Menuju Akhir Masa Keemasan Migas, Pertamina Pacu Sektor Hulu
Situasi geopolitik juga menjadi tantangan bagi industri migas. Di tengah tantangan yang ada, berdasarkan rapat umum pemegang saham, Rabu (8/6/2022) pagi, Pertamina membukukan laba bersih Rp 29,3 triliun pada 2021.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, SUTTA DHARMASAPUTRA
·5 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana Gathering Pemimpin Redaksi Media Bersama Direksi Pertamina di Grha Pertamina, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Dalam kesempatan itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati memaparkan kinerja Pertamina, termasuk pencapaian laba bersih sebesar Rp 29,3 triliun pada 2021.
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) terus menggenjot produktivitas minyak dan gas bumi atau migas dengan memacu kegiatan usaha di sektor hulu. Optimalisasi dilakukan mengingat era keemasan migas bakal beralih ke era energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Hal itu juga guna meningkatkan profit di tengah berbagai tantangan yang ada, termasuk situasi geopolitik dunia.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam ”Gathering Pemimpin Redaksi Media Bersama Direksi Pertamina” di Grha Pertamina, Jakarta, Rabu (8/6/2022) malam, mengatakan, bisnis Pertamina saat ini masih didominasi energi fosil. Hal itu mesti dilakukan guna menjaga keandalan dan kemandirian energi nasional hingga mencapai kedaulatan energi.
Saat ini, seluruh negara juga sebagian besar masih mengandalkan energi fosil. ”Di hulu (produksi minyak mentah) Indonesia sekitar 700.000 barel per hari, ditargetkan naik menjadi 1 juta barel per hari. Pertamina hari ini berkontribusi lebih dari 60 persen produksi migas nasional. Kami lakukan pengeboran di area-area baru secara masif dan agresif,” kata Nicke.
Pertamina pun tengah berupaya mengembalikan kejayaan Blok Rokan di Riau. Nicke menuturkan, dalam tiga tahun terakhir, tren produksi di Blok Rokan terus menurun. Pertamina, yang mulai mengambil alih kelola blok tersebut dari Chevron pada Agustus 2021, secara masif mengebor sumur-sumur baru hingga tercapai produksi 158.000 barel per hari pada akhir 2021 dari sebelumnya 142.000 barel per hari.
”(Pengeboran dipacu) Karena kami tahu masa keemasan migas ini akan berakhir dan diganti dengan energi terbarukan. Di waktu yang ada ini, kita harus agresif. Cadangan yang ada perlu dikapitalisasi jadi produksi. Tak hanya dari penyediaan saja, tetapi juga harus menatanya. Bagaimana agar bisa andal dan terjangkau,” ujar Nicke.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas mengisi jeriken dengan pertamax di rest area Kilometer 228A di Jalan Tol Kanci-Pejagan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (21/4/2022). Pertamina dan pengelola rest area Km 228A menyiapkan fasilitas pengantar bahan bakar untuk pemudik yang kehabisan bahan bakar di jalan tol.
Ia menambahkan, berdasarkan strategi pemerintah terkait bauran energi nasional, dalam 10-15 tahun ke depan pasokan energi Indonesia masih akan didominasi migas. Saat ini, 30 persen pemenuhan migas pun masih dengan impor dan nantinya bakal turun ke 20 persen. Oleh karena itu, kilang-kilang milik Pertamina pun diperbaiki dan ditingkatkan kapasitas serta kualitasnya, juga mengintegrasikannya dengan petrokimia.
”Ini harus dilakukan karena pada saatnya nanti ada penurunan permintaan BBM, misalkan sepuluh tahun ke depan, kami bisa langsung alihkan ke chemical, yang 80 persen masih impor. Ini kita harus lakukan, makanya belanja modal kami sangat besar,” tutur Nicke.
Di tengah berbagai tantangan yang ada, berdasarkan rapat umum pemegang saham, Rabu pagi, Pertamina membukukan laba bersih Rp 29,3 triliun pada 2021. Meningkat dari tahun sebelumnya yang Rp 15 triliun. Adapun pendapatan (revenue) pada 2021 meningkat hampir 40 persen dibandingkan 2020.
Geopolitik
Nicke mengatakan, gas oil (bahan bakar diesel) dan avtur ialah jenis minyak yang krusial di tengah situasi geopolitik dunia. Sebab, Rusia memasok middle distillates, yang merupakan komponen untuk memproduksi gas oil, sebesar 50 persen kebutuhan dunia. Di tengah sanksi kepada Rusia, selisih harga minyak mentah dan gas oil pun melonjak.
”Namun, alhamdulillah, sejak April 2019 kita tidak impor solar. Kita sudah bisa meningkatkan produksi solar dan avtur dalam negeri, ditambah B30 (pencampuran solar dan minyak nabati). Program B30 kita rasakan manfaatnya sekarang. Maka, kami pun meningkatkan kinerja kilang-kilang agar bisa meningkatkan produksi gas oil,” ujarnya.
Sementara itu, terkait penjualan BBM kepada masyarakat, Pertamina tengah menguji coba pembayaran tunai dengan aplikasi My Pertamina. Hal tersebut dilakukan agar bagaimana BBM yang disubsidi dan dikompensasi lebih tepat sasaran. Sebab, dengan ketentuan saat ini, semua orang bisa menikmati BBM bersubsidi itu.
”Tentang kriteria siapa yang berhak menikmati BBM bersubsidi, kuncinya di regulasi, yakni Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Pemerintah sedang finalkan revisi perpresnya. Nantinya akan jelas, berdasarkan nomor kendaraan. Apabila tidak sesuai, tidak akan keluar dari nozzle (mulut selang)-nya. Itu juga antisipasi kenakalan atau pembelian berlebihan di SPBU,” ujar Nicke.
Di tengah harga minyak mentah dunia yang meningkat, Nicke menilai, usulan penambahan subsidi pemerintah Rp 350 triliun menjadi solusi terbaik. Pemerintah menjadi bantalan untuk menjaga daya beli masyarakat agar inflasi tak tinggi, tetapi di sisi lain keuangan Pertamina terselamatkan. Namun, tetap terus diupayakan agar kuota subsidi dan kompensasi tak jebol.
Sementara itu, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, serta Kepala BPMA Kementerian ESDM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, Kepala BPH Migas Erika Retnowati mengatakan, pihaknya menyadari, pengawasan yang ada saat ini belum cukup efektif dalam memastikan BBM subsidi tepat sasaran, terlebih dengan adanya disparitas harga sangat tinggi.
”Yang kami lakukan adalah mengusulkan revisi Perpres No 191/2014. Kemarin sudah disampaikan Pak Menteri (ESDM) kepada Presiden untuk kemudian nanti kami bahas dengan Setneg dan Sekkab. Revisi itu terutama terkait lampirannya yang berisi konsumen pengguna. Jadi, yang sekarang diatur hanya JBT (jenis BBM tertentu), solar. Namun, nanti juga JBKP (Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan) ada pengaturan juga,” jelasnya.
Untuk BBM solar, kata Erika, pihaknya akan merumuskan kembali siapa konsumen yang berhak menggunakannya. BBM subsidi sudah seharusnya dapat dinikmati hanya oleh masyarakat yang membutuhkan. Nantinya akan dirumuskan dengan lebih spesifik dan tegas sehingga implementasi di lapangan tak menimbulkan kerancuan atau multitafsir.
Sementara itu, di sisi lain, Komisi VII dalam rapat itu menilai iklim investasi di sektor migas masih butuh kepastian hukum dalam negeri. Investasi migas perlu untuk mengurangi defisit neraca perdagangan sekaligus mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
”Permasalahan yang paling menonjol adalah kepastian hukum yang kurang dalam memberikan dukungan untuk para investor di bidang energi dan pertambangan,” kata anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ratna Juwita.