Dibutuhkan lebih banyak lapangan kerja formal layak, yang bernilai tambah tinggi. Di sisi lain, informalisasi tak terhindarkan. Setidaknya, perlu diupayakan ada rambu-rambu yang melindungi para pekerja.
Oleh
agnes theodora, dimas waraditya
·5 menit baca
Bagi sebagian orang, sektor informal menjadi “penyelamat” saat krisis ekonomi. Daripada ongkang-ongkang kaki tanpa pemasukan sepeser pun, lebih baik tetap bekerja meski tanpa ikatan kontrak resmi. Entah itu membuka usaha kecil-kecilan sendiri, bekerja untuk keluarga atau orang lain yang membuka usaha kecil, atau jadi pekerja lepas dan serabutan.
Tak heran jika jumlah pekerja informal di Indonesia meningkat pesat pada awal masa pandemi Covid-19. Saat itu, cukup banyak pengemudi ojek daring yang ketika diajak bercakap-cakap selama perjalanan bercerita bahwa mereka beralih menjadi pengojek, karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan.
Pada masa itu pula, di hampir setiap sudut jalanan, semakin mudah menemukan pengamen badut dengan aneka kostum dan topeng, juga para manusia silver yang rela membaluri tubuh dengan cat untuk mengamen. Di media sosial, banyak orang yang tiba-tiba berjualan atau menjadi reseller. Entah baju, masker, makanan, sampai akun berlangganan layanan premium seperti Netflix dan Spotify. Semua dilandasi motif yang sama: mencari nafkah.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja informal naik dari 75,5 juta orang sebelum pandemi (Februari 2020) menjadi 77,68 juta orang di awal pandemi (Agustus 2020). Pada Februari 2021, jumlah pekerja informal naik lagi menjadi 78,14 juta orang. Jumlah tersebut kemudian sempat turun tipis pada Agustus 2021 menjadi 77,91 juta orang.
Fenomena meningkatnya pekerja informal di awal pandemi itu bisa dipahami sebagai respons atau siasat menghadapi krisis. Saat itu, lowongan kerja di sektor formal memang terbatas. Berbagai sektor usaha masih terpuruk sehabis diterjang gelombang Covid-19.
Akan tetapi, pada Februari 2022, ketika pertumbuhan ekonomi kembali menguat selama dua triwulan berturut-turut di kisaran 5 persen, jumlah pekerja informal justru meledak.
BPS mencatat, ada 81,33 juta orang pekerja informal pada Februari 2022, bertambah 3,19 juta orang dibandingkan setahun sebelumnya (Februari 2021) atau bertambah 5,83 juta orang dibandingkan kondisi sebelum pandemi (Februari 2020).
Alih-alih mereda, tren informalisasi kerja justru kian menjadi-jadi. Hasil olahan terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2022 oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan, dalam satu tahun terakhir, ada 4,55 juta tenaga kerja baru yang terserap di pasar kerja. Namun, sebanyak 70,1 persen (3,19 juta orang) masuk ke sektor informal. Sisanya, hanya 29,8 persen (1,36 juta orang) yang terserap di sektor formal.
BPS mencatat, ada 81,33 juta orang pekerja informal pada Februari 2022, bertambah 3,19 juta orang dibandingkan setahun sebelumnya.
Informalisasi kerja yang meledak justru ketika perekonomian berada di jalur pertumbuhan positif itu menunjukkan adanya problem struktural yang lebih mendasar. Anomali itu juga mencerminkan realita bahwa pertumbuhan ekonomi lima persen yang dicapai selama dua triwulan terakhir ini sebenarnya belum cukup berkualitas.
Manufaktur lesu
Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan mengatakan, ledakan informalisasi itu tidak lepas dari gejala deindustrialisasi dini selama 15 tahun terakhir ini. Total kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus menurun. Pada triwulan I-2022, kontribusi sektor pengolahan adalah 19,19 persen, turun dari 19,83 persen pada tahun sebelumnya.
Meskipun nilai investasi di sektor sekunder naik dan indeks manufaktur selalu ekspansif, sektor pengolahan sebenarnya tengah lesu. Naik turunnya dinamika perekonomian global dan krisis rantai pasok dunia yang tak berkesudahan ikut berdampak pada ketidakyakinan perusahaan untuk kembali membuka rekrutmen tenaga kerja baru dalam skala besar.
Menurut Abdul, kualitas pertumbuhan ekonomi akan rendah jika sektor yang berperan besar menyerap tenaga kerja tidak pulih. “Selama industri manufaktur terus mengalami penurunan performa dan kontribusi, penyerapan tenaga kerja tentu akan terus bermasalah,” kata Abdul.
Kualitas pertumbuhan ekonomi akan rendah jika sektor yang berperan besar menyerap tenaga kerja tidak pulih
Sementara itu, ketika lapangan kerja formal menipis, ketersediaan “lowongan kerja” di sektor informal justru semakin banyak lewat pesatnya pertumbuhan sektor ekonomi digital. Menjamurnya perusahaan rintisan/startup menciptakan peluang kerja informal baru dengan "label" status kemitraan, yang banyak ditemukan pada aplikasi penyedia jasa transportasi daring (ride-hailing) dan aplikasi logistik daring.
Pekerja gig dengan status mitra tidak diikat melalui kontrak kerja formal. Karenanya, mereka dianggap bukan pekerja dan tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Mereka bekerja sehari-hari tanpa kepastian kerja, upah tak pasti, serta minim perlindungan dan jaminan sosial.
Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre Andriko S Otang mengatakan, gencarnya upaya pemerintah mendorong sektor ekonomi digital beberapa tahun terakhir ini sedikit banyak ikut berkontribusi pada maraknya informalisasi kerja.
Apalagi, pertumbuhan sektor yang mengedepankan fleksibilitas kerja itu tidak diiringi dengan rambu-rambu untuk mengatur hubungan kerja serta melindungi para pekerja informal di dalamnya. Sampai sekarang, belum ada regulasi yang mengatur tentang hubungan kerja kemitraan serta proteksi bagi para pekerja atau mitra yang berkecimpung di ranah ekonomi gig.
Andriko menilai, pemerintah terlalu fokus pada urusan menciptakan lapangan kerja dan menurunkan angka pengangguran, tetapi luput memperhatikan kesejahteraan para pekerja.
Sampai sekarang, belum ada regulasi yang mengatur tentang hubungan kerja kemitraan serta proteksi bagi para pekerja atau mitra yang berkecimpung di ranah ekonomi gig.
“Pemerintah lupa aspek kerja layak lainnya. Apakah pekerja diupah sesuai beban kerja? Apakah kondisi kerjanya layak? Apakah hak-haknya dipenuhi perusahaan? Fleksibilitas kerja yang terus-menerus didorong tanpa ada rambu-rambu itu membuat kondisi pekerja informal di ranah gig semakin rentan,” kata dia.
Menurut Andriko, ikhtiar mendorong formalisasi kerja lewat kebijakan reindustrialisasi yang kuat perlu dilakukan beriringan dengan upaya mendorong perlindungan bagi pekerja informal.
“Sifatnya komplementer. Kita butuh lebih banyak lapangan kerja formal layak, yang bernilai tambah tinggi dan berkontribusi signifikan ke ekonomi. Tapi, di sisi lain, informalisasi tak bisa dihindari. Oleh karena itu, setidaknya ada rambu-rambu yang bisa melindungi para pekerja,” tutur dia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah berupaya untuk mendorong terciptanya lebih banyak lapangan kerja formal lewat berbagai cara, seperti mempermudah iklim berinvestasi, khususnya di sektor padat karya. Seiring dengan itu, pendidikan dan pelatihan juga digalakkan agar masyarakat bisa terserap di lapangan kerja formal yang tercipta.
Di sisi lain, payung hukum perlindungan bagi pekerja informal tetap diupayakan. Saat ini, regulasi untuk melindungi pekerja ekonomi gig sedang dibahas lintas kementerian. Untuk sementara, pemerintah telah mengimbau sejumlah perusahaan startup dan pemberi kerja gig untuk mendaftarkan pekerjanya di program jaminan sosial.
“Kita tentu ingin pekerja masuk ke sektor informal, tapi sektor informal juga perlu dilihat sebagai potensi. Tinggal bagaimana kita bisa memberi jaminan dari sisi pengupahan dan perlindungan sosialnya,” kata Anwar.