Sekelompok petani sawit mencetuskan gagasan memproduksi minyak sawit merah (red palm oil). Nama ini memang belum familiar di telinga.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
Stabilitas harga tandan buah segar atau TBS kelapa sawit di tingkat petani, sekaligus menjaga pasokan minyak goreng di dalam negeri, sama pentingnya. Keduanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar tak terus berulang jeritan petani sawit yang merasa dipermainkan, kesewenang-wenangan produsen minyak kelapa sawit mentah atau CPO, ketidakstabilan bisnis CPO, dan kecurigaan pemerintah terhadap produsen.
Kebijakan wajib memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) bagi produsen CPO, penetapan harga eceran tertinggi (HET), hingga tarif pungutan ekspor, telah diterapkan. Namun, ujung dari kebijakan itu rupanya belum mampu membendung lonjakan harga minyak goreng sebagai salah satu produk turunan kelapa sawit.
Masyarakat menjadi resah. Antrean panjang demi mendapatkan minyak goreng murah selalu diserbu. Sementara dengan otoritas dan sumber dayanya, pemerintah terus menekankan agar harga minyak goreng bisa mencapai Rp 14.000 per liter sesuai HET yang ditetapkan.
Tak ingin persoalan terus berulang, sekelompok petani sawit mencetuskan gagasan memproduksi minyak sawit merah (red palm oil). Nama ini memang belum familiar di telinga. Namun, gagasan di tengah kekisruhan harga minyak goreng ini dengan berani disampaikan sejumlah petani sawit kepada Presiden Joko Widodo akhir Maret 2022 lalu di Istana Merdeka.
Gayung bersambut. Kementerian Koperasi dan UKM yang sedang mengarahkan salah satu programnya ke korporatisasi koperasi seakan melihat titik terang. Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) dan Serikat Petani Kelapa Sawit memberanikan diri untuk menunjukkan bahwa proyek rintisan minyak sawit merah mampu menjaga kestabilan harga TBS di tingkat petani. Patut diakui, produk hasil penyulingan awal TBS ini belum populer di Indonesia.
Berbekal kemampuan, KUD Tani Subur (Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah) dengan lahan seluas 1.420 hektar dan aset Rp 120 miliar, memiliki kapasitas produksi minyak sawit merah 30 ton per jam. Sementara KUD Sumber Makmur (Pelalawan, Riau) dengan lahan 1.562 hektar dan aset Rp 31,5 miliar memiliki kapasitas produksi 15 ton per jam, Gabungan Kelompok Tani Tanjung Sehati (Merangin, Jambi) dengan lahan 1.000 hektar dan aset Rp 74 miliar memiliki kapasitas produksi 30 ton per jam, dan Koperasi Perkebunan Sawit Makmur (Tanah Laut, Kalimantan Selatan) dengan lahan 11.700 hektar dan aset Rp 20 miliar memiliki kapasitas produksi 45 ton per jam.
Baru KUD Tani Subur yang menyatakan kesiapannya menjadi rintisan perdana produksi minyak sawit merah. Tantangan besar masih menghadang, antara lain tingkat kepercayaan masyarakat. Mengingat mindset warna minyak goreng adalah kuning bening yang sudah diproduksi melalui rentetan proses penjernihan, sebagaimana diterima standar minyak goreng internasional. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana produk ini bisa memperoleh Standar Nasional Indonesia (SNI) agar bisa dipasarkan di dalam negeri. Tentu, nantinya juga membutuhkan sosialisasi manfaat minyak sawit merah dengan melibatkan Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, pemerintah daerah, atau tokoh masyarakat.
Kemudian, pendirian pabrik mini untuk mengolah TBS juga membutuhkan akses inovasi teknologi bagi koperasi dan rekonfigurasi produk CPO menjadi minyak sawit merah. Yang tak kalah pentingnya adalah fasilitas pembiayaan jangka panjang, entah berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), ataupun perbankan nasional.
Pelajaran dari negara tetangga, Fortasbi membeberkan ekspor minyak sawit merah telah dilakukan Malaysia ke China. Produk ini digunakan pula untuk memerangi kekurangan vitamin A di China. Sebesar 40 persen produk CPO per tahun dihasilkan oleh petani swadaya di Malaysia.
Kemudian, Republik Kamerun pun telah memproduksi minyak sawit merah secara sederhana untuk memenuhi kebutuhan domestik. Penggilingan dilakukan dengan cara tradisional (diinjak) dan menggunakan mesin (skala pabrikan). Distribusi penjualan dilakukan dari lokasi pabrik kelapa sawit ke desa, kota, atau pasar kota secara grosiran maupun ritel.
Sedikit menilik lebih jauh, produksi minyak sawit merah ternyata sudah dipopulerkan oleh PT SMART Tbk tahun 2011. Namun, skala produksinya menjadi rintisan dari program sosial Eka Tjipta Foundation (ETF), milik kelompok usaha Grup Sinar Mas. Produksi tersebut didorong keprihatinan, karena saat itu sedikitnya 10 juta anak dan jutaan warga miskin di Indonesia masih kekurangan vitamin A.
ETF bekerja sama dengan IPB University yang menjalankan program vitamin A bagi masyarakat miskin di Bogor, Jawa Barat, yang terkandung dalam minyak sawit merah. Mengapa? Kelapa sawit merupakan penghasil karotenoid tertinggi. Produk CPO tahap awal berwarna merah pekat dan mengandung beta karoten provitamin A sebanyak 600-1.000 mg per kg atau ppm.
Karotenoid yang terdapat pada minyak sawit merupakan provitamin A yang mudah diserap oleh sel mukosa saluran pencernaan manusia. Lalu, diubah menjadi vitamin A atau retinol dengan potensi konversi 98 persen. Potensi ini menjadikan minyak sawit merah sebagai sumber vitamin A yang jauh lebih efektif dan murah dibandingkan dengan sumber vitamin lainnya. (www.kompas.com, 17 Maret 2011)
Tentu, investasi jangka panjang yang tidak murah dalam mencari solusi bagi petani TBS. Terlebih, skala industri kecil ini akan berhadapan dengan industri besar. Perebutan TBS kelapa sawit bakal berada di depan mata, walaupun dari sebagian sisi pembiayaan LPDB Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan kesiapan penyalurannya. Sungguhkah koperasi mampu menjaga kelanggengan bisnis minyak sawit merah ini?