Angin Segar Defisit Buruh Migran
Para ”pahlawan devisa” yang selama ini ikut menopang perekonomian negara lewat sumbangsih remitansi berhak mendapat perlakuan lebih baik. Beban untuk memanfaatkan momentum langka ini pun ada di pundak pemerintah.
Malaysia sedang pusing. Negeri jiran itu kekurangan tenaga kerja di sektor perkebunan, manufaktur, dan konstruksi, yang selama ini selalu dipasok dari negara tetangga. Malaysia bukan sedang kekurangan suplai angkatan kerja. Hanya saja, warganya tidak tertarik untuk bekerja di sektor yang mereka anggap sebagai kerja kasar, berbahaya, berupah rendah, dan tidak butuh keterampilan tinggi.
Orang Malaysia lebih memilih pekerjaan di sektor jasa dan ekonomi digital, yang menawarkan upah lebih tinggi dan pengaturan kerja yang fleksibel. Ceruk pekerjaan di sektor konvensional pun selama ini lebih banyak diisi oleh para pekerja migran, yang ”diimpor” dari negara tetangga yang punya angkatan kerja berlebih dan kesediaan untuk bekerja kasar serabutan, seperti Indonesia.
Namun, akibat pandemi Covid-19 dan larangan penempatan tenaga kerja migran selama dua tahun terakhir, Malaysia mulai mengalami kelangkaan buruh migran. Tak terkecuali, sektor perkebunan sawit sebagai industri andalan Malaysia, yang hampir 90 persen tenaga kerjanya berasal dari Indonesia dan hampir 70 persen di antaranya tidak berdokumen resmi dan rentan dieksploitasi.
Baca Juga: Malaysia Defisit Pekerja, Momentum RI untuk Dorong MoU Perlindungan Buruh Sawit Migran
Mengutip laman berita The Edge Market, Direktur Eksekutif Malaysian Palm Oil Association Datuk Mohd Nageeb Abdul Wahad mengatakan, kelangkaan pekerja migran telah memangkas pendapatan dan produksi sektor sawit hingga 15-25 persen. Tahun lalu, estimasi kerugian akibat defisit pekerja itu adalah 20 miliar ringgit. Tahun ini, kerugian diperkirakan semakin tinggi hingga 28 miliar ringgit.
Seperti diberitakan Reuters, perusahaan sawit di Malaysia sampai-sampai harus membatalkan dan menolak order yang masuk karena tidak sanggup memenuhi permintaan yang meningkat dengan tenaga kerja terbatas. Meski mekanisasi dan otomasi proses kerja mulai diterapkan di sektor tersebut, kegiatan panen dan muat sawit secara umum masih harus dilakukan secara manual dengan mengandalkan tenaga manusia.
Pelaku industri Malaysia telah meminta Indonesia dan Bangladesh untuk segera mengirim kembali pekerja migran, tetapi negosiasi antarpemerintah belum membuahkan hasil karena perundingan masih mentok seputar pemenuhan hak dan perlindungan pekerja. Sampai Mei 2022, dari sekitar 30.000 orang pekerja migran yang dibutuhkan Malaysia, Indonesia baru mengirimkan 257 orang.
Kekurangan pekerja migran pascapandemi ini tidak hanya terjadi di Malaysia, tetapi juga di beberapa negara lain yang selama ini bergantung pada pekerja migran. Dampaknya pun tidak main-main, mengingat tenaga kerja migran umumnya banyak berkecimpung di sektor esensial, seperti manufaktur dan pangan.
Kekurangan pekerja migran pascapandemi ini tidak hanya terjadi di Malaysia, tetapi juga di beberapa negara lain yang selama ini bergantung pada pekerja migran.
Sayangnya, alih-alih menawarkan kondisi kerja yang lebih manusiawi, belum terlihat adanya itikad baik untuk melakukan perbaikan. Tendensi itu misalnya terlihat dari pelaku industri manufaktur di Malaysia, yang sebenarnya bisa saja mempekerjakan tenaga kerja lokal, tetapi memilih menggunakan buruh migran untuk menghindari kewajiban memenuhi hak pekerja secara lebih layak.
Mengutip kata-kata Tan Sri Soh Thian Lain, Presiden Federasi Manufaktur Malaysia (FMM), pelaku industri sebenarnya bisa mempekerjakan warga lokal untuk mengisi posisi yang kosong. Namun, ”permintaan upah (dari pekerja lokal) terlalu tinggi dan mereka tidak bersedia disuruh bekerja lembur. Di tahap ini, industri harus mengejar order dan permintaan yang melejit pascapandemi”.
Kondisi rawan
Selama ini, negara-negara yang bergantung pada pekerja migran telah menikmati suplai tenaga kerja yang berlebihan dari negara-negara seperti Indonesia, Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, dan Filipina. Dengan posisi tawar yang berat sebelah pada negara-negara tujuan penempatan itu, para pekerja migran kerap diperlakukan buruk, dieksploitasi, bahkan dijebak masuk sindikat perdagangan orang.
Riset Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2019, Public Attitudes Towards Migrant Workers in Japan, Malaysia, Singapore, and Thailand, menunjukkan, di negara-negara yang memiliki ketergantungan tinggi pada pekerja migran, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Thailand, pekerja migran kerap mengalami perlakuan buruk dan tidak dipenuhi hak-hak dasarnya.
Ada delapan unsur hak pekerja migran yang seharusnya dipenuhi, yakni cuti berbayar, cuti sakit, cuti melahirkan, jatah libur, upah lembur, hak memegang paspor dan ponsel pribadi, serta hak untuk meninggalkan rumah. Laporan itu mencatat, terkait kedelapan hak tersebut, pemberi kerja di Thailand hanya memenuhi empat hak, Singapura memenuhi tiga hak, Malaysia memenuhi dua hak, dan Jepang memenuhi satu hak. Di Jepang, 43 persen pemberi kerja bahkan mengaku tidak memenuhi satu pun hak pekerja migrannya.
Baca Juga: Tantangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Kekerasan terhadap pekerja migran juga kerap terjadi, khususnya kepada perempuan buruh. Tanpa perlindungan memadai, perempuan buruh migran berada pada posisi rentan untuk mengalami kekerasan dan diskriminasi berbasis jender. Di berbagai negara penempatan, akses perempuan pekerja migran untuk melapor dan mencari perlindungan ketika mengalami kekerasan sangat terbatas.
Di sektor perkebunan sawit, Laporan Akhir Tahun 2020 Sawit Watch mencatat, eksploitasi praktik kerja banyak ditemukan dalam bentuk pekerjaan tidak tetap dengan ketidakpastian kerja, tunjangan yang kecil, beban kerja berat, diskriminasi terhadap perempuan buruh, serta penggunaan buruh anak. Buruh migran sawit juga tidak mendapat jaminan sosial yang memadai, mengalami pemberangusan serikat buruh, dan sulit mendapat fasilitas air bersih di lingkungan kerja.
Penghargaan
Kondisi pandemi selama dua tahun terakhir ini seharusnya menyadarkan negara-negara yang memiliki ketergantungan tinggi kepada pekerja migran untuk mewujudkan kondisi kerja yang lebih layak bagi mereka. Sesuai hukum pasar, ketika permintaan meningkat di tengah keterbatasan pasokan, di situ seharusnya terjadi peningkatan harga jual yang signifikan.
Memang, miris untuk menyandingkan tenaga manusia dengan barang. Namun, pada sistem kapitalis di mana tenaga manusia telah menjelma menjadi komoditas tersendiri, berlakunya hukum pasar di atas seharusnya mendorong bayaran upah, pemenuhan hak, dan perlindungan kerja yang lebih baik bagi para pekerja migran. Kalau harga barang bisa naik tinggi ketika permintaannya melonjak, mengapa tidak halnya penghargaan kepada tenaga buruh migran yang kini sedang sangat dibutuhkan?
Kalau harga barang bisa naik tinggi ketika permintaannya melonjak, mengapa tidak halnya penghargaan kepada tenaga buruh migran yang kini sedang sangat dibutuhkan?
Para ”pahlawan devisa” yang selama ini ikut menopang perekonomian negara lewat sumbangsih remitansi berhak mendapat perlakuan lebih baik. Beban untuk memanfaatkan momentum langka ini pun ada di pundak pemerintah. Pemerintah harus lebih tegas menuntut komitmen politik negara penempatan, dalam hal ini Malaysia, untuk memenuhi hak-hak pekerja migran yang direkrutnya.
Di antaranya, mendorong pembahasan revisi nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) perlindungan pekerja sektor perkebunan yang sudah usang karena masih mengacu pada undang-undang lama. MoU itu harus mencakup pasal-pasal untuk melindungi hak atas upah, jaminan sosial, dan standar perlindungan kerja lainnya, sebagaimana MoU perlindungan pekerja migran domestik yang pada awal April ini sudah diteken kedua negara.
Pemerintah juga harus menjadikan kesempatan ini untuk memastikan Malaysia mematuhi kesepakatan yang sudah ditandatangani itu. Pasalnya, dua bulan setelah MoU diteken dan penempatan kembali dibuka, pelanggaran masih kerap terjadi. Celah pemberangkatan PMI secara nonprosedural dan tak berdokumen masih ditemukan, seperti lewat sistem agensi Maid Online yang problematik.
Untuk semakin memperkuat posisi tawar, ikhtiar untuk memperbaiki nasib pekerja migran ini juga sebaiknya dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah Indonesia dengan Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Filipina, sebagai negara pengirim pekerja migran terbesar lainnya di ASEAN.
Semoga perkara defisit pekerja ini bisa dikelola menjadi angin segar yang memperbaiki taraf hidup para pekerja migran.