Sekarang pilihannya apakah membiarkan tangki-tangki tetap penuh atau mendorong ekspor walaupun harga akan turun, tetapi nanti akan terbentuk harga keseimbangan baru. Posisi pasar yang lesu saat ini hanya sementara.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Tantangan itu tidak hanya soal penurunan harga, melainkan juga masih lesunya permintaan CPO global.
Padahal, ekspor CPO saat ini sangat diperlukan untuk mengosongkan tangki-tangki CPO yang penuh. Dengan pengosongan tersebut, tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani bisa terserap dan harganya semakin membaik.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, Selasa (26/7/2022), mengatakan, permintaan CPO Indonesia memang agak melambat. Selama larangan ekspor CPO di Indonesia berlangsung, sejumlah negara mencari pengganti dengan membeli CPO dari Malaysia.
Beberapa negara, seperti India, bahkan menambah impor minyak nabati lain, yakni minyak kedelai dan biji bunga matahari. Faktor lain penyebab perlambatan permintaan itu adalah penguncian wilayah di sejumlah negara, terutama China, untuk mengendalikan pandemi Covid-19.
”Harga CPO global juga turun cukup signifikan, yakni 1.200 dollar AS per ton di bursa Rotterdam. Dengan kondisi ekonomi dunia yang kurang baik, dikhawatirkan harga minyak nabati dunia juga kurang baik. Hal ini juga akan berimbas kepada harga CPO dunia,” kata Eddy ketika dihubungi di Jakarta.
India dan China merupakan pembeli CPO terbesar. Per Mei 2022, India hanya mengimpor 514.022 ton CPO, turun 10 persen dibandingkan April 2022. India bahkan telah menambah impor minyak kedelai 37 persen menjadi 373.043 ton dan minyak biji bunga matahari lebih dari dua kali lipat menjadi 118.482 ton.
Sementara impor CPO yang dilakukan China juga turun sekitar 24 persen pada periode Januari-Juni 2022. Hingga kini, China juga masih mengunci sejumlah wilayah untuk merealisasikan target nol kasus Covid-19.
Dilematis
Kondisi pasar dan harga CPO tersebut menempatkan ekspor CPO Indonesia dalam posisi dilematis. Jika ekspor terus didorong, harga CPO global akan tertekan dan serapan pasar masih lambat, tetapi TBS petani bisa terserap. Namun, jika ekspor kurang optimal, tangki-tangki CPO bakal lambat kosong serta memperlambat serapan dan kenaikan harga TBS.
”Sekarang pilihannya apakah membiarkan tangki-tangki tetap penuh atau mendorong ekspor walaupun harga akan turun, tetapi nanti akan terbentuk harga keseimbangan baru. Posisi pasar yang lesu saat ini hanya sementara, ” kata Eddy.
Sekarang pilihannya apakah membiarkan tangki-tangki tetap penuh atau mendorong ekspor walaupun harga akan turun, tetapi nanti akan terbentuk harga keseimbangan baru. Posisi pasar yang lesu saat ini hanya sementara.
Jika tetap mempertahankan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO), lanjut Eddy, pemerintah diharapkan memperbesar rasio ekspor terhadap DMO. Program biodiesel dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen (B35) baru bisa menyerap CPO sekitar 1,5 juta ton setahun.
Saat ini, pemerintah masih memberlakukan kebijakan DMO CPO dan sejumlah produk turunannya. Pemerintah juga masih memberikan insentif ekspor CPO sebesar tujuh kali lipat dari pemenuhan DMO atau 1:7 bagi masing-masing perusahaan. Pemerintah berencana menaikkan insentif itu menjadi 8,4 kali lipat dari pemenuhan DMO (1:8,4).
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI), stok akhir minyak sawit pada Januari-Mei 2021 mencapai 3,07 juta ton. Sementara pada Januari-Mei 2022 jumlahnya melonjak menjadi 7,23 juta ton (Kompas, 22/7/2022).
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, ekspor CPO tetap perlu terus didorong kendati pasar dan harga CPO masih lesu. Ekspor tersebut perlu ditopang dengan serapan CPO di dalam negeri baik untuk industri minyak goreng maupun program B35 agar tangki-tangki CPO cepat kosong.
Kebijakan DMO juga perlu dihapus mengingat kebijakan itu sebenarnya bersifat sementara untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri. Saat ini, harga minyak goreng juga sudah turun cukup signifikan dan stok CPO melimpah.
”Harga CPO memang akan terkoreksi dan bakal membentuk kesimbangan baru. Ke depan, serapan pasar juga akan berangsur-angsur pulih,” ujarnya.
Tim Ekonom Mandiri memperkirakan harga CPO global akan turun bertahap. Harga rata-rata CPO pada 2023 diperkirakan mencapai 939,3 dollar AS per ton dan pada 2024 sebesar 780,7 dollar AS per ton.
Kebijakan DMO juga perlu dihapus mengingat kebijakan itu sebenarnya bersifat sementara untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri. Saat ini, harga minyak goreng juga sudah turun cukup signifikan dan stok CPO melimpah.
Sementara itu, berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) di 216 pasar di seluruh Indonesia, per 25 Juli 2022 harga rata-rata nasional minyak goreng curah Rp 14.500 per liter, turun 9,94 persen dari bulan lalu. Begitu pula harga minyak goreng kemasan sederhana yang turun 12,11 persen secara bulanan menjadi Rp 19.600 per liter.
Meskipun demikian, harga minyak goreng curah di wilayah luar Jawa, khususnya Maluku Utara dan Papua Barat, masih tinggi. Harga minyak goreng curah di Maluku Utara Rp 22.650 per liter, sedangkan di Papua Barat Rp 21.000 per liter.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan, Kemendag akan segera mengirimkan minyak goreng kemasan sederhana merek MinyaKita seharga Rp 14.000 per liter ke Papua dan Maluku. Kemendag akan bekerja sama dengan PT Pelindo (Persero) dalam pengiriman minyak goreng tersebut.
Sebelumnya, Zulkifli juga berencana merelaksasi kebijakan kuota dan harga patokan DMO. Tujuannya adalah mempercepat ekspor CPO dan mendongkrak harga TBS petani.