Ombudsman RI Duga Ada Kelalaian dalam Penanganan PMK
Ombudsman RI menilai ada kelalaian dan pengabaian dalam penanganan penyakit mulut dan kuku (PMK) sehingga kasusnya terus menyebar luas. Pemerintah diminta melibatkan seluruh sumber daya yang ada guna mengatasi wabah PMK.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menduga ada malaadministrasi dan pengabaian kewajiban hukum dalam penanganan penyakit mulut dan kuku atau PMK pada hewan ternak. Kelalaian itu menyebabkan kasus PMK meledak dan menyebar luas.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengemukakan, pihaknya melihat adanya dugaan kelalaian pejabat otoritas veteriner terkait, kepala daerah terkait, dan Menteri Pertanian dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan sehingga berdampak pada meledak dan meluasnya penyebaran PMK.
Kasus PMK terdeteksi sejak 28 April 2022. Hingga pertengahan Juni 2022, kasus itu telah menyebar ke 18 provinsi. Adapun ternak yang sudah divaksin baru berjumlah 33 ekor. Pusat Krisis Penanganan dan Penanggulangan PMK, per Rabu (15/6/2022) pukul 20.32 mencatat, jumlah hewan ternak yang sakit PMK sebanyak 170.018 ekor.
Dari jumlah itu, ternak yang sembuh tercatat 46.549 ekor, ternak yang dipotong bersyarat 1.144 ekor, dan ternak mati 801 ekor. Jumlah ternak yang belum sembuh 121.524 ekor. Dari data itu, simulasi kerugian peternak selama kurun 1 bulan 3 pekan tercatat telah menembus Rp 254,45 miliar.
Ombudsman RI menyarankan Kementerian Pertanian bersikap profesional serta menjalankan semua tugas dan kewenangan dalam penanggulangan dan pengendalian PMK sesuai perundangan yang berlaku. Selain itu, Kementerian Pertanian juga perlu membangun koordinasi dan jejaring lintas pemangku kepentingan serta memanfaatkan keunggulan sumber daya manusia di fakultas kedokteran hewan dalam penanggulangan PMK, dan penguatan data yang transparan.
”Perlu memperkuat data yang transparan dan tepercaya. Jangan sampai di tengah duka peternak, ada orang yang menari-nari,” ujar Yeka dalam konferensi pers ”Potensi Kerugian Peternak Sapi Akibat PMK” secara daring, Rabu (15/6/2022).
Yeka mengingatkan, PMK merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan paling ditakuti di dunia peternakan. Penyakit itu dinilai berdampak sistemik dan meningkatkan kerugian peternak. Saat ini angka penularan PMK mencapai 100 persen dengan tingkat kematian di bawah 5 persen. Serangan penyakit itu berdampak pada penurunan produktivitas dan sulit untuk pulih.
Indonesia tercatat pernah terkena serangan PMK dan butuh waktu 1 abad untuk membebaskan diri dari PMK. PMK tercatat masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1887 dan wabah terakhir PMK tercatat di Jawa pada tahun 1983. Pada tahun 1990, Indonesia baru mendapat pengakuan bebas PMK dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Butuh transparan
Yeka meminta pemerintah untuk transparan terkait anggaran Rp 4,41 triliun untuk mengatasi wabah PMK. Dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Pertanian pada 13 Juni 2022, DPR RI menyetujui usulan pemerintah terkait kebutuhan anggaran tahun ini untuk penanganan penyakit mulut dan kuku sebesar Rp 4,41 triliun.
Anggaran itu digunakan untuk pembelian vaksin, obat-obatan, disinfektan, penggantian ternak mati, dan operasional pendukung. Dalam upaya penanganan itu, Kementerian Pertanian mengimpor vaksin bivalen dari Perancis sebanyak 3 juta dosis yang disalurkan bertahap.
Akan tetapi, pihaknya belum menemukan dasar dari putusan dan rencana kerja itu. Kajian dinilai tidak transparan. Pihaknya mempertanyakan alasan mengimpor vaksin dari Perancis.
”Setelah ditelusuri, hasil epidemiologis belum ada. Pemeriksaan dan pengujian baru di daerah tertentu saja, kok bisa sampai membuat perencanaan seperti ini?” lanjut Yeka.
Ombudsman RI mendesak keterbukaan dalam proses penanganan PMK. Ia menilai ironis jika kondisi darurat ini justru dibumbui kepentingan-kepentingan yang tidak patut.
Sementara itu, dalam pernyataan sikapnya, Aliansi Organisasi Peternak, Mahasiswa, dan Tenaga Kesehatan Hewan Indonesia meminta pemerintah segera menyatakan wabah PMK sebagai kejadian luar biasa serta membentuk satuan tugas penanganan wabah PMK agar kebijakan pusat dan daerah dapat sinergis.
”PMK masih dimungkinkan meluas dan penanganan butuh waktu cukup lama. Perlu peran semua pemangku kepentingan. Kalau terus dibiarkan, (nasib) peternakan di Indonesia akan selesai,” kata Budiono, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Sapi Indonesia.
Budiono menambahkan, pemerintah perlu menyusun peta jalan penanganan PMK dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Saat ini penanganan wabah PMK belum terlihat nyata. Sebagian peternak yang terdampak PMK menyerahkan sapi ke rumah pemotongan hewan untuk dipotong.
Kematian ternak sudah menjadi tangisan peternak. Kami berharap ada kebijakan pusat untuk mengangkat nasib peternak agar bisa melanjutkan usaha.
Dewan Penasihat Komite Sapi Indonesia Rochadi Tawaf mengemukakan, wabah PMK saat ini telah meluas ke 18 provinsi. Meski pemerintah telah melakukan sejumlah langkah penanganan, penyebaran penyakit jauh lebih cepat lagi dan memicu kematian ternak. Persoalan PMK dikhawatirkan terus meluas tanpa penanganan cepat.
”Kematian ternak sudah menjadi tangisan peternak. Kami berharap ada kebijakan pusat untuk mengangkat nasib peternak agar bisa melanjutkan usaha,” ujar Rochadi.