Batubara, yang selama ini dianggap sumber energi kotor, ternyata masih dibutuhkan di kala sejumlah negara menghadapi krisis energi. Namun, arah transisi energi tetap harus jelas.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Jerman memutuskan kembali menghidupkan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap untuk menghadapi musim dingin mendatang. Keputusan itu diambil setelah Rusia, lewat perusahaan gas mereka, Gazprom, menghentikan pasokan gas ke Jerman. Seperti yang dilaporkan AFP, Senin (20/6/2022), Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck, politisi dari Partai Hijau, menyebut keputusan itu sebagai keputusan yang pahit, tetapi sangat diperlukan.
Mengutip laman destatis.de, batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berperan 28,1 persen dalam bauran energi primer pada pembangkit listrik di Jerman pada tahun 2021. Berikutnya adalah gas alam sebesar 15,4 persen; tenaga nuklir 11,9 persen; bahan bakar minyak (BBM) 0,8 persen; dan sisanya bersumber dari energi terbarukan sebanyak 40,9 persen. Dengan demikian, sumber energi terbarukan di Jerman berperan hampir separuh dari bauran energinya.
Bukan hanya Jerman, laporan yang sama menunjukkan bahwa Belanda dan Austria mengikuti jejak tetangga mereka itu. Belanda mengumumkan bakal mencabut semua pembatasan penggunaan bahan bakar fosil untuk sumber energi pembangkit listrik. Negara-negara itu kembali menggunakan sumber energi kotor untuk memitigasi krisis energi, apalagi musim dingin segera tiba dalam beberapa bulan mendatang.
Tak seperti Jerman, ketergantungan Belanda terhadap gas alam dari Rusia hanya sekitar 15 persen dari total kebutuhan gas mereka. Rata-rata negara di Uni Eropa mendapat pasokan gas dari Rusia sekitar 40 persen dari total kebutuhan yang ada. Bisa dibayangkan besarnya pengaruh Rusia terhadap keamanan energi sejumlah negara di Eropa.
Kendati kembali melirik batubara untuk mencegah negaranya tenggelam ke jurang krisis, Jerman tetap berkomitmen menutup seluruh PLTU mereka pada 2030 mendatang. Alasannya, demi lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa negara-negara yang dikenal teguh bersikap untuk meninggalkan batubara yang disebut sebagai sumber energi kotor, ternyata masih membutuhkan energi jenis itu. Jerman, seperti yang dilaporkan Reuters, bahkan mempertimbangkan pembangkit listrik tenaga nuklir seandainya memang Rusia menyetop semua pasokan gasnya. Semua demi mencegah Jerman ke jurang resesi. Pasalnya, ketiadaan pasokan energi bakal menghentikan aktivitas ekonomi.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa negara-negara yang dikenal teguh bersikap untuk meninggalkan batubara yang disebut sebagai sumber energi kotor, ternyata masih membutuhkan energi jenis itu.
Sementara itu, ketergantungan Indonesia terhadap batubara boleh dibilang amat tinggi. Per 2021, peran batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik sebesar 65,93 persen. Sementara sumber energi terbarukan berkontribusi 12,73 persen. Adapun gas untuk energi pembangkit listrik berperan sebesar 17,48 persen dan sisanya adalah BBM.
Pemerintah Indonesia sudah mencanangkan target bebas dari emisi akibat pembakaran energi fosil pada pembangkit listrik di tahun 2060. Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada 2025 diharapkan peran batubara dalam bauran energi nasional turun menjadi 30 persen. Kemudian, pada tahun 2050, peran batubara diturunkan lagi menjadi 25 persen.
Jelas bahwa negeri ini memiliki ketergantungan pada batubara terbilang tinggi. Selain menjadi sumber energi primer, komoditas tambang ini menjadi ”dewa penolong” terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ekspor batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) membantu neraca perdagangan menjadi surplus dalam beberapa bulan terakhir seiring tingginya harga dua komoditas tersebut di pasar internasional.
Teknologi dan pendanaan
Selain itu, untuk menuju capaian nol emisi bersih pada 2060, pemerintah menegaskan bahwa batubara bersama minyak dan gas bumi bakal dioptimalkan sebaik-baiknya sebelum energi terbarukan siap menjadi tulang punggung pasokan energi di Indonesia. Gas bumi secara perlahan juga akan menggantikan sejumlah PLTU di dalam negeri.
Yang masih menjadi pekerjaan rumah menuju emisi nol bersih di 2060 adalah teknologi dan pendanaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumber energi terbarukan, selain tenaga hidro dan panas bumi, masih bersifat intermiten. Sebagai contoh, kincir angin pada pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) tak selamanya berputar. Adakalanya di saat-saat tertentu, angin tak bertiup kencang sehingga tidak menghasilkan daya listrik yang optimal.
Begitu juga tenaga surya. Matahari bersinar tidak selama 24 jam. Kendati siang pun, belum tentu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memproduksi listrik lantaran hujan atau tertutup mendung tebal. Bahkan, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bisa berhenti beroperasi apabila sungai tak mengalirkan air akibat kemarau panjang. Hanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang relatif stabil menghasilkan daya listrik.
Teknologi diharapkan bisa menjadi solusi atas intermitensi sumber energi terbarukan tersebut. Dibutuhkan teknologi penyimpanan daya listrik yang efisien dan berbiaya murah.
Selain teknologi, masalah lainnya adalah pembiayaan. Untuk menghentikan operasi 5.500 MW daya PLTU dan diganti dengan energi yang ramah lingkungan dalam delapan tahun ke depan, seperti rencana pemerintah, setidaknya dibutuhkan anggaran 20 miliar dollar AS sampai 30 miliar dollar AS. Akan dibutuhkan dana yang lebih besar lagi agar Indonesia benar-benar bebas dari emisi yang dihasilkan pembangkit listrik pada 2060.
Teknologi hanya soal waktu. Sementara pendanaan untuk transisi energi juga menunjukkan sinyal positif. Sejumlah lembaga keuangan menyatakan dukungannya untuk pembiayaan di sektor ini.
Indonesia bisa dibilang beruntung. Kekayaan batubara dan sumber energi terbarukan di negeri ini sama-sama melimpah. Tinggal bagaimana kebijakan energinya. Apakah bakal segera mengoptimalkan sumber energi terbarukan atau menunggu cadangan batubara habis terjual demi devisa?