Penerapan Persyaratan untuk Beli Pertalite Masih Uji Coba
Seperti disiarkan di situs Pertamina, subsiditepat.mypertamina.id akan dibuka pada 1 Juli 2022. Masyarakat yang merasa berhak menggunakan pertalite dan solar dapat mendaftar lewat situs itu, nantinya akan terkonfirmasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persyaratan pengisian data di situs MyPertamina untuk pembelian bahan bakar minyak atau BBM jenis pertalite dan biosolar per 1 Juli 2022 masih bersifat uji coba di 11 kota di lima provinsi. Ketentuan yang bertujuan agar penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi lebih tepat sasaran itu untuk sementara hanya menyasar kendaraan roda empat ke atas.
Melalui siaran pers Senin (27/6/2022) sore, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Alfian Nasutio mengatakan, situs MyPertamina, yakni subsiditepat.mypertamina.id, akan dibuka pada 1 Juli 2022. Masyarakat yang merasa berhak menggunakan pertalite dan biosolar dapat mendaftar lewat situs itu dan nantinya akan terkonfirmasi sebagai pengguna terdaftar.
Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting, saat dihubungi, Selasa (28/6/2022), menekankan bahwa pendaftaran dilakukan di situs MyPertamina, bukan aplikasi MyPertamina. ”Masih proses pendaftaran dulu. Sementara untuk roda empat ke atas,” katanya.
Pendataan ini nantinya guna memastikan bahwa pembeli pertalite memang mereka yang benar-benar berhak. Nantinya, jika tak bisa terkonfirmasi sebagai pengguna pertalite, maka diarahkan, misalnya, ke pertamax. Akan tetapi, pada tahap awal lebih ditekankan dalam proses pendaftaran. ”Kita lihat progres pendaftaran di dua minggu awal,” ucap Irto.
Berdasarkan pantauan pada situs subsiditepat.mypertamina.id, disebutkan pendaftaran baru dibuka pada 1 Juli 2022. Adapun implementasi tahap I dilaksanakan di Kota Bukittinggi, Padang Panjang, Kabupaten Agam, Tanah Datar (Sumatera Barat), Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Kota Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, Kabupaten Ciamis (Jawa Barat), Kota Manado (Sulawesi Utara), serta Kota Yogyakarta (DI Yogyakarta).
Alfian mengemukakan, ada regulasi yang mengatur penyaluran BBM, baik dari sisi kuota/jumlah maupun dari sisi segmentasi penggunanya. ”Saat ini, segmen pengguna solar bersubsidi ini sudah diatur, sedangkan pertalite segmentasi penggunanya masih terlalu luas. Sebagai badan usaha yang menjual pertalite dan biosolar, kami harus patuh, tepat sasaran, dan tepat kuota dalam menyalurkan BBM yang disubsidi pemerintah,” ucapnya.
Yang terjadi di lapangan saat ini, imbuh Alfian, masih ada konsumen yang tidak berhak membeli pertalite dan biosolar. Apabila tidak diatur, ada potensi kuota yang telah ditetapkan selama satu tahun tidak akan mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu, agar tepat sasaran, Pertamina Patra Niaga menguji coba penyaluran pertalite dan biosolar bagi pengguna berhak yang terdaftar.
Apabila semua data cocok, konsumen dapat bertransaksi di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) dan seluruh transaksinya akan tercatat secara digital. ”Inilah yang kami harapkan. Pertamina dapat mengenali siapa saja konsumen pertalite dan biosolar sehingga ke depan bisa menjadi acuan dalam kebijakan terkait subsidi energi bersama pemerintah. Juga untuk melindungi masyarakat yang berhak,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (8/6/2022), Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati mengatakan, pihaknya menyadari, pengawasan yang ada saat ini belum cukup efektif dalam memastikan BBM bersubsidi tepat sasaran, terlebih dengan adanya disparitas harga sangat tinggi.
”Yang kami lakukan adalah mengusulkan revisi Perpres No 191/2014. Kemarin sudah disampaikan Pak Menteri (ESDM) kepada Presiden untuk kemudian nanti kami bahas dengan Setneg dan Sekkab. Revisi itu terutama terkait lampirannya yang berisi konsumen pengguna. Jadi, yang sekarang diatur hanya JBT (jenis BBM tertentu), solar. Namun, nanti juga JBKP (jenis bahan bakar khusus penugasan) ada pengaturan juga,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah resmi memutuskan pertalite sebagai jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP), sebagai pengganti premium. Dengan demikian, ada kompensasi yang diberikan pemerintah kepada Pertamina, yang menjual BBM jenis tersebut di bawah harga keekonomian. Harga pertalite yakni Rp 7.650 per liter.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, penerapan persyaratan pendataan MyPertamina untuk membeli pertalite juga perlu memperhatikan sisi kompleksitasnya. Sebelum penerapan itu, yang mendesak sebenarnya ialah penyesuaian harga disertai edukasi kepada masyarakat. Sebab, di situasi saat ini, beban APBN kian membengkak.
Berdasarkan asumsi APBN 2022, harga minyak dunia 63 dollar AS per barel. Sementara harga Indonesian Crude Price (ICP) pada Mei 2022 yakni 109,61 dollar AS per barel sebagai dampak konflik Rusia-Ukraina.
”BBM bersubsidi kita, (harga jual) solar, masih ditahan Rp 5.510 per liter, sedangkan negara tetangga berkisar Rp 15.000-Rp 25.000 per liter. Penyesuaian itu bagian dari edukasi dan dilakukan bertahap, mengingat kita ini net importer minyak bumi. MyPertamina juga bisa bermanfaat nantinya, tetapi jangan ditetapkan sebagai ekses dari kebijakan yang kurang proporsional,” ucapnya.
Mekanisme pemberian subsidi langsung, kata Komaidi, sudah mendesak untuk diterapkan agar benar-benar tepat sasaran. Namun, perihal basis data, lintas sektor, belum juga terselesaikan. Padahal, basis data tersebut ialah kuncinya.
Sementara mengenai penerapan persyaratan di MyPertamina, Komaidi mengatakan, perihal komunikasi kepada publik juga perlu diperhatikan. ”Ini, kan, melibatkan Pertamina, BPH Migas, dan Kementerian ESDM serta Kementerian Keuangan. Kalau diputuskan harusnya sudah bulat, satu suara. Kalau masih tahap persiapan, sebaiknya tidak dibuka dulu, karena perihal BBM sensitif dan berpotensi ada dampak ikutannya,” ucapnya.