Penempatan Kembali PMI ke Malaysia Butuh Persiapan Matang
Sebelum membuka kembali penempatan PMI sektor domestik ke Malaysia, pemerintah sebaiknya terlebih dulu memastikan bahwa nota kesepahaman RI-Malaysia tentang perlindungan PMI dapat diterapkan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan sebelum kembali membuka penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia. Persiapan penerapan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu dimatangkan dulu agar tidak mengulang persoalan lama dan membuka celah masalah baru.
Nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) terkait pekerja migran Indonesia (PMI) di sektor domestik antara kedua negara tersebut baru saja ditandatangani pada April 2022 lalu. MOU itu menyepakati beberapa perbaikan kualitas perlindungan bagi PMI di sektor domestik dan perkebunan (sektor informal), mulai dari standar upah sampai jaminan sosial.
Kini, seiring dengan meredanya pandemi Covid-19 di kedua negara, langkah membuka kembali pintu penempatan PMI ke Malaysia mulai terlihat. Beberapa pekan lalu, 147 calon PMI asal Nusa Tenggara Barat (NTB) nyaris diberangkatkan ke Malaysia, tetapi akhirnya batal dilakukan karena faktor dokumen visa yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Kamis (9/6/2022) mengatakan, pemerintah sudah kembali membuka penempatan PMI ke Malaysia. Pada April 2022, Kemenaker menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Nomor 3/111/PK.02.01/IV/2022 untuk mengatur daftar negara yang dapat ditempati PMI pada masa adaptasi kebiasaan baru.
Melalui aturan baru itu, Indonesia dapat kembali menempatkan PMI ke 65 negara setelah dua tahun terakhir ini terpaksa dibatasi akibat pandemi, salah satunya Malaysia. ”Saat ini sedang kita persiapkan berbagai urusannya. Kita bisa segera memberangkatan setelah semua proses selesai,” katanya.
Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker Suhartono mengatakan, perwakilan Indonesia di 65 negara tersebut telah diminta untuk berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk memastikan ketersediaan informasi pasar kerja serta aspek keselamatan dan perlindungan PMI.
”Keputusan ini diambil setelah Kemenaker memperhatikan masukan perwakilan RI di negara penempatan dan beberapa pihak terkait, di mana kita bisa memastikan keselamatan dan perlindungan para PMI kita di masa adaptasi kebiasaan baru ini,” katanya.
Koordinator Migrant Care Kuala Lumpur Alex Ong, Kamis, mengatakan, sebelum kembali membuka penempatan PMI ke Malaysia, pemerintah semestinya memastikan dulu urusan teknis implementasi MOU yang sudah disepakati. Pasalnya, sejauh ini MOU untuk melindungi pekerja migran domestik tersebut hanya terkesan bagus di atas kertas, tetapi nyaris mustahil untuk dijalankan.
”MOU itu sebenarnya dokumen yang sangat bagus, tetapi sampai sekarang bentuknya hanya simbolik saja. Meskipun sudah ditandatangani, belum ada political will yang kuat untuk melaksanakannya,” kata Alex saat dihubungi dari Jakarta.
MOU itu sebenarnya dokumen yang sangat bagus, tetapi sampai sekarang bentuknya hanya simbolik saja. Meskipun sudah ditandatangani, belum ada political will yang kuat untuk melaksanakannya.
Contohnya, penerapan sistem terintegrasi (one channel system/OCS) untuk mencegah penempatan nonprosedural. Sistem itu menurut rencana akan mengintegrasikan aplikasi daring SIAPKerja milik Indonesia dan aplikasi daring Foreign Workers Centralized Management System (FWCMS) milik Malaysia. Sistem itu akan menjadi satu-satunya kanal untuk merekrut dan mempekerjakan PMI domestik.
Namun, pada kenyataannya, skema agensi Maid Online, sistem perekrutan pembantu rumah tangga (PRT) milik badan imigrasi Malaysia, masih beroperasi seperti biasa dan membuka celah penempatan di luar skema OCS. Agen yang sejatinya bersifat resmi tersebut memiliki rekam jejak bermasalah karena memperlakukan calon PRT dengan buruk selama proses perekrutan.
”Secara lisan, Malaysia setuju Maid Online tidak akan digunakan. Tetapi, nyatanya, masih ada sembilan negara lain yang menggunakan agen itu. Jadi, itu tetap berjalan seperti biasa. Dua hari lalu, kami dapati ada PRT dari Filipina yang sudah lolos keluar dari imigrasi Malaysia tanpa calling visa,” tutur Alex.
Payung hukum
Di sisi lain, meski MOU tersebut bertujuan untuk melindungi PMI sektor informal, Malaysia sampai saat ini belum memiliki payung hukum untuk perlindungan pekerja informal.
Oleh karena itu, untuk menegakkan implementasi perlindungan pekerja informal sesuai MOU, perlu ada payung hukum baru untuk memastikan Pemerintah Malaysia akan ikut bertanggung jawab mengurusi kasus pekerja informal.
”Dalam UU ketenagakerjaan Malaysia, tidak ada pasal yang mengatur bahwa jabatan tenaga kerja (departemen tenaga kerja di Malaysia) berwenang mengurusi kasus pertikaian tentang perlindungan pekerja informal,” ujarnya.
Ia mengatakan, diplomasi antarpemerintah perlu dilakukan lebih intens sebelum kembali membuka pintu penempatan PMI ke Malaysia. Hal ini bertujuan agar MOU tersebut betul-betul diterapkan untuk melindungi PMI domestik, bukan sekadar menjadi peraturan simbolik yang bagus di atas kertas.
Tanpa payung hukum mengikat dan keinginan politik yang kuat dari pemerintah kedua negara, standar upah minimum bagi PMI domestik senilai 1.500 RM atau setara Rp 4,9 juta yang diatur dalam MOU juga pada kenyataannya akan sulit diterapkan. Pasalnya, ada anggapan di kalangan publik Malaysia bahwa besaran upah itu terlalu tinggi karena setara dengan seorang pekerja lulusan D-1.
Solusinya, ujar Alex, adalah membekali para calon PMI domestik dengan sertifikasi keterampilan yang diakui oleh kedua negara sebelum diberangkatkan. Contohnya adalah sertifikasi pemeliharaan rumah tangga (housekeeping), sertifikasi memasak, serta sertifikasi merawat warga lansia dan bayi. ”Intinya, harus ada effort untuk ’memprofesionalkan’ para PRT,” ujarnya.