Menjalankan Konservasi Tanpa Mematikan Ekonomi Rakyat
Pembangunan wisata berkelanjutan harus bermanfaat secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup. Ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menjaga konservasi ekologi tanpa perlu mematikan ekonomi rakyat setempat.
Sayup-sayup alunan musik indie dan hangat kopi juria di Warung Kojo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, menemani keluh kesah sejumlah pegiat wisata lokal yang sedang melepas lelah setelah seharian beraktivitas, Rabu (13/7/2022) malam.
Kedai kopi yang terletak di sebuah gang sempit di Jalan Serenaru, Labuan Bajo, itu sering dijadikan basecamp tempat berkumpulnya pegiat wisata setempat, khususnya mereka yang berkecimpung sebagai fotografer dan videografer wisata.
Sudah beberapa malam terakhir itu, keluh kesah yang paling banyak dibagi di antara mereka adalah seputar keputusan pemerintah menaikkan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo (TNK) dari sekitar Rp 200.000 menjadi sebesar Rp 3,75 juta.
Baca juga: Pembatasan Kunjungan ke Taman Nasional Komodo Menuai Protes
Kebijakan itu dilakukan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh tim ahli dari sejumlah universitas ternama. Berdasarkan kajian itu, jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNK Pulau Komodo dan Padar dibatasi hanya 200.000 orang per tahun. Wisatawan wajib membayar biaya pungutan konservasi yang sudah termasuk tiket masuk seharga Rp 3,75 juta. Kebijakan itu mulai berlaku pada 1 Agustus 2022 (Kompas, 12/7/2022).
”Baru saja kita mau bergerak lagi setelah pandemi, sudah ada kebijakan seperti ini,” ucap Fuad (31), pemilik warung yang baru merintis usaha agen wisata, Bajo Crew Tour, pada awal tahun 2020.
Tepat di depan warung yang sama, ia mendirikan bilik kecil berwarna kuning cerah untuk melayani pemesanan paket tur wisata Labuan Bajo dan sekitarnya. Fuad memasuki tahun 2022 dengan penuh semangat mengingat kondisi pandemi Covid-19 mulai terkendali dan wisatawan kembali berdatangan.
Namun, ia kini ketar-ketir. Keputusan pemerintah menaikkan harga tiket masuk ke TNK hingga 19 kali lipat mengancam keberlangsungan usahanya. Pasalnya, selama ini paket trip yang ia sediakan lebih banyak digandrungi turis domestik dan turis asing backpacker. Khususnya, paket sharing trip, di mana satu kapal bisa diisi oleh tamu dari berbagai grup yang berbeda.
Harga tiket masuk Rp 3,75 juta yang dipasang pemerintah itu jelas jauh di atas kemampuan rata-rata pengunjung biasanya. Dengan tiket semahal itu, hanya kelas menengah-atas alias orang-orang berduit saja yang bisa mengunjungi TN Komodo.
Ia khawatir, kunjungan wisatawan justru akan menurun saat ekonomi lokal yang bergantung pada wisata baru mulai bangkit. ”Harga belum resmi naik, tetapi sejak diumumkan mulai banyak yang membatalkan pesanan tiket di mana-mana,” katanya.
Ia khawatir, kunjungan wisatawan justru akan menurun di saat ekonomi masyarakat lokal yang bergantung pada wisata baru mau bangkit lagi.
Fuad sendiri terpaksa menutup sementara usaha agen tur wisata yang baru ia rintis itu. Apalagi, sejak pemerintah mengumumkan kebijakan harga tiket masuk itu, pemesanan paket tur wisata pun otomatis jadi sepi. ”Tidak berani terima tamu. Fokus ke warung kopi saja dulu sambil menjalankan sisa-sisa booking-an trip,” ujarnya.
Tidak hanya Fuad dan teman-temannya di Warung Kojo yang resah dengan kebijakan naiknya harga tiket masuk TN Komodo itu. Awal pekan ini, Senin (18/7/2022), para pegiat wisata lokal yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) sudah menjalankan aksi unjuk rasa di sejumlah kantor pemerintah di Labuan Bajo.
Pegiat wisata dari berbagai asosiasi dan sektor usaha itu juga menyurati Presiden Joko Widodo agar membatalkan kenaikan harga tiket masuk TN Komodo. Kini, aksi unjuk rasa untuk sementara dihentikan. Mereka menunggu respons dan itikad baik pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut.
Kebocoran ekonomi
Awal tahun ini, polemik serupa pernah muncul dalam bentuk wacana kenaikan harga tiket masuk area stupa Candi Borobudur, Jawa Tengah, sebesar Rp 750.000. Kebijakan itu akhirnya ditunda setelah menuai protes luas dari publik.
Peneliti Indonesia Sustainable Tourism Council (ISTC), Akhmad Saufi, menilai, pembangunan pariwisata berkelanjutan pada prinsipnya harus memenuhi tiga hal, yaitu bermanfaat secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup.
Berpatokan pada tiga hal tersebut, seyogianya pembangunan wisata berkelanjutan dan berbasis konservasi tidak boleh meminggirkan ekonomi rakyat setempat, yang tentunya banyak bergantung pada destinasi wisata bersangkutan. Ada cara-cara lain untuk tetap menjaga konservasi ekologi tanpa harus melesukan ekonomi rakyat.
Baca juga: Tarif Naik, Akses ke Pulau Komodo Eksklusif bagi yang Berduit
Tanpa transparansi dari pemerintah, kebijakan kenaikan harga tiket masuk, seperti di TN Komodo, itu juga dikhawatirkan memunculkan masalah kebocoran ekonomi (economic leakage) di mana pendapatan yang didapat dari pariwisata tidak mengalir ke masyarakat.
Kebijakan itu dikhawatirkan memunculkan masalah kebocoran ekonomi ( economic leakage), di mana pendapatan yang didapat dari pariwisata tidak mengalir ke masyarakat.
”Wisatanya di situ, tetapi yang menikmati keuntungan hanya segelintir orang yang tidak berada di situ. Itu yang sekarang ditakutkan, jangan-jangan uangnya lari entah ke mana. Oleh karena itu, harus ada keterlibatan masyarakat dan transparansi keterbukaan dari pemerintah mengenai tata kelolanya,” ujarnya.
Untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan di kawasan warisan dunia, baik alam maupun cagar budaya, Direktur Eksekutif Indonesian Ecotourism Network (Indecon) Ary S Suhandi berpendapat, keseimbangan antara tuntutan pariwisata dan kebutuhan konservasi dapat dilakukan melalui penerapan reservasi dan kuota pengunjung.
Pengaturan kebijakan ini harus dibahas sejak awal antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat setempat. Setelah itu, diikuti sosialisasi masif kepada calon wisatawan. Konsekuensi atas pendekatan seperti itu adalah tipe wisatawan. Tidak semua dapat berkunjung. Maka, Ary memandang perlu zona yang masih bisa dikunjungi oleh beragam tipe wisatawan (mass tourism), terutama wisatawan kelompok menengah ke bawah.
Polemik tarif tiket masuk ataupun biaya konservasi ke destinasi warisan dunia Candi Borobudur dan TN Komodo diduga karena tidak adanya sinergi baik antara pemerintah, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat setempat. Ditambah lagi, dia mengamati ada kesan pemerintah mengumumkan kebijakan mendadak.
”Pengumuman kebijakan baru masuk ke Taman Nasional Komodo Pulau Komodo dan Padar terjadi Juni 2022, sedangkan penerapan resmi mulai 1 Agustus 2022. Padahal, wisatawan mancanegara biasanya merencanakan perjalanan enam sampai 12 bulan sebelumnya,” katanya.
Keseimbangan antara tuntutan pariwisata dan kebutuhan konservasi dapat dilakukan melalui penerapan reservasi dan kuota pengunjung.
Perlu dilibatkan
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) Cabang Labuan Bajo Budi Widjaja menyampaikan, masyarakat dan pelaku industri lokal sebenarnya tidak antiterhadap konservasi. Akan tetapi, mereka butuh kejelasan program konservasi tersebut secara detail dan ingin dilibatkan penuh.
Menurut dia, upaya konservasi di kawasan warisan dunia harus melibatkan semua pihak, dari rakyat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, dan profesional yang memahami konservasi alam ataupun budaya.
Paparan alasan pembatasan kunjungan disertai patokan tarif biaya konservasi, kata Budi, cenderung tidak diikuti data konkret. Ditambah lagi, kementerian/lembaga lain pernah menyampaikan data berbeda. Itu menambah kebingungan pelaku industri pariwisata lokal dan masyarakat setempat.
”Rencana pembatasan pengunjung Pulau Komodo dan Padar bagian dari Taman Nasional Komodo bukan hal baru. Program reservasi daring sebenarnya pun sudah disedikan infrastrukturnya oleh Taman National Komodo, tetapi sayangnya tidak ada kedisplinan untuk menjalankan sistem ini,” ujarnya.
Baca juga: Tarif Baru Pukul Industri Pariwisata Labuan Bajo, Pegiat Surati Presiden