Ekonomi ”Gig” dan Bom Waktu Ketenagakerjaan
Tanpa ada regulasi yang jelas, model ekonomi ”gig” di Indonesia bisa beroperasi dengan kontrol yang sangat minim. Ketimpangan dan kesejahteraan masih menjadi persoalan. Bagaimana solusinya?
Terjemahan bebas ekonomi gig kurang lebih adalah ekonomi informal yang bersifat jangka pendek, fleksibel, pekerja lepas, dan diperkirakan akan semakin marak ke depan seiring teknologi digital.
Di tengah mesin ekonomi yang belum sembuh total dari hantaman pandemi Covid-19, penyerapan tenaga informal melalui berbagai platform digital menjadi salah satu jaring penyelamat problem ketenagakerjaan.
Walakin, tanpa adanya regulasi yang jelas, model ekonomi ini justru bisa menjadi bom waktu isu ketenagakerjaan yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Tak dapat dimungkiri, hadirnya perusahaan pelantar digital di berbagai bidang ini membukakan pintu rezeki kepada jutaan pekerja informal di Indonesia.
Menurut estimasi kasar, di bidang jasa transportasi (ride hailing) saja terdapat sekitar 4 juta pekerja informal yang terdaftar sebagai mitra. Jumlah tersebut setara dengan 5 persen dari seluruh total pekerja informal di Indonesia.
Bukan hanya besar secara jumlah, pertumbuhan ekonomi gig di bidang jasa transportasi ini pun terbilang cepat. Pasalnya, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2018 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja informal di bidang jasa transportasi daring ini berada di kisaran 500.000 orang.
Artinya, dalam kurung waktu sekitar 3 tahun, jumlah pekerja informal di sektor ini meningkat hingga empat kali lipat.
Dengan rendahnya hambatan untuk masuk menjadi mitra, dapat diperkirakan bahwa ke depannya jumlah pekerja informal di bidang ini akan terus tumbuh di masa mendatang.
Hal ini sejalan juga dengan tren pergeseran para pekerja formal ke sektor informal selama masa pandemi. Data BPS menunjukkan, selama Februari 2020 hingga Februari 2021 terdapat peningkatan jumlah pekerja informal sebesar sekitar 3 juta orang.
Selanjutnya, berdasarkan Laporan Outlook Lapangan Pekerjaan Indonesia 2020 dari Bank Dunia, profesi yang termasuk dalam bidang jasa transportasi daring ini masuk ke dalam kategori cerah.
Dengan kata lain, profesi tersebut termasuk ke dalam jenis pekerjaan dengan permintaan yang tinggi, keinginan perusahaan untuk merekrut yang tinggi, dan tingkat perputaran pekerja (turnover) yang rendah.
Baca juga: Pengaturan Kemitraan Layak bagi Pekerja ”Gig” Mendesak
Posisi mitra
Meskipun begitu, ketika ditelisik lebih dalam, model ekonomi gig ini masih problematik. Sebagian besar dari persoalan ini bersumber pada model ekonomi yang menempatkan pekerjanya sebagai mitra alih-alih pegawai.
Dalam hal ini, para pekerja informal yang bergabung dianggap setara atau entitas tersendiri yang diajak untuk bekerja sama oleh para perusahaan pelantar.
Di satu sisi, para pekerja memang dibebaskan untuk mengatur ritme dan jam kerja mereka sendiri. Tanpa adanya ikatan kontrak kepegawaian, mereka bisa saja sewaktu-waktu berhenti untuk menjadi mitra atau pindah ke perusahaan kompetitor yang dirasa lebih bisa memberikan keuntungan.
Namun, di sisi lain, longgarnya ikatan kemitraan ini juga membuat jurang ketimpangan kuasa antara perusahaan pelantar digital dan para pekerja semakin lebar.
Perusahaan bisa dengan mudah mengubah aturan terkait upah dan bonus yang diberikan kepada pekerja untuk mencapai titik profit maksimum. Perusahaan beranggapan, jika para mitra tak bisa sepakat, pintu keluar bagi mereka terbuka lebar kapan saja. Model seperti ini menihilkan kesempatan para mitra untuk dapat menegosiasikan upah mereka.
Hal ini membuat posisi mitra menjadi sangat rentan akan eksploitasi. Tereksploitasinya para mitra tecermin dari hasil Sakernas 2018 yang menunjukkan bahwa lebih dari 38 persen pekerja informal di bidang ini bekerja lebih dari 60 jam dalam seminggu.
Maka, jika seorang pekerja mengambil 1 hari libur dalam seminggu, ia harus bekerja selama 10 jam lebih dalam sehari untuk bisa mendapat upah yang layak. Padahal, menurut studi dari Washington Center for Equitable Growth, bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan ekonomi sebuah negara dalam konteks yang lebih luas.
Tak hanya itu, karena status kemitraan tersebut, para pekerja nyaris tak memiliki jaminan keselamatan kerja. Secara teknis, perusahaan pelantar digital memang tak diwajibkan untuk mendaftarkan para mitra ke jaminan sosial ketenagakerjaan seperti layaknya perusahaan konvensional kepada pegawainya.
Maka, jika terjadi kecelakaan kerja, pihak perusahaan pun tidak wajib untuk bertanggung jawab. Di samping soal upah dan keselamatan kerja, masih banyak persoalan lain yang baru sedikit atau bahkan belum tersentuh oleh regulasi.
Beberapa di antaranya termasuk soal hak pekerja perempuan (mengingat sekitar 5 persen dari mitra adalah perempuan), perlindungan dari tindak kejahatan (perdagangan narkoba, penipuan oleh pelanggan) hingga konsentrasi peluang kemitraan yang sangat terpusat di wilayah urban (92,7 persen mitra tinggal dan beroperasi di wilayah kota).
Kerentanan dari para mitra ini semakin kentara di masa pandemi ini. Pada awal masa pandemi, berdasarkan laporan dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, sekitar 63 persen dari mitra mengungkapkan jika mereka nyaris tak mendapat penghasilan.
Tak hanya itu, sebanyak 92 persen dari mitra juga memandang bahwa Covid-19 memiliki dampak jangka panjang (lebih dari 1 bulan) terhadap penghasilan mereka dari pelantar digital.
Baca juga: Dunia Soroti Perlunya Pekerjaan Digital yang Humanis
Urgensi regulasi
Hingga kini, belum ada regulasi yang jelas terkait dengan model ekonomi gig di Indonesia. Bahkan, UU Omnibus Law yang baru disahkan tahun lalu justru lebih membuat model ekonomi ini semakin lentur untuk mengeksploitasi para mitranya.
Hal ini tentu kontradiktif dengan pandangan pemerintah yang melihat ekonomi gig sebagai solusi mudah menekan angka pengangguran.
Ruang hampa regulasi ini kemudian diisi oleh gerakan yang dimotori oleh para mitra yang saling berserikat. Untuk menghadapi ketidakadaan ruang dan mekanisme negosiasi yang jelas dengan pihak perusahaan, mereka menjadikan ruang publik sebagai tempat untuk menumpahkan aspirasi mereka.
Aksi demonstrasi yang kerap dilakukan oleh para mitra ini tentu bukan wadah yang ideal. Selain rentan menimbulkan gesekan sosial, solusi yang dihasilkan dari aksi-aksi demonstrasi ini kerap bersifat sementara dan tak menyentuh akar dari permasalahan. Bahkan, para mitra ini pun harus mengorbankan omzet harian mereka untuk meluangkan waktu untuk melakukan aksi.
Tanpa adanya regulasi yang jelas, model ekonomi gig di Indonesia bisa beroperasi dengan kontrol yang sangat minim. Kehampaan aturan akan menempatkan jutaan pekerja tiap tahunnya di dalam sistem kerja yang eksploitatif. Dengan ketidakpastian upah dan risiko yang tinggi, ketahanan finansial para mitra pun akan sangat rentan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kerja Layak bagi Kurir Lepas