Terlalu dini menyebut salah satu negara yang diduga jadi “titik keberangkatan” virus hingga masuk ke Indonesia dan menjangkiti ribuan hewan ternak. Namun, mewabahnya kembali PMK bukan tiba-tiba dan tanpa peringatan
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Tiga bulan sejak penyakit kulit infeksius Lumpy Skin Disease menyerang ratusan sapi di Riau, akhir April 2022 muncul lagi penyakit hewan ternak lainnya. Tak main-main, yang kini ”mampir” adalah penyakit mulut dan kuku, yang amat ditakuti. Penyakit mulut dan kuku atau PMK menyebar dengan sangat cepat serta berdampak pada ekonomi dan perdagangan.
Dua provinsi pertama ditemukannya wabah itu ialah Jawa Timur dan Aceh. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, setidaknya hingga Rabu (11/5/2022) total ada 5.431 hewan ternak terjangkiti PMK di 6 kabupaten, yakni Gresik, Lamongan Sidoarjo, Mojokerto di Jatim serta Aceh Tamiang dan Aceh Timur di Aceh.
Namun, kenyataannya penyebaran virus telah meluas. Hewan ternak terkonfirmasi PMK juga ditemukan di Kabupaten Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Kota Batu di Jatim. Bahkan, juga di sejumlah kabupaten/kota lain di provinsi tetangga seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
PMK pertama kali dikenali di Indonesia pada 1887, di Pulau Jawa. Setelah itu, Indonesia berjuang hingga membebaskan diri dari PMK pada 1986. Indonesia akhirnya diakui sebagai negara Bebas PMK oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) pada 1990.
Dikutip dari situs OIE (kini World Organisation for Animal Health), Indonesia bersama 67 negara lainnya masuk dalam kategori status ”Bebas PMK di Mana Vaksinasi Tak Dilakukan”, berdasarkan Resolusi Nomor 13 yang ditetapkan Mei 2021. Namun, menyusul adanya immediate notification dari delegasi OIE untuk Indonesia terkait wabah PMK di Jatim, status itu ditangguhkan (suspended) terhitung 12 April 2022.
Terdapat lima kategori dalam status resmi PMK oleh OIE. Empat lainnya ialah bebas di mana vaksinasi dilakukan; zona bebas di mana vaksinasi tak dilakukan; zona bebas di mana vaksinasi dilakukan; dan program pengendalian resmi.
Zona Bebas berarti satu negara belum bebas PMK, tetapi di dalamnya terdapat wilayah yang bebas PMK. Malaysia, misalnya, memiliki zona bebas PMK yang meliputi Negara Bagian Sabah dan Serawak (Borneo Malaysia).
Adapun program pengendalian resmi artinya negara itu tidak bebas PMK dan tidak zona bebas PMK, tetapi memiliki program pengendalian resmi yang diakui OIE. India salah satunya. Impor dari negara itu bisa dilakukan dengan sejumlah ketentuan agar komoditas terjamin aman. Sejak 2016, Indonesia mengimpor daging kerbau beku dari India.
Vaksin buatan dalam negeri mulai disiapkan. Sambil menunggu itu, impor vaksin, khususnya untuk diberikan pada hewan terinfeksi segera dilakukan.
Kementan telah menyampaikan bahwa serotipe dari kasus PMK di Indonesia kali ini ialah O dengan strain Ind2001, yang umum beredar di Asia Tenggara. Vaksin buatan dalam negeri mulai disiapkan. Sambil menunggu itu, impor vaksin, khususnya untuk diberikan pada hewan terinfeksi segera dilakukan.
Agaknya terlalu dini untuk menyebut salah satu negara yang diduga menjadi ”titik keberangkatan” virus hingga masuk ke Indonesia dan menjangkiti ribuan hewan ternak. Perlu ada penelusuran epidemiologi. Akan tetapi, mewabahnya kembali PMK, setelah lebih dari 30 tahun diakui sebagai negara bebas, bukannya tanpa peringatan dan wanti-wanti.
Kewaspadaan
Pada 2001, misalnya, wabah PMK pernah menyebar di daratan Inggris dan Irlandia Utara dan memicu kepanikan di berbagai belahan dunia. Sejumlah pihak mengingatkan Indonesia sebagai pangsa pasar strategis bagi negara-negara pemasok hewan dan produk hewan. Jika memang Indonesia harus impor, mesti dilakukan dengan kewaspadaan tinggi.
Seiring waktu, suka tidak suka, kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan pasokan daging sapi dan kerbau dari dalam negeri direspons dengan kebijakan impor untuk mendukung ketersediaan pangan dengan cepat. Hal ini turut ”melonggarkan” kewaspadaan terhadap PMK.
Kesenjangan antara permintaan dengan ketersediaan pasokan daging sapi dan kerbau dari dalam negeri direspons dengan kebijakan impor untuk mendukung ketersediaan pangan dengan cepat. Hal ini turut ”melonggarkan ” kewaspadaan terhadap PMK.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016, sebagai turunan dari Pasal 36E Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menetapkan kebijakan importasi berbasis negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan.
Dengan berbasis zona, dimungkinkan impor dari negara yang memiliki zona bebas PMK meski status negaranya belum dinyatakan bebas PMK. Selain harganya lebih murah, juga dinilai dapat mengurangi ketergantungan pasokan daging dari Australia dan Selandia Baru. Kebijakan impor daging kerbau beku dari India pun diambil.
Akan tetapi, hal itu ditentang oleh para peternak. Pengurus Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), misalnya meminta pemerintah menunda rencana pemasukan daging kerbau india. Alasannya, masih dilakukan uji materi terhadap pasal 36 UU No 41/2014. Selain itu, berisiko besar (Kompas, 15 Juli 2016). Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut. Importasi dengan berbasis zona tetap dilakukan, tetapi dengan catatan, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Pada akhirnya, pilihan diambil pemerintah. Penyediaan pangan berbasis zona untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini juga berkait stabilisasi harga menjelang hari besar keagamaan mengingat harga daging kerap melonjak.
Menurut data BPS pada 2020 ketersediaan daging sapi dan kerbau di Indonesia defisit 294.620 ton karena rendahnya produksi dalam negeri. Jabar menjadi provinsi dengan defisit tertinggi, yakni minus 151.310 ton, disusul DKI Jakarta minus 67.190 ton, dan Banten minus 39.740 ton. Adapun Jatim surplus 18.850 ton.
Keterbukaan informasi akan mempersempit penularan, diikuti penanganan komprehensif. Sebab, jika makin meluas, wabah akan semakin sulit ditangani.
Kini, PMK masuk kembali ke Indonesia, membuat jutaan peternak khawatir. Sebagai langkah darurat dan jangka pendek, tentu pemerintah perlu benar-benar serius serta simultan menangani wabah PMK. Keterbukaan informasi akan mempersempit penularan, diikuti penanganan komprehensif. Sebab, jika makin meluas, wabah akan semakin sulit ditangani.
Untuk jangka panjang, program peningkatan populasi harus terencana dengan baik karena akan membutuhkan waktu puluhan tahun. Bukan sekadar penghitungan per periode masa jabatan. Selain itu, mitigasi kebijakan yang berisiko juga perlu dievaluasi. Kembalinya wabah PMK harus menjadi pelajaran berharga.