Penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia kembali dibuka, Senin (1/8/2022). Moratorium bisa kembali berlaku jika Malaysia melanggar kesepakatan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia kembali dibuka setelah sempat dihentikan sekitar dua pekan terakhir. Pemerintah kedua negara akan mengevaluasi implementasi nota kesepahaman terkait perlindungan pekerja migran domestik secara berkala. Moratorium dapat kembali berlaku jika ada kesepakatan yang dilanggar.
Sebelumnya, moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Malaysia sempat diterapkan sejak 13 Juli 2022. Moratorium dilakukan karena pemerintah Malaysia melanggar salah satu kesepakatan utama dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MOU) terkait penempatan dan perlindungan PMI sektor domestik ke Malaysia.
Malaysia diketahui masih menggunakan Sistem Maid Online (SMO) yang memungkinkan penempatan pekerja migran domestik secara langsung ke negara jiran tersebut tanpa memerlukan visa kerja. Sementara, MOU yang sudah diteken pemerintah Indonesia dan Malaysia pada April 2022 lalu menyepakati hanya ada Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System (OCS) untuk penempatan PMI.
Dalam pertemuan antara Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Manusia Malaysia Dato’ Sei M Saravanan Murugan di Jakarta, Kamis (28/7) lalu, keduanya sepakat untuk konsisten menjalankan prinsip-prinsip dalam MOU dan kembali membuka penempatan PMI sektor domestik ke Malaysia mulai Senin ini.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah membentuk suatu kelompok kerja bersama (joint working group) untuk secara rutin dan berkala mengevaluasi implementasi MOU perlindungan PMI domestik tersebut.
“Setiap tiga bulan sekali, implementasi MOU ini akan kita pantau dan evaluasi. Kalau ada masalah, kita identifikasi dan dengan cepat bisa diselesaikan di tingkat pejabat tinggi dan menteri kedua negara,” kata Anwar saat dihubungi, Minggu (31/7).
Menurutnya, jika ke depan terbukti ada pelanggaran komitmen dari pemerintah Malaysia terhadap prinsip-prinsip MOU Perlindungan PMI Domestik, moratorium penempatan PMI ke Malaysia sangat mungkin kembali diterapkan.
“Moratorium itu sebagai mekanisme legal bentuk protes atau ketidaksetujuan kita jika seandainya terjadi pelanggaran komitmen. Itu bukan sesuatu yang tabu, dan menunjukkan kalau kita tidak main-main dalam hal perlindungan warga kita di luar negeri,” ujarnya.
Moratorium itu sebagai mekanisme legal bentuk protes atau ketidaksetujuan kita jika seandainya terjadi pelanggaran komitmen.
Posisi tawar
Anwar mengatakan, pada prinsipnya, posisi tawar Indonesia cukup tinggi dalam konteks ini. Saat ini, Malaysia sedang mengalami kelangkaan pekerja migran di sektor-sektor strategisnya dan sangat membutuhkan pengiriman pekerja migran dari negara lain, terutama Indonesia. “Dalam hal ini, posisi kita sangat kuat. Ketika kita kemarin menyatakan moratorium, mereka (Malaysia) segera mengambil langkah cepat untuk merespons,” tuturnya.
Adapun evaluasi berkala setiap tiga bulan sekali itu bukan hanya terhadap implementasi SPSK atau OCS, tetapi juga prinsip-prinsip lainnya dalam MOU Perlindungan PMI Domestik. Antara lain, kesepakatan mengenai upah minimum pekerja migran domestik sebesar 1.500 ringgit dan standar pendapatan minimum bagi calon pemberi kerja sebesar 7.000 ringgit.
Selain itu, kesepakatan tentang jaminan sosial bagi PMI sektor domestik, baik lewat BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan milik Indonesia maupun sistem jaminan sosial yang dimiliki Malaysia. “Ada pula komitmen untuk memberikan paspor kepada pekerja migran kita, dan komitmen untuk memberi akses handphone kepada pekerja kita. Jadi, ada banyak yang akan dievaluasi dan dipantau, bukan hanya terkait penerapan OCS saja,” ujar dia.
Implementasi SPSK atau OCS itu sendiri diharapkan bisa mengurangi potensi penempatan PMI secara nonprosedural. Dengan adanya sistem satu pintu seperti itu, pendataan dan pengawasan terhadap kondisi PMI sektor domestik di Malaysia diyakini dapat lebih mudah dilakukan. “Seiring dengan itu, kita juga akan meningkatkan pengawasan di dalam negeri terhadap celah jalur-jalur nonprosedural,” kata Anwar.
Secara terpisah, Direktur Pusat Penyelesaian Permasalahan WNI di Luar Negeri (P3WNI) di Malaysia Muhammad Zainul Arifin mengatakan, sistem OCS bukan solusi atau jaminan untuk menyelesaikan masalah perlindungan PMI yang ada di Malaysia. Sebab, banyak kasus di mana PMI bermasalah bukan hanya yang berstatus nonprosedural, melainkan juga yang prosedural.
“Jadi, OCS itu bukan solusi mutlak. Yang terpenting adalah bagaimana pengawasan pemerintah terhadap PMI yang ada di Malaysia bisa lebih efektif. Kinerja perwakilan Indonesia di Malaysia harus lebih ditingkatkan,” katanya.
Menurutnya, lepas dari sistem penempatan PMI satu kanal ataupun tidak, pengawasan yang dilakukan pemerintah selama ini memang belum efektif. “PMI yang prosedural maupun nonprosedural pada hakikatnya masih mengalami masalah yang sama, seperti upah yang rendah di bawah standar, bekerja di luar jam kerja, dan penganiayaan. Penyelesaian dari pemerintah justru terkadang lamban dan terlalu prosedural,” ujar Zainul.
Ia juga mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam menerapkan moratorium. Keputusan moratorium yang tidak diikuti dengan kebijakan lainnya untuk mensejahterakan dan melindungi PMI, justru akan memunculkan semakin banyak PMI yang berangkat secara nonprosedural.
“Harus berhati-hati, karena bisa berdampak pada pemberangkatan PMI secara nonprosedural dan semakin meningkatkan pengangguran di dalam negeri, karena ketidaksiapan pemerintah dalam membuka peluang pekerjaan di negeri sendiri,” kata dia.