Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina mengubah banyak hal dalam peta energi global. Subsidi energi membengkak di saat negeri ini tertatih-tatih mengurangi kebergantungan pada energi fosil.
Oleh
ARIS PRASETYO, ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
Pada awal pandemi Covid-19, Maret 2020, banyak negara menerapkan kuncitara sehingga mobilitas manusia dan barang amat terbatas. Di Indonesia, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial dan pergerakan masyarakat. Sektor industri, komersial, dan bisnis turut terdampak. Sebagian pabrik tak beroperasi, pusat perbelanjaan membatasi jam operasionalisasi dan jumlah pengunjung, sementara perkantoran menempuh kebijakan bekerja dari rumah.
Drastisnya pengurangan aktivitas tersebut menyebabkan permintaan energi merosot. Harga minyak mentah jenis Brent sempat jatuh di level 25 dollar AS per barel pada awal April 2020. Bahkan, minyak mentah jenis WTI sempat minus 37 dollar AS per barel pada pertengahan April di tahun yang sama. Dengan harga minus, penjual akan membayar 37 dollar AS per barel bagi siapa pun yang bersedia mengambil stok minyak WTI tersebut. Pasalnya, tempat penyimpanan (storage) minyak sudah penuh.
Sejalan dengan penanganan pandemi yang membaik, aktivitas manusia mulai bergeliat, demikian pula industri, pusat bisnis, dan komersial. Secara perlahan, harga minyak mentah merangkak naik. Pada Januari 2022, jenis Brent tercatat seharga 86 dollar AS per barel. Saat perang Rusia-Ukraina meletus pada pekan terakhir Februari, harga minyak pada bulan tersebut melonjak menjadi rata-rata 96 dollar AS per barel. Puncaknya, minyak mentah sempat menyentuh harga 139 dollar AS per barel pada awal Maret 2022.
Sebagai negara net importer minyak, Indonesia sama sekali tak diuntungkan dengan tingginya harga minyak mentah kali ini. Pemerintah dipaksa menambah anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis Pertalite (RON 90). PT Pertamina (Persero) menjual Pertalite seharga Rp 7.650 per liter, sedangkan harga keekonomiannya saat ini di kisaran Rp 12.000 per liter. Sementara jenis Pertamax (RON 92) dijual Rp 12.500 per liter di saat harga keekonomiannya menyentuh Rp 17.000 per liter.
”Arus kas Pertamina menjadi negatif sejak awal tahun karena harus menanggung selisih harga jual BBM eceran,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada 19 Mei 2022.
Apabila situasi ini terus berlanjut, kas Pertamina bakal tertekan lebih dalam. Pada Maret 2022 saja arus kas operasional Pertamina sudah negatif 2,44 miliar dollar AS. Seperti data yang dipaparkan Sri Mulyani dalam rapat tersebut, jika tak ada tambahan penerimaan dari pemerintah (kompensasi atas selisih harga jual BBM eceran oleh Pertamina), pada akhir tahun ini kas Pertamina diperkirakan bisa defisit hingga 12,98 miliar dollar AS. Situasi ini akan menurunkan peringkat kredit Pertamina.
Tambahan subsidi energi juga harus dikucurkan untuk menutup selisih harga jual eceran dengan harga keekonomian. Tahun ini, subsidi energi (BBM, elpiji, dan listrik) yang diproyeksikan Rp 134 triliun membengkak jadi Rp 208,9 triliun.
Momentum
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Kamis (23/6/2022), di Jakarta, mengatakan, tingginya harga minyak mentah dunia saat ini sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk mengoptimalkan sumber daya dalam negeri. Mengutip data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dari 128 cekungan di Indonesia, masih ada 68 cekungan yang belum diteliti mengenai kandungan sumber daya migasnya. Untuk meminimalkan dampak kenaikan harga migas dunia, lanjutnya, Pemerintah Indonesia tidak boleh mengabaikan pengembangan sumber daya migas di dalam negara.
”Antisipasinya adalah Indonesia harus meningkatkan produksi minyak di dalam negeri. Apalagi, pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Pencarian sumber cadangan minyak yang baru harus terus dilakukan secara masif,” kata Komaidi.
Per 23 Juni 2022, berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi siap jual (lifting) minyak Indonesia sebesar 617.830 barel per hari. Capaian itu masih di bawah target APBN 2022 yang sebanyak 703.000 barel per hari. Padahal, rata-rata konsumsi BBM nasional per harinya mencapai 1,4-1,5 juta barel. Tentu saja kekurangannya harus didapat dari impor, baik minyak mentah maupun BBM.
Bambang Istadi, praktisi migas, menyatakan hal serupa. Menurut dia, Rabu (22/6), ada satu pelajaran penting yang bisa dipetik Indonesia dari konflik Rusia-Ukraina yang menimbulkan krisis energi di sejumlah negara Eropa. Pelajaran itu adalah betapa kebergantungan banyak negara terhadap migas, khususnya gas alam cair (LNG), masih sangat tinggi kendati mereka sudah menetapkan target emisi nol bersih (net zero emission/NZE).
Negara-negara produsen gas alam berlomba-lomba meramaikan pasokan LNG di pasar dunia. Menurut Bambang, dengan mengutip data dari IHS Markit, pada 2019 Amerika Serikat menjadi pengekspor LNG terbesar ketiga dunia setelah Australia dan Qatar. AS berencana menaikkan kapasitas produksinya menjadi 13,9 miliar kaki kubik per hari (BCFD) dan akan melampaui kemampuan Australia (11,4 BCFD) dan Qatar (10,4 BCFD).
”Di mana posisi Indonesia yang pernah menjadi eksportir gas alam terbesar dunia? Supremasi Indonesia di pasar LNG sudah mulai pudar. Kalaupun pengembangan Blok Masela (blok kaya gas di laut lepas Maluku) dikebut, tidak akan bisa mengejar pangsa pasar LNG yang sudah direbut negara lain. Masela sudah kehilangan momentum akibat diombang-ambingkan oleh perubahan skema pengembangan lapangan gas,” tutur Bambang.
Apabila mundur ke belakang, persoalan Blok Masela memang tidak lepas dari tak konsistennya pemerintah terhadap investor. Proses perizinan dan persetujuan pengembangan lapangan, yang waktu itu menimbulkan polemik apakah di darat (on shore) atau di laut lepas (off shore), yang berlarut-larut membuat segalanya berjalan lamban. Pukulan pandemi sejak 2020 justru menyebabkan proyek Masela tertunda.
Reformasi
Sudah menjadi rahasia umum apabila urusan perizinan di Indonesia, termasuk di sektor hulu migas, berbelit-belit. Dibutuhkan 300 lebih perizinan hulu migas yang harus diurus di banyak instansi, baik pusat maupun daerah. Yang membuat lebih buruk adalah tidak ada batas waktu yang jelas kapan izin tersebut bisa selesai. Untuk proyek besar hulu migas di Indonesia, rata-rata butuh waktu belasan hingga 20 tahun sejak penemuan cadangan sampai ke tahap produksi.
Bambang mengusulkan perlunya perbaikan iklim investasi hulu migas di Indonesia. Seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta DPR, perlu mempertimbangkan untuk mempermudah perizinan, penyederhanaan regulasi, serta pembangunan infrastruktur gas alam yang masif. Tak hanya itu, dibutuhkan pula insentif fiskal bagi sektor industri ini. Pasalnya, selain memberikan dampak ganda terhadap perekonomian nasional, pengembangan industri migas dalam negara penting dalam urusan ketahanan energi nasional.
Dalam hal teknis, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal, untuk meningkatkan produksi minyak di dalam negeri,
dibutuhkan partisipasi dari semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang ia maksud adalah pelaku industri hulu migas (investor, operator, vendor, dan penyedia jasa penunjang) serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. Semua pihak harus bisa berbagi risiko, investasi, teknologi, dan pengetahuan.
”Sebagai contoh adalah penerapan metode pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR) untuk lapangan minyak berusia tua (puluhan tahun). Ini adalah salah satu cara meningkatkan produksi. Semua pemangku kepentingan harus bisa berbagi risiko dan biaya implementasi EOR,” tutur Moshe (Kompas, 8/10/2021).
Bagaimana dengan potensi energi terbarukan Indonesia? Sampai akhir 2021 kapasitas terpasang energi terbarukan di Indonesia sebesar 11.357 megawatt. Padahal, potensi dan sumber daya energi terbarukan di Indonesia lebih dari 400.000 megawatt. Komitmen pemerintah dan perbaikan regulasi terkait jual beli tenaga listrik dari sumber energi terbarukan masih butuh kejelasan. Kendati masih bergantung pada energi fosil, khususnya batubara, sebenarnya Indonesia bisa mengurangi beban kebergantungan itu lewat pemanfaatan energi terbarukan yang lebih optimal. Sebab, akan terasa ironi apabila terjadi krisis energi di negeri yang disebut-sebut sebagai ”Timur Tengah”-nya energi terbarukan ini.