Informalisasi Kerja Kian Marak, Intervensi Pemerintah untuk Lindungi Pekerja Dinanti
Perkembangan ekonomi digital yang pesat belum diiringi peningkatan kesejahteraan pekerjanya. Praktik informalisasi kerja dengan dalih ”kemitraan” kian menjamur. Pemerintah sedang mengkaji penyusunan regulasi terkait.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik informalisasi kerja berkedok kemitraan di sektor ekonomi digital semakin marak ditemukan. Kekosongan hukum dan kompetisi yang kian ketat antarperusahaan aplikasi membuat semakin banyak kurir dan pengemudi yang statusnya diubah dari pekerja menjadi mitra. Janji pemerintah untuk menengahi lewat instrumen regulasi dinanti.
Sejak pandemi, sektor jasa logistik dan transportasi daring berkembang semakin pesat. Berdasarkan data riset Google, Temase, Bain & Company, nilai gross merchandise value (GMV) ekonomi digital atau total nilai barang yang diperjualbelikan di Indonesia mencapai 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp 994 triliun pada akhir 2021—setara dengan 5,85 persen dari total PDB Indonesia 2021 sebesar Rp 16.970 triliun.
Sementara Kajian McKinsey memprediksi, pada tahun 2022 akan ada 1,5 miliar paket yang dikirimkan di seluruh Indonesia akibat transaski e-commerce yang meningkat, enam kali lebih banyak dari tahun 2018.
Namun, peluang ekonomi digital itu tidak diiringi peningkatan kesejahteraan pekerjanya, yaitu para kurir dan pengemudi transportasi daring. Peneliti Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto, mengatakan, alih-alih lebih sejahtera, informalisasi kerja di sektor logistik dan transportasi daring justru makin marak.
”Para kurir yang sebelumnya dikategorikan pekerja kontrak atau tetap dengan upah minimum per bulan, jaminan kesehatan, dan batasan waktu kerja 8 jam per hari, statusnya semakin banyak yang diubah menjadi mitra,” kata Arif dalam diskusi daring, Jumat (20/5/2022).
Kompetisi yang semakin ketat antarperusahaan aplikasi jasa logistik dan transportasi daring berkontribusi pada tingkat kesejahteraan kurir dan pengemudi daring yang kian menurun. Arif mengatakan, perusahaan berlomba-lomba menawarkan tarif termurah bagi konsumen, tetapi sebagai gantinya, memangkas upah pekerjanya lewat dalih status kemitraan.
Selain penentuan tarif yang berdampak pada menurunnya upah, para kurir dan pengemudi daring berstatus mitra itu juga diliputi ketidakpastian kerja, terpaksa bekerja untuk jam kerja yang panjang hingga 16 jam dalam sehari, tidak mendapat upah lembur (karena tidak dianggap sebagai pekerja), serta tidak mendapat jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
”Tren informalisasi itu banyak dipengaruhi oleh sengitnya kompetisi. Dengan mengubah status kurir dari pekerja menjadi mitra, perusahaan bisa mengurangi ongkos biaya atau upah pekerja dan sebagai gantinya memberikan lebih banyak promo agar mereka bisa bersaing,” ujarnya.
Perusahaan berlomba-lomba menawarkan tarif termurah bagi konsumen, tetapi sebagai gantinya, memangkas upah pekerjanya lewat dalih status kemitraan.
Kekosongan hukum
Hal itu diperparah dengan adanya kekosongan hukum terhadap pengaturan ketenagakerjaan di sektor ekonomi digital atau ekonomi gig. ”Pemerintah seolah memberi ruang, ada pembiaran terhadap praktik informalisasi. Padahal, tidak hanya berpengaruh buruk pada kesejahteraan pekerjanya, tren ini juga bisa berdampak pada kondisi perekonomian nasional,” kata Arif.
Direktur Advokasi dan Kemitraan Kedeputian Kajian dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M Zulfirmansyah juga memperhatikan adanya kenderungan persaingan usaha yang membuat perusahaan aplikasi mentransmisikan beban biaya ke kurir. Ia pun mendorong pemerintah agar segera mengeluarkan regulasi yang dijanjikan.
Ia mengkhawatirkan, jika dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, praktik informalisasi dan sistem kerja berkedok ”kemitraan” itu akan merambah sampai ke sektor lainnya di luar jasa logistik dan transportasi daring.
”Untuk menjaga kepentingan umum, ini seharusnya bisa diintervensi pemerintah. KPPU tidak akan mempermasalahkan jika ada intervensi, selama itu dituangkan dalam undang-undang yang jelas. Aspek persaingan usaha tidak hanya an sich persaingan, tetapi juga harus ada aspek menjaga kepentingan umum, dalam hal ini, perlindungan bagi para kurir,” katanya.
Gelombang kasus yang memicu aksi unjuk rasa oleh para mitra kurir dan pengemudi daring, pertengahan 2021 lalu, sempat berujung pada audiensi antara pemerintah dan perwakilan mitra.
Pertemuan pada Agustus 2021 itu menghasilkan tiga kesimpulan. Pertama, pemerintah akan menyusun pedoman standar untuk membangun hubungan kemitraan yang produktif dan sehat antara perusahaan dan kurir. Kedua, pemerintah akan melakukan pembinaan terhadap perusahaan, khususnya dalam proses penyusunan dan pelaksanaan perjanjian kemitraan.
Ketiga, pemerintah akan memberikan perlindungan terkait keselamatan dan kesehatan kerja dan para mitra wajib dilindungi dan diikutsertakan dalam program jaminan sosial yang sesuai.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan, digitalisasi memang membawa perubahan signifikan yang telah berdampak pada aspek perlindungan K3 pekerja. Perlindungan terhadap pekerja digital pun menjadi salah satu komitmen pemerintah dalam presidensi G20.
Pemerintah saat ini masih melakukan kajian untuk menyusun kebijakan dan regulasi terkait perlindungan pekerja digital/ekonomi gig. Sebelum pandemi, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan perlindungan bagi pekerja sebagai upaya beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, perlindungan yang ada itu diakui belum memadai.
”Pandemi menegaskan bahwa pola kerja yang selama ini diterapkan tidak lagi relevan untuk beberapa jenis pekerjaan. Bentuk hubungan kerja tidak lagi berpola konvensional. Ini menjadi tantangan terkait bentuk perlindungan seperti apa yang dibutuhkan oleh pekerja di masa depan,” katanya.