februari 2021 yang sebesar minus 5,10 persen. Peningkatan aktivitas ini juga terjadi pada kegiatan rekreasi dan perdagangan ritel, yang bertambah 19,63 persen pada Mei lalu.
Antusiasme masyarakat tersebut tak lepas dari keyakinan masyarakat untuk kembali beraktivitas lantaran pandemi Covid-19 yang relatif terkendali. Sejak pertengahan April 2022, kasus terkonfirmasi Covid-19 sudah kurang dari 1.000 setiap harinya. Keberhasilan pengendalian itu kemudian kembali mendorong keyakinan masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Optimisme tergambar dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang mencapai 128,9 pada bulan Mei. Indeks ini merupakan yang tertinggi selama pandemi.
Pada akhirnya, optimisme dan kembali bangkitnya aktivitas ekonomi membuat roda industri turut berputar lebih kencang. Bank Indonesia mencatat, prompt manufacturing index Indonesia yang menggambarkan kinerja industri mencapai 53,61 persen pada triwulan II-2022. Dengan capaian di atas 50, kinerja industri berada pada fase ekspansif. Capaian ini merupakan yang tertinggi selama pandemi dan bahkan melampaui masa-masa sebelum pandemi.
Tak dapat dimungkiri bahwa kembalinya aktivitas masyarakat menjadi salah satu faktor utama penggerak ekonomi. BPS mencatat, konsumsi rumah tangga masih mendominasi ekonomi nasional dari sisi pengeluaran. Kontribusinya mencapai 51,47 persen dari total produk domestik bruto (PDB) pada triwulan kedua 2022. Meskipun masih yang tertinggi, besaran kontribusinya menurun dibandingkan pada triwulan-triwulan sebelumnya.
Dominasinya menjadi berkurang lantaran kinerja ekspor, sebagai salah satu pembentuk PDB sisi pengeluaran, kian tinggi. Andilnya kini sebesar 24,68 persen atau hampir mencapai seperempat dari perekonomian nasional. Sumbangannya meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 23,19 persen.
Peningkatan kontribusi ekspor tersebut tak lepas dari windfall yang kini dirasakan oleh Indonesia karena kenaikan harga komoditas global seperti batubara, minyak kelapa sawit, dan nikel. Lonjakan harga itu membawa keuntungan secara nasional lantaran Indonesia menjadi salah satu eksportir utama sejumlah komoditas tersebut. Oleh karena itu, neraca perdagangan Indonesia mengalami peningkatan surplus karena sumbangan ekspor kian membesar.
Gejolak global
Bagian dari keuntungan tersebut yang akhirnya turut menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi dan terpaan lonjakan harga-harga. Sebagai dampak dari ketidakstabilan rantai pasok global akibat pandemi, disertai kenaikan harga pangan dan energi pascainvasi Rusia ke Ukraina, dunia dilanda badai inflasi, tak terkecuali Indonesia. Sejak Juni 2022, inflasi Indonesia melenceng dari target yang ditetapkan pemerintah, 3±1 persen, menjadi 4,35 persen. Angkanya semakin tinggi pada bulan Juli, yakni 4,94 persen.
Menanggapi situasi itu, pemerintah menggelontorkan dana hingga lebih dari Rp 500 triliun untuk subsidi energi guna membendung laju inflasi kian meninggi. Hingga kini, langkah tersebut masih cukup efektif. Pemerintah pun masih menjaga tingkat suku bunga acuan pada level 3,5 persen. Kebijakan tersebut juga menjadi salah satu faktor yang membuat ekonomi Indonesia tetap terjaga.
Pasalnya, tidak sedikit negara yang mengatasi inflasi dengan meningkatkan suku bunga, tetapi berimbas pada pelemahan aktivitas ekonomi. Amerika Serikat, misalnya. Negara yang dikenal sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia itu pun tak terhindarkan dari inflasi. Bahkan, inflasi melonjak menjauh dari target yang ditetapkan pemerintah AS sebesar 2 persen. Pada bulan Juni, inflasi AS mencapai 9,1 persen, naik dari bulan sebelumnya yang sudah mencapai 8,6 persen.
Sejatinya, ekonomi AS juga ditopang oleh kekuatan konsumsi rumah tangga seperti halnya di Indonesia. Tahun 2020, kontribusi konsumsi rumah tangga pada total ekonomi AS mencapai 67,04 persen. Besaran ini jauh lebih tinggi daripada Indonesia yang hanya sekitar 52 persen. Sayangnya, peningkatan konsumsi masyarakat AS setelah pandemi mereda terkendala oleh rantai pasok yang menipis seiring dengan polemik geopolitik global. Industri juga belum cukup mampu memenuhi kebutuhan permintaan yang sangat tinggi. Ketidakseimbangan itu berujung pada naiknya harga-harga secara umum.
Merespons situasi tersebut, The Fed, sebagai bank sentral AS, mengambil kebijakan menaikkan suku bunga guna mengontrol konsumsi masyarakat. Kendati demikian, inflasi tak kunjung terkendali. Suku bunga acuan pun kian tinggi, hingga mencapai 2,5 persen. Pada gilirannya, roda industri melambat karena tingginya biaya yang harus ditanggung.
Perlambatan pun meluas ke seluruh aspek ekonomi yang berujung pada resesi. Keyakinan masyarakat AS akan kondisi ekonomi pun menurun dan bahkan berada pada fase pesimis. Pada Juli 2022, keyakinan konsumen AS turun menjadi 95,7 di mana pada bulan sebelumnya sudah hampir mencapai titik optimis, yakni 98,4 poin.
Hingga triwulan II-2022, terbukti bahwa ekonomi Indonesia lebih resistan dalam situasi ini. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa ketidakpastian global masih tak terelakkan. Alih-alih mereda, kini justru muncul ketegangan-ketegangan baru di sejumlah negara, seperti China dan Taiwan. Kasus baru Covid-19 pun kembali naik, setidaknya dalam satu bulan terakhir. Situasi demikian tentu saja membuat pemulihan ekonomi secara berkesinambungan tidak serta-merta mudah diraih. Apalagi, semester kedua ini tak ada momentum khusus yang dapat mendongkrak perekonomian secara masif.
Kebijakan yang kini efektif menahan inflasi dan ancaman resesi pun tetap harus dalam pantauan. Stimulus ekonomi juga harus merata. Tak hanya berpihak kepada sisi konsumsi, tetapi juga turut mendorong sisi produksi agar berjalan seimbang dan tidak menimbulkan kelangkaan yang berujung pada inflasi hingga resesi. (LITBANG KOMPAS)