Ekspor CPO meningkat signifikan pasca-larangan ekspor dicabut. Namun, harga TBS sawit petani masih belum sesuai harapan. Apakah ini sekadar disebabkan oleh penurunan harga dan lesunya pasar CPO global?
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan sejumlah produk turunannya telah dicabut pemerintah. Ekspor minyak goreng dan bahan bakunya juga telah dipercepat, bahkan diberi insentif. Ekspor CPO melejit, tetapi harga tandan buah segar kelapa sawit petani masih terjepit. Ada apa?
Larangan ekspor CPO dan tiga produk turunannya berlangsung 28 April 2022 hingga 23 Mei 2022. Larangan itu menyebabkan tangki-tangki penyimpanan CPO penuh, sementara harga tandan buah segar (TBS) sawit di petani anjlok. Setelah larangan ekspor dicabut, serapan dan harga TBS petani masih perlu didongkrak, sementara tangki-tangki CPO perlu segera dikosongkan.
Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), harga TBS terendah waktu itu Rp 400 per kilogram (kg). Sementara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan, stok akhir CPO pada Januari-Mei 2022 sebanyak 7,32 juta ton, melonjak dari periode yang sama 2021 yang sebanyak 3,07 juta ton.
Guna mengurai masalah itu, pemerintah menggulirkan sejumlah kebijakan. Perusahaan yang tak ikut program Sistem Minyak Goreng Curah (Simirah) I atau Minyak Goreng Curah Bersubsidi diperbolehkan ekspor dengan membayar biaya tambahan 200 dollar AS per ton di luar pungutan dan bea keluar. Program flush out ini bertujuan mempercepat pengosongan tangki-tangki CPO. Adapun perusahaan yang ikut program Simirah I mendapatkan insentif ekspor CPO dan sejumlah produk turunan. Mereka bisa mengekspor lima kali lipat dari pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) atau 1:5.
Setelah kedua program itu tuntas, pemerintah tetap memberlakukan kebijakan DMO untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Bersamaan dengan itu, pemerintah menggulirkan program Simirah II atau Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR). Insentif ekspor yang diberikan tujuh kali lipat dan akan dinaikkan lagi jadi 13,5 kali lipat. Kementerian Keuangan bahkan telah menghapus sementara pungutan ekspor CPO selama 15 Juli-31 Agustus 2022.
Lalu bagaimana realisasi ekspor dan pembentukan harga TBS setelah kebijakan-kebijakan itu digulirkan? Setelah larangan ekspor CPO dicabut, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, ekspor CPO naik signifikan. Volume ekspor CPO pada Juni 2022 mencapai 1,76 juta ton, naik dibandingkan volume Mei dan April 2022 yang 182.800 ton dan 1,52 juta ton.
Kementerian Perdagangan juga mencatat, realisasi ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 2,77 juta ton sejak larangan ekspor CPO dicabut pada 23 Mei 2022 hingga 28 Juli 2022. Dari jumlah itu, realisasi volume ekspor dari program Simirah I sebanyak 1,77 juta ton atau sekitar 88,33 persen dari total volume persetujuan ekspor (PE) yang telah diterbitkan. Adapun realisasi total ekspor program flush out sebanyak 1 juta ton atau 92,15 persen dari total volume PE yang telah diterbitkan.
Melihat data realisasi ekspor itu, kebijakan mendorong ekspor telah berhasil. Dengan peningkatan volume ekspor itu, volume tangki-tangki CPO seharusnya semakin berkurang. Apalagi produsen-produsen CPO juga masih belum mengoptimalkan produksi. Namun, situasi itu belum bisa mendongkrak harga TBS sawit, terutama di petani mandiri, di atas Rp 2.000 per kg sesuai target pemerintah dan harapan petani. SPKS menyebut harga TBS di tingkat petani swadaya belum banyak perkembangan.
Per 28 Juli 2022, harga tertinggi TBS di 15 kabupaten di 12 provinsi Rp 1.570 per kg dan terendah Rp 700 per kg. Harga tersebut mulai sedikit membaik jika dibandingkan dengan dua pekan sebelumnya saat harga tertinggi dan terendahnya masing-masing Rp 944 per kg dan Rp 600 per kg.
Tantangan ekspor
Selama ini harga CPO global menjadi acuan harga CPO di Indonesia dan berpengaruh terhadap pembentukan harga TBS petani. Sejak Indonesia jorjoran mengekspor CPO dan produksi CPO Malaysia meningkat, harga CPO global anjlok.
Pada Januari-Juli 2022, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia, yang pernah tembus 7.104 ringgit Malaysia per ton, jatuh di kisaran 3.000 ringgit Malaysia pada 13-28 Juli 2022. Per 29 Juli 2022, harganya mulai naik jadi 4.289 ringgit Malaysia per ton akibat imbas kenaikan harga minyak kedelai.
Selain faktor harga, permintaan impor CPO, terutama dari negara importir terbesar, yakni China dan India, tengah lesu. China masih mengunci beberapa wilayahnya menuju nol Covid-19. Sementara India telah mengimpor CPO dari Malaysia dan menambah impor minyak nabati lain selama larangan ekspor CPO Indonesia berlangsung.
Di tengah lesunya pasar CPO global, Indonesia berhasil melobi China untuk menambah impor CPO dan sejumlah produk pertanian lain sebanyak 1 juta ton. Pemerintah Indonesia juga mendorong serapan minyak sawit untuk biodiesel melalui program biodiesel 35 persen (B 35) sebanyak 1,5 juta ton.
Upaya-upaya itu tentu tidak serta-merta akan mengerek harga TBS petani. Apalagi harga komoditas pangan, termasuk CPO, tengah memasuki fase koreksi harga dan membentuk harga keseimbangan baru. Permintaan pasar diperkirakan juga masih lesu akibat resesi dan peningkatan kasus Covid-19.
Pastinya ekspor CPO telah meningkat signifikan pasca-larangan ekspor dicabut. Percepatan ekspor serta lobi-lobi pasar dan insentif ekspor CPO juga terus didorong sembari menjaga stabilitas harga dan stok minyak goreng meskipun ada permintaan untuk menghapus DMO.
Harga TBS juga pelan-pelan mulai merangkak naik. Namun, jangan sampai ada upaya menunda ekspor demi menunggu harga CPO yang anjlok kembali membaik.