Dengan melihat pola penyebarannya, sejumlah pihak mengaitkan wabah PMK dengan pandemi Covid-19 yang saat ini belum sepenuhnya tuntas. Pandemi semestinya memberi pelajaran berharga tentang bagaimana kita menangani krisis.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK mengentak Indonesia. Penyakit yang disebabkan infeksi virus akut ini menyerang hewan ternak berkuku belah, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Hal yang mengkhawatirkan adalah virus ini menyebar dengan sangat cepat serta dapat menular lewat udara atau airborne.
Bagi manusia, penyakit ini tak berbahaya. Daging hewan ternak yang positif PMK pun masih aman dikonsumsi, terutama jika diolah dan dimasak dengan tepat. Namun, manusia berpotensi menjadi carrier atau pembawa virus yang dapat menular pada hewan ternak lain yang sehat.
Penyebaran PMK di Indonesia, setelah pertama kali dilaporkan pada akhir April 2022, menunjukkan betapa cepat penularannya. Awalnya, kasus PMK hanya ditemukan di Provinsi Jawa Timur dan Aceh, tetapi hanya dalam beberapa hari wabah sudah ditemukan di daerah lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Dengan melihat pola penyebarannya, tak heran jika sejumlah pihak mengaitkan wabah PMK dengan pandemi Covid-19, yang saat ini belum sepenuhnya tuntas. Tentu tak sepenuhnya sama karena Covid-19 menular pada manusia, sedangkan PMK, yang bukan penyakit zoonosis, tidak demikian.
PMK lebih berdampak pada ekonomi dan perdagangan. Apabila tidak ditangani cepat dan serius, wabah berpotensi meluas. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya penjualan panik (panic selling) oleh peternak. Tak hanya merugikan dari segi harga jual, tetapi juga memperluas wabah jika perpindahan hewan tidak diikuti dengan tes dan pengawasan ketat.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyebut penanganan PMK mirip dengan pengendalian Covid-19 yang memerlukan strategi karantina berbasis kandang selama 14 hari. Sebab, lagi-lagi mirip Covid-19, masa inkubasi pada hewan yang terjangkit PMK berkisar 2-14 hari. Setelah dua tahun berjibaku dengan pandemi Covid-19, manajemen risiko penanganan PMK semestinya lebih sigap.
Dalam rapat koordinasi Kementerian Pertanian dan Pemprov Jatim telah disepakati adanya isolasi berbasis kandang demi menekan penyebaran PMK. Namun, efektivitas dan kesigapan penanganan PMK masih belum tampak. Wabah yang kini sudah meluas ke banyak provinsi ini sudah seharusnya disikapi lebih serius. Keterbukaan informasi menjadi salah satu kunci dalam menutup ruang gerak penyebaran virus itu.
Saat sejumlah daerah telah mengungkap jumlah kasus PMK, baik yang terkonfirmasi positif maupun terduga, rekapitulasi perkembangan data kasus secara nasional masih sulit diakses. Padahal, upaya penanganan PMK berpacu dengan cepatnya penyebaran virus. Peta ketersebaran PMK, yang terus dimutakhirkan, bakal menggugah kesadaran para peternak, juga warga.
Semua pihak, termasuk masyarakat dan peternak, tidak perlu panik. Namun, jangan sampai ketidakterbukaan informasi membuat kewaspadaan melemah. Pandemi Covid-19 telah memberi banyak pelajaran bahwa ketidakjujuran bisa membawa situasi bertambah buruk. Maka, semua pihak mesti terbuka.
Di sisi lain, tentu upaya berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, para tenaga kesehatan, dan tingkat terbawah, perlu diapresiasi. Terutama dalam mengedukasi para peternak soal penyakit PMK, baik untuk melaporkan ternaknya yang menunjukkan gejala maupun meningkatkan kewaspadaan, hingga penguatan biosekuriti.
Kementerian Pertanian telah membentuk Gugus Tugas Penanganan PMK. Demikian pula di tingkat provinsi ataupun kabupaten. Selain itu, seperti ditampilkan di situs Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, telah dibentuk juga Posko Nasional Tanggap Darurat Pengendalian dan Penanggulangan PMK beserta nomor hotline. Namun, peta sebaran PMK masih dinanti.
Tantangan
Saat ini, penanganan dan pengendalian wabah PMK mesti difokuskan pada pengawasan perpindahan hewan ternak dari satu daerah ke daerah lain, terutama daerah wabah. Apalagi, Idul Adha kurang dari dua bulan lagi. Kendati Kementerian Pertanian telah memastikan pasokan hewan untuk kurban Idul Adha aman, pengawasan perpindahan ternak mesti diperketat. Oleh karena itu, peta ketersebaran PMK yang mutakhir dibutuhkan.
Saat ini, pemerintah juga tengah menyiapkan vaksin buatan dalam negeri serta impor vaksin dalam jumlah terbatas. Namun, melihat sebaran PMK yang meluas, impor vaksin seharusnya tak lagi untuk sekadar jadi back up seraya menanti pembuatan vaksin dalam negeri selesai. Orientasi harus pada bagaimana melindungi ternak sehat.
Kecepatan dan ketepatan respons akan wabah PMK sedikit banyak bakal menentukan seberapa lama Indonesia kembali bebas PMK. Setelah diakui secara internasional sejak 1990, status Indonesia sebagai negara Bebas PMK di Mana Vaksin Tidak Dilakukan ditangguhkan (suspended) Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) terhitung 12 April 2022.
Kini situasinya menjadi tantangan semua pihak agar berupaya bersama mengembalikan status bebas PMK. Semakin lama pemulihan akan semakin lama juga pengaruhnya pada perdagangan. Tak cuma terkait ternak, tetapi juga produk-produk turunannya yang diekspor ke luar negeri.
Selain itu, penelusuran epidemiologi terkait masuknya PMK ke Indonesia mesti dilakukan. Bagaimanapun, Indonesia telah mengambil pilihan untuk menerapkan kebijakan impor berbasis zona. Demi ketersediaan pangan dan stabilisasi harga, Indonesia dapat mengimpor produk hewan dari negara yang memiliki zona bebas PMK meski status negaranya tak bebas PMK. Tentu, konsekuensinya, pengawasan dan karantina mesti diperkuat dan jangan sampai kebobolan.
Selain itu, masuknya PMK juga diduga berasal dari hewan atau produk hewan melalui jalur ilegal (selundupan). Ini pun menjadi tantangan bersama, terlebih Indonesia dikelilingi negara-negara yang negaranya belum berstatus Bebas PMK. Relatif hanya Australia dan Selandia Baru yang berstatus Bebas PMK. Selama ini, Indonesia pun mengimpor sapi bakalan dari Australia.
Pada akhirnya, jika ada pendapat bahwa pandemi wabah PMK ini berbeda dengan pandemi Covid-19, ada benarnya. Sebab, Covid-19 telah memberi banyak pelajaran berharga, salah satunya terkait tata kelola krisis. Penanganan PMK seharusnya dapat langsung mengadopsi sejumlah hal, termasuk mengenai komunikasi krisis.