Menghadapi krisis energi saat ini, aspek transisi energi dan keamanan energi akan dijalankan paralel secara beriringan, seperti memainkan gas dan rem. Negara-negara G20 ”melenturkan” strategi transisi energinya.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Krisis energi yang terjadi imbas konflik Rusia-Ukraina membuat negara-negara G20 perlu menyesuaikan kembali komitmennya terkait target transisi energi. Aspek transisi energi dan keamanan energi akan berjalan paralel dengan strategi ”gas dan rem” sesuai konteks krisis saat ini dan kepentingan ekonomi setiap negara.
Hal itu mengemuka dalam pembahasan Kelompok Kerja Transisi Energi (Energy Transition Working Group) di acara Pertemuan Tingkat Sherpa G20 Ke-2 (The 2nd Sherpa G20 Meeting) di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (11/7/2022).
Isu transisi energi juga ikut dibahas di dua kelompok kerja lainnya, yaitu Kelompok Kerja Lingkungan dan Iklim Berkelanjutan (Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group) serta Kelompok Kerja Perdagangan, Industri dan Investasi (Trade, Industry and Investment Working Group).
Ketua Kelompok Kerja Transisi Energi Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, secara umum, negara-negara G20 tetap berpegang pada komitmen mempercepat transisi energi menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) setiap negara.
Meski demikian, strategi dan tahapan implementasi transisi itu akan berbeda-beda disesuaikan ulang dengan krisis energi yang saat ini terjadi akibat ketegangan geopolitik yang menajam. Strategi itu juga disesuaikan dengan kepentingan sejumlah negara yang pertumbuhan ekonominya masih bergantung pada energi fosil, salah satunya Indonesia.
”Semua sepakat bahwa aspek transisi energi dan keamanan energi (energy security) harus berjalan tandem beriringan. Jadi, ini seperti memainkan gas dan rem, adakalanya rem dilonggarkan dulu, tetapi pasti akan ditekan lagi. Target jangka panjangnya tetap, di tengah jalan kita sedikit adjust,” kata Yudo di sela-sela acara pertemuan sherpa.
Seperti diketahui, konflik Rusia-Ukraina sejak Februari 2022 memicu ”perang” sanksi ekonomi antara negara-negara Barat dengan Rusia. Rusia menghentikan pengiriman bahan bakar ke sejumlah negara Eropa, yang selama ini bergantung kuat pada pasokan gas dari negara tersebut.
Akibat kekurangan pasokan energi, beberapa negara Barat, antara lain Jerman, Italia, Belanda, dan Austria, pun kembali menggunakan batubara sebagai sumber energi.
Moratorium PLTU
Dalam pembahasan di forum sempat muncul usulan dari beberapa negara, khususnya negara-negara G7, agar komitmen transisi energi dan rencana moratorium pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara tidak tanggung-tanggung.
”Ada yang mengatakan, kalau mau serius, hentikan juga pendanaan agar tidak ada lagi yang membuat PLTU di dunia. Namun, setiap negara, kan, punya konteks masing-masing. Caranya, taktiknya, dalam melakukan transisi energi pasti beda. Ada yang langsung bisa mengerem, ada yang bisanya pelan-pelan,” kata Yudo, yang juga menjabat Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Perencanaan Strategis.
Jadi, ini seperti memainkan gas dan rem, ada kalanya rem dilonggarkan dulu, tetapi pasti akan ditekan lagi.
Indonesia, menurut dia, termasuk negara yang akan berhati-hati dalam melakukan transisi energi. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap batubara masih sangat tinggi. Tahun 2021, peran batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik adalah 65,9 persen, sedangkan kontribusi sumber energi terbarukan hanya 12,7 persen.
Indonesia rencananya akan berhenti memberikan izin proyek PLTU setelah tahun 2025. Pada 2025, diharapkan peran batubara dalam bauran energi nasional turun menjadi 30 persen, sementara tahun 2050 peran batubara diturunkan lagi jadi 25 persen.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi meyakini, meskipun krisis energi sedikit banyak akan berdampak pada penyesuaian target transisi energi, pemenuhan target NDC bisa tetap tercapai.
Sebab, tiap negara dapat menggeser sektor prioritas yang dituju. Kalau suatu negara sulit mencapai target NDC lewat sektor energi akibat tekanan krisis energi saat ini, masih ada sektor lain yang bisa diupayakan.
”Kalau satu sektor belum bisa tercapai saat ini, masih ada yang lain karena NDC juga harus dinamis melihat berbagai perkembangan yang ada. Sebab, yang ditargetkan dalam NDC itu nilai penurunan emisi rumah kaca, bukan per sektor,” ujar Laksmi selaku Ketua Kelompok Kerja Lingkungan dan Iklim Berkelanjutan.
Selain membahas perlunya akselerasi transisi energi, forum pertemuan tingkat sherpa G20 juga mengantisipasi adanya risiko korupsi dari proses transisi energi tersebut.
Ketua Kelompok Kerja Antikorupsi (Anti-Corruption Working Group) Rolliansyah Soemirat mengatakan, banyak potensi aliran dana yang harus diwaspadai akibat semakin berkembangnya sektor energi terbarukan dan munculnya proyek-proyek besar seputar investasi di sektor tersebut. Sejumlah indikasi sudah terlihat di beberapa negara anggota G20.
”Kami ingin beri peringatan ke dunia internasional agar jangan sampai nanti sesudah kejadian, baru kita memikirkan cara mengatasinya. Harus diantisipasi dari sekarang,” kata Rolliansyah, yang juga Direktur Kerja Sama Politik Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri.
Menurut dia, awalnya, Indonesia sebagai presidensi ingin menyusun deklarasi yang lebih konkret untuk menyikapi potensi korupsi itu. Namun, belum semua negara setuju sehingga untuk sementara ini, presidensi G20 hanya akan menyusun catatan (background notes) untuk ditindaklanjuti oleh presidensi berikutnya. ”Jadi, ini sifatnya masih sebagai embrio untuk membahas mitigasi risiko di sektor EBT,” ujarnya.