Implementasi Sistem Penempatan Satu Kanal Perlu Pengawasan Kuat
Tanpa transparansi dan mekanisme pengawasan eksternal yang kuat, sistem penempatan satu kanal atau ”one channel system” penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia dikhawatirkan dapat membuka celah eksploitasi baru.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi sistem satu kanal untuk penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia berpotensi disalahgunakan jika tidak disertai dengan transparansi dan pengawasan eksternal. Sistem yang tidak terawasi dengan baik dapat memunculkan praktik monopoli oleh perusahaan tertentu serta membuka celah eksploitasi baru bagi calon pekerja.
Sistem penempatan satu kanal (SPSK) atau one channel system (OCS) diatur dalam nota kesepahaman (MOU) tentang perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia.
MOU yang ditandatangani pemerintah kedua negara pada April 2022 itu mulai resmi dijalankan per 1 Agustus 2022 ini. Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan, sampai 3 Agustus 2022, sudah tercatat 241 permintaan kerja (job order) untuk 23.441 calon pekerja migran Indonesia yang terdaftar lewat SPSK.
Meski digadang-gadang mampu menguatkan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia, SPSK tetap memerlukan pengawasan yang kuat agar tidak membuka celah penyalahgunaan yang baru.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Rabu (3/8/2022), mengatakan, SPSK dapat berjalan optimal jika tata kelola penempatan pekerja migran, mekanisme pengawasan, evaluasi kinerja perusahaan pengerah tenaga kerja, serta proses rekrutmen satu atap dan berbiaya rendah selama ini sudah berlangsung dengan baik.
Masalahnya, syarat prakondisi seperti itu belum tersedia di Indonesia. ”Oleh karena itu, penyalahgunaan kewenangan lewat mekanisme satu kanal sangat berpotensi terjadi, misalnya dalam bentuk monopoli penempatan oleh perusahaan agensi tertentu,” kata Wahyu.
Tanpa transparansi dan pengawasan eksternal yang kuat, sistem satu kanal dikhawatirkan hanya akan diisi oleh sejumlah perusahaan agensi penempatan dan perekrutan tertentu. Misalnya, perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pemerintah, BP2MI, atau perusahaan milik pimpinan asosiasi.
”Mekanisme pemilihan perusahaan agensi yang akan dilibatkan dalam sistem satu kanal tidak transparan, apakah akan lewat penunjukan langsung atau seperti apa? Perusahaan seperti apa saja yang akan terlibat?” ujarnya.
Di satu sisi, meski diyakini dapat mengurangi celah penempatan nonprosedural, sistem ini tidak otomatis membenahi karut-marut mekanisme penempatan pekerja migran. Sebab, persoalan dalam penempatan pekerja migran tidak hanya melulu di jalur nonprosedural. Ada banyak perusahaan pengerah yang berstatus resmi tetapi abai terhadap perlindungan pekerja migran.
Ada banyak perusahaan pengerah yang berstatus resmi tetapi abai terhadap perlindungan pekerja migran.
Menurut dia, sistem satu kanal sebenarnya bisa saja berjalan baik. Namun, harus dipastikan bahwa proses penentuan agensi yang terlibat di dalamnya berlangsung transparan. ”Selain itu, mekanisme pengawasan secara eksternal juga harus terbuka,” kata Wahyu.
PMI sebagai subyek
Mengacu pada MOU yang sudah diteken, belum tampak ada mekanisme pengawasan atau pertanggungjawaban publik secara rutin terhadap berjalannya SPSK. Pemerintah Indonesia dan Malaysia membentuk kelompok kerja bersama (joint working group) untuk mengawasi implementasi sistem secara berkala setiap tiga bulan sekali.
Namun, kelompok kerja itu hanya diisi pejabat pemerintah dari kedua negara, tanpa melibatkan unsur eksternal seperti kelompok masyarakat sipil. ”Seharusnya, keterlibatan publik dan masyarakat sipil bisa diikutsertakan dalam mekanisme joint working group tersebut agar evaluasi berjalan secara internal ataupun eksternal,” kata Wahyu.
Di sisi lain, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani menyoroti tahapan penempatan yang terkesan menempatkan calon pekerja migran Indonesia sebagai obyek, bukan subyek. Hal itu terlihat dari mekanisme teknis penempatan satu kanal yang memberikan calon majikan dan agensi hak untuk memilih calon pekerja, tetapi tidak sebaliknya.
Sistem yang tidak memberi hak kepada calon pekerja migran untuk menentukan agensi atau calon majikannya itu dikhawatirkan dapat membuka celah eksploitasi baru terhadap pekerja migran.
”Seharusnya, pekerja migran Indonesia juga diberi hak memilih calon majikan melalui perusahaan P3MI yang terdaftar. Dalam sistem satu kanal ini, belum terlihat, pada bagian manakah pekerja migran ditempatkan sebagai subyek yang bisa memilih agensi atau pemberi kerjanya sendiri,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah akan berhati-hati dalam menyeleksi perusahaan penempatan pekerja migran atau P3MI. Agensi yang selama ini memiliki rekam jejak buruk tidak akan dilibatkan sebagai agensi terverifikasi dalam SPSK. ”Kita akan memilih perusahaan yang memiliki kredibilitas dan catatan bagus,” katanya.
Terkait pemantauan eksternal, pemerintah juga akan mengupayakan pertanggungjawaban secara rutin dan berkala kepada publik. Anwar menjelaskan, SPSK memang tidak dapat diakses secara terbuka oleh semua orang demi menjamin keamanan data calon pekerja migran beserta pemangku kepentingan lainnya.
”Kalau semua bisa mengakses, kita khawatir justru data gampang dimanfaatkan untuk macam-macam kepentingan. Tetapi, untuk pemantauan, nanti secara berkala akan dilakukan evaluasi kepada publik,” ujar Anwar.