Upaya pengembangan budidaya lobster di Tanah Air masih menghadapi jalan berliku. Diperlukan konsistensi untuk menggarap potensi besar lobster.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu tahun sejak pemerintah menetapkan larangan ekspor benih bening lobster dan kewajiban hasil tangkapan benih lobster untuk dibudidayakan di dalam negeri, pengembangan budidaya lobster masih menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa kendala di antaranya penyelundupan benih lobster yang masih terus berlangsung, teknologi, hingga pakan.
Aturan pembudidayaan lobster tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diundangkan 4 Juni 2021. Aturan itu juga melarang ekspor benih lobster.
Pemerintah juga menetapkan lobster sebagai satu dari empat komoditas unggulan perikanan budidaya, di samping udang, rumput laut, dan kepiting. Dengan penetapan ini, lobster menjadi fokus garapan program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020-2024.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sentra budidaya lobster tersebar di Lombok, selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera. Tahun 2024, hasil budidaya lobster ditargetkan mencapai 7.220 ton. Namun, capaian produksi dari hasil budidaya lobster sepanjang 2021 tercatat baru 206,7 ton.
Pemerintah juga menetapkan lobster sebagai satu dari empat komoditas unggulan perikanan budidaya, di samping udang, rumput laut, dan kepiting. Dengan penetapan ini, lobster menjadi fokus garapan program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020-2024.
Direktur Perbenihan KKP Nono Hartanto mengemukakan, usaha budidaya lobster mulai terbentuk, tetapi masih perlu waktu untuk berkembang. Pola budidaya lobster oleh masyarakat masih beragam dan belum terstandardisasi. Sementara itu, perusahaan yang mengantongi izin usaha budidaya lobster juga masih terbatas, yakni 3-4 perusahaan.
Budidaya lobster masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kesulitan mendapatkan benih. Sementara itu, persoalan penyelundupan benih bening lobster juga masih berlangsung, antara lain memanfaatkan lalu lintas benih antarprovinsi. Persoalan lainnya, ketersediaan pakan untuk budidaya lobster.
Pakan lobster utamanya kekerangan, sedangkan Indonesia belum memiliki sentra-sentra penghasil kekerangan. Adapun harga kekerangan tergolong mahal dan kekerangan untuk keperluan budidaya harus bersaing dengan konsumsi. Di Lampung, harga kerang hijau mencapai Rp 18.000 per kilogram, sedangkan di Banyuwangi sekitar Rp 10.000 per kg. Sementara itu, pakan ikan rucah juga cenderung tidak menentu.
Saat ini, budidaya kekerangan untuk menunjang budidaya lobster mulai digarap di beberapa lokasi, tetapi masih dalam tahap uji coba. Sementara itu, formulasi pakan sedang disusun. Standardisasi pakan diperlukan agar lobster tidak rentan terserang penyakit dan pertumbuhan yang lamban.
Di sisi lain, penerapan teknologi budidaya lobster belum merata. Pembudidaya skala kecil masih dihadapkan pada keterbatasan teknologi dan kapasitas sumber daya manusia. Pemerintah sedang mengkaji metode budidaya lobster dan teknologi budidaya yang komperehensif dan cocok dengan kultur masyarakat Indonesia. Selain itu, penyusunan prosedur standar operasi (SOP) untuk budidaya lobster.
”Kita mendorong lobster melaju kencang dalam dua tahun ke depan. Namun, di perjalanan ada sandungan-sandungan. Diperlukan waktu untuk menerapkan teknologi dan prosedur standar operasi yang paling adaptif dengan budidaya lobster di Indonesia,” katanya.
Penerapan teknologi budidaya lobster belum merata. Pembudidaya skala kecil masih dihadapkan pada keterbatasan teknologi dan kapasitas sumber daya manusia.
Nono menambahkan, pengembangan budidaya lobster yang masih dalam tahap awal memerlukan dukungan ekosistem budidaya, seperti penyedia pakan, benih, gudang pendingin untuk penyimpanan pakan ikan, hingga infrastruktur. ”Eksosistem budidaya lobster harus dibangun jika ingin berbudidaya lobster secara terintegrasi,” ujarnya.
Meski hadapi sejumlah kendala, upaya mendorong budidaya lobster terus dilakukan pemerintah antara lain menugaskan sejumlah balai perikanan budidaya untuk mengembangkan teknologi budidaya lobster, yakni Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo. Selain itu, Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar.
Dari hasil uji balai, tingkat keberhasilan pengembangan benih bening lobster ke ukuran ”jangkrik” (5 gram) memiliki tingkat kehidupan (SR) 25 persen, sedangkan pembesaran dari ukuran 5 gram sampai ukuran panen di atas 150 gram memiliki tingkat SR 60 persen. Pihaknya menargetkan tahun ini usaha pembenihan itu berkembang dengan tingkat SR dari benih bening lobster menuju ”jangkrik” mencapai 60 persen, sedangkan SR pembesaran mencapai 80 persen.
Budidaya lobster di masyarakat mulai tumbuh sejak pemerintah melarang ekspor benih bening lobster dan mendorong pengembangan budidaya lobster di dalam negeri.
Ketua Kelompok Pembudidaya Lobster Maju Jaya di Desa Jerowaru, Lombok Timur, Mashur mengemukakan, budidaya lobster di masyarakat mulai tumbuh sejak pemerintah melarang ekspor benih bening lobster dan mendorong pengembangan budidaya lobster di dalam negeri. Meski demikian, kendala utama saat ini adalah kesulitan memperoleh benih yang harganya tetap mahal.
Harga benih bening lobster jenis pasir saat ini berkisar Rp 7.000-Rp 8.000 per ekor atau melonjak dari harga normal di kisaran Rp 2.500-Rp 3.000 per ekor. Sementara, harga benih bening lobster jenis mutiara mencapai Rp 15.000-Rp 16.000 per ekor. Harga itu dinilai cukup tinggi karena biasanya harga benih lobster mutiara Rp 10.000 per ekor. Lonjakan harga itu disinyalir karena masih maraknya penyelundupan benih lobster.
”Setiap ada penyelundup yang tertangkap aparat, harga benih bening lobster biasanya langsung kembali normal tetapi lalu naik lagi,” ujar Mashur.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR, pekan lalu, mengemukakan, pada tahun 2023, KKP menempatkan program prioritas pengembangan perikanan budidaya untuk peningkatan ekspor, meliputi komoditas utama, seperti udang, lobster, kepiting, dan rumput laut, serta pengembangan kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal.