Pembatasan Kunjungan ke Taman Nasional Komodo Menuai Protes
Menjelang penerapan pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo, sejumlah pengusaha pariwisata lokal tetap menolak kebijakan itu. Mereka merasa tidak dilibatkan selama pembahasan kebijakan.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembatasan jumlah wisatawan berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar, bagian dari Taman Nasional Komodo, masih diwarnai protes meskipun penerapannya akan dimulai dua minggu lagi. Sejumlah pengusaha pariwisata lokal, yang merasa berhadapan langsung dengan wisatawan, menilai pemerintah pusa dan daerah tidak melibatkan mereka dalam proses perumusan kebijakan.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) telah melakukan kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Padar.
Kajian ini dilaksanakan tim ahli yang diketuai Irman Firmansyah dari IPB University dengan Komite Pengarah Jatna Supriatna, Guru Besar Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. ”Hasil kajian menunjukkan terjadi perubahan perilaku komodo, seperti berat badan melebihi ideal dan komodo jadi kurang waspada,” kata Kepala BTNK Lukito Awang.
Dari hasil kajian itu diputuskan jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNK Pulau Komodo dan Padar dibatasi hanya 200.000 orang per tahun. Setiap wisatawan wajib membayar biaya pungutan konservasi yang sudah termasuk tiket masuk sebesar Rp 3,75 juta. Keputusan kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2022 (Kompas, 12/7/2022).
Dari hasil kajian itu diputuskan jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNK Pulau Komodo dan Padar dibatasi hanya 200.000 orang per tahun. Setiap wisatawan wajib membayar biaya pungutan konservasi yang sudah termasuk tiket masuk sebesar Rp 3,75 juta.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) Labuan Bajo Budi Widjaja saat dihubungi, Senin (18/7/2022), dari Jakarta, mengatakan, protes kebijakan sebenarnya sudah dilakukan pengusaha pariwisata lokal beberapa kali kepada pemerintah daerah ataupun DPRD Nusa Tenggara Timur. Pada Senin, Gahaswisri bersama sekitar 20 asosiasi dan masyarakat pelaku industri pariwisata lokal, seperti Dive Operators Community Komodo dan Asosiasi Jaringan Kapal Rekreasi, melakukan demonstrasi di pusat kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Barat. Menurut Budi, aksi itu berlangsung dari pukul 10.00-14.00 WITA.
”Kami tetap menolak. Kami ragu apakah ada wisatawan berkunjung melihat komodo berkali-kali dalam setahun. Kami pun tidak tahu bagaimana kajian pembatasan jumlah kunjungan, apalagi formula perhitungan biaya pungutan itu,” ujarnya.
Menurut dia, para warga pengusaha pariwisata lokal, seperti Gahawisri Labuan Bajo, melakukan promosi TNK disertai dengan upaya ikut advokasi konservasi langsung kepada wisatawan hampir 25 tahun. Pemberlakuan kebijakan baru dan pendaftaran kunjungan secara daring melalui aplikasi Inisa dikhawatirkan memicu monopoli upaya mendatangkan wisatawan.
Ditambah lagi, pemerintah hanya menyampaikan hasil pungutan akan dipakai untuk pemberdayaan masyarakat tanpa penjelasan detail. Pemerintah juga sempat menyebut wisatawan yang berkunjung akan diberikan suvenir. Budi memandang, ketidakjelasan ini menambah deretan kekhawatiran mereka.
Pemberlakuan kebijakan baru dan pendaftaran kunjungan secara daring melalui aplikasi Inisa dikhawatirkan memicu monopoli upaya mendatangkan wisatawan.
”Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mana yang ditunjuk untuk membuatkan suvenir bagi wisatawan. Jangan-jangan hanya UMKM yang memiliki kedekatan hubungan dengan pemerintah saja,” ujar Budi menambahkan.
Pengusaha wisata selam di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Marta Muslin, saat dihubungi terpisah, menyampaikan hal senada. Informasi kebijakan pembatasan kunjungan terkesan mendadak. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur memberikan kelonggaran bagi wisatawan yang sudah telanjur memesan perjalanan ke TNK sebelum 1 Agustus 2022. Dispensasi ini berarti kelompok wisatawan ini diperkenankan tidak patuh membayar Rp 3,75 juta per orang yang berlaku mulai 1 Agustus 2022. Meski demikian, Marta menilai dispensasi itu tetap merugikan wisatawan dan pengusaha pariwisata lokal.
”Wisatawan yang berkunjung ke TNK biasanya sudah merencanakan dari satu tahun sebelumnya. Mereka bukan wisatawan yang mendadak atau punya rencana berkunjung ke TNK dalam hitungan bulan. Agen juga biasanya promosi dan berjualan dari satu tahun sebelumnya, bahkan sudah menjual paket sampai tahun 2023,” tuturnya.
Ketua Asosiasi Kapal Wisata (Askawi) Manggarai Barat Ahyar Abadi mengatakan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. PP ini mencakup tarif pungutan karcis penerimaan negara bukan pajak Balai TNK. Dengan adanya kebijakan biaya pungutan konservasi yang sudah termasuk tiket masuk TNK Pulau Komodo dan Padar sebesar Rp 3,75 juta per orang atau Rp 15 juta per empat orang per tahun, dia masih mempertanyakan bagaimana nasib PP No 12/2014.
”Kami khawatir kebijakan baru itu memiliki kepentingan bisnis tertentu yang dibingkai isu konservasi,” kata Ahyar.
Sejak sepekan terakhir, protes menanggapi kebijakan pembatasan kunjungan ke TNK Pulau Komodo dan Padar juga bermunculan di media sosial. Sebagai contoh, akun Instagram ”Labuan Bajo Info” pada 15 Juli 2022 mengunggah surat terbuka Serafim Firman, pendiri Nucalale, kepada Tim Peneliti Konservasi TNK. Melalui surat terbuka ini, Serafim mempertanyakan sejauh mana masyarakat lokal dilibatkan dalam kajian kebijakan dan solusi bagi pengusaha lokal yang terdampak.
Surat terbuka itu juga telah mendapatkan respons dari Tim Komunikasi Penguatan Fungsi TNK dan diunggah di akun Instagram Serafim ataupun ”Labuan Bajo Info”. Ada beberapa poin balasan Tim Komunikasi Penguatan Fungsi TNK, seperti penjelasan agenda konservasi, hasil penelitian Iman Firmansyah selaku Ketua Tim Ahli Kajian Daya Dukung Berbasis Jasa Ekosistem TNK, dan ulasan singkat mekanisme pembayaran biaya konservasi senilai Rp 3,75 juta per orang per tahun.
Menanggapi fenomena itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno mengatakan, pihaknya mendorong TNK dan destinasi Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, menjadi destinasi pariwisata yang berkelanjuntan. Makna pariwisata berkelanjutan adalah pelibatan dan kemajuan masyarakat lokal yang sangat kental.
Dia berencana akan berkunjung ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Di sana, menurut rencana, ia akan mendengarkan keluhan pengusaha lokal secara komprehensif.
”Pekan lalu, kami sudah mengundang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, perwakilan TNK, Tim Ahli Kajian Daya Dukung Berbasis Jasa Ekosistem TNK, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Posisi kami memfasilitasi kejelasan informasi dari mereka kepada publik. Kami ikut menekankan pentingnya aspek konservasi TNK, termasuk pemberdayaan masyarakat lokal,” papar Sandiaga dalam konferensi pers mingguan, Senin petang.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf/Baparekraf Fransiskus Xaverius Teguh, yang hadir saat bersamaan, menambahkan, Kemenparekraf/Baparekraf mencermati dinamika situasi yang tengah terjadi di TNK. Ini akan menjadi bahan evaluasi untuk merumuskan tata kelola destinasi lebih baik.
”Seluruh dinamika situasi di TNK harus berjalan kondusif agar tidak berdampak ke industri pariwisata secara keseluruhan. Industri pariwisata merupakan salah satu penopang perekonomian,” katanya.