Malaysia Defisit Pekerja, Momentum RI untuk Dorong MOU Perlindungan Buruh Sawit Migran
Permintaan untuk pekerja migran Indonesia di sektor perkebunan sawit meningkat seiring dengan adanya kelangkaan tenaga kerja di Malaysia.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Defisit tenaga kerja di Malaysia dan meningkatnya permintaan akan buruh sawit asal Indonesia menjadi momentum untuk menagih komitmen perlindungan buruh migran di sektor sawit yang rawan eksploitasi. Pemerintah diingatkan tidak terburu-buru memenuhi permintaan Malaysia dan membuka ruang negosiasi.
Diberitakan kantor berita Reuters, Senin (13/6/2022), industri pengolahan sawit dan semikonduktor Malaysia, selaku dua sektor yang banyak mempekerjakan buruh migran, mengalami defisit tenaga kerja seiring pulihnya permintaan pascapandemi dan belum kembalinya pengiriman pekerja migran dari negara-negara seperti Indonesia dan Bangladesh.
Meski kebijakan pelarangan sementara penempatan pekerja migran akibat pandemi Covid-19 sudah dianulir, pengiriman pekerja migran ke Malaysia belum signifikan. Reuters menyebut, negosiasi antarpemerintah belum membuahkan hasil karena perundingan yang masih mengganjal terkait aspek perlindungan pekerja.
Defisit pekerja migran itu membuat perusahaan Malaysia terpaksa menolak order yang masuk. Perusahaan tidak sanggup memenuhi permintaan dengan jumlah tenaga kerja yang terbatas. Industri sawit, yang berkontribusi besar pada perekonomian Malaysia, memperkirakan bakal kehilangan 3 juta ton hasil panen dan merugi 4 miliar dollar AS akibat kekurangan pekerja.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo, Senin, menilai, kondisi tersebut bisa menjadi momentum untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dan mendorong pembahasan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) seputar perlindungan buruh migran di sektor perkebunan, yang selama ini rawan dieksploitasi.
Pemerintah diharapkan tidak terburu-buru mengirim pekerja migran sesuai permintaan perusahaan sawit Malaysia, sebelum adanya kepastian mengenai perlindungan pekerja di sektor perkebunan.
”Seperti MOU untuk pekerja domestik yang awal tahun ini diteken, MOU di sektor perkebunan ini juga harus mencakup pasal-pasal untuk melindungi pekerja migran, dari segi upah, jaminan sosial, dan standar perlindungan pekerja lainnya,” kata Wahyu saat dihubungi.
Meski kebijakan pelarangan sementara penempatan pekerja migran akibat pandemi Covid-19 sudah dianulir, pengiriman pekerja migran ke Malaysia masih belum signifikan.
Rawan eksploitasi
Laporan akhir tahun 2020 Sawit Watch mencatat, eksploitasi praktik kerja di perkebunan sawit banyak ditemukan dalam bentuk pekerjaan tidak tetap dengan ketidakpastian kerja, tunjangan yang kecil, beban kerja berat, diskriminasi terhadap buruh perempuan, serta penggunaan buruh anak. Buruh migran sawit juga tidak mendapat jaminan sosial yang memadai, mengalami pemberangusan serikat buruh, dan sulit mendapat fasilitas air bersih di lingkungan kerja.
Sawit Watch mencatat, 90 persen dari komposisi tenaga kerja di perkebunan sawit perbatasan di Sabah, Malaysia, adalah pekerja migran yang mayoritas berasal dari Indonesia, khususnya Sulawesi dan NTT. Sebanyak 70 persen dari buruh sawit migran asal Indonesia itu berstatus tak berdokumen (undocumented).
”Problem terbesar pekerja di sektor perkebunan adalah mereka ini kebanyakan undocumented. Mereka direkrut tanpa kontrak kerja, tanpa perlindungan jelas, apalagi, di perkebunan Sabah, banyak rekrutmen yang masuk melalui jalur kultural (tak resmi),” kata Wahyu.
Akibat tidak diakui sebagai jalur resmi, jalur kultural itu kerap luput dari pengawasan pemerintah. Berbagai praktik pelanggaran, termasuk celah perdagangan orang (human trafficking) pun sering terjadi lewat jalur-jalur tersebut.
”Kalau pekerja migran kita di sektor perkebunan yang masuk lewat jalur nonresmi itu diakui pemerintah, mereka akan ikut diregulasi dan dilindungi pemerintah. Kerawanan eksploitasi dan perdagangan manusia pun bisa dihindari,” ujarnya.
Solusi ”win-win”
Lebih lanjut, selain mendorong MOU perlindungan buruh perkebunan, kondisi defisit pekerja di Malaysia dan meningkatnya demand akan pekerja migran dari Indonesia itu juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong negosiasi pemutihan atau legalisasi pekerja migran tak berdokumen yang sudah telanjur ada di negeri jiran tersebut. ”Ini bisa jadi win-win solution dalam lobi panjang pemutihan pekerja migran kita,” ujarnya.
Meningkatnya demand akan pekerja migran dari Indonesia juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong negosiasi pemutihan atau legalisasi pekerja migran tak berdokumen.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Suhartono menjelaskan, penempatan pekerja migran Indonesia ke negara tujuan penempatan Malaysia memang telah dibuka kembali setelah penandatanganan MOU RI-Malaysia mengenai perlindungan pekerja migran domestik, April 2022.
Namun, Indonesia belum mulai mengirimkan pekerja ke Malaysia. Beberapa pekan lalu, 147 calon pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak jadi diberangkatkan karena dokumen visa yang dimiliki tidak sesuai persyaratan. Mereka mengantongi visa pelancong, bukan visa kerja sebagaimana seharusnya.
Dengan dibukanya pintu penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia tersebut, pengurusan dokumen permintaan TKI atau job order/demand letter pun dimulai. Dokumen itu adalah surat resmi permintaan tenaga kerja asal Indonesia dari pengguna atau pemberi kerja di luar negeri yang ditujukan kepada agensi penyalur/perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) di Indonesia.
Seiring dengan itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga sedang memproses persiapan penempatan pekerja migran Indonesia melalui sistem penempatan satu kanal (one channel system). Kedua negara saat ini sedang melakukan integrasi sistem sekaligus mengembangkan sistem yang sudah ada agar proses penempatan kelak dapat lebih efisien.
“Para pencari kerja yang berminat untuk bekerja di Malaysia dan memiliki kompetensi dapat mendaftarkan diri di dinas ketenagakerjaan setempat, mengikuti seleksi, mengurus kelengkapan dokumen, dan siap berangkat ke Malaysia,” katanya.