Dibayangi Inflasi, Pemulihan Upah Buruh Tidak Merata dan Signifikan
Pemerintah dapat memprioritaskan penyaluran dana bantuan subsidi upah kepada pekerja di daerah-daerah yang masih mengalami penurunan upah rata-rata.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan rata-rata nasional upah buruh di awal tahun ini dinilai belum menunjukkan pemulihan sektor ketenagakerjaan yang berkualitas dan merata. Para pekerja di separuh provinsi di Indonesia masih mengalami penurunan upah, sebagian di bawah standar upah minimum yang berlaku. Kenaikan inflasi yang jauh lebih tinggi pun terus menggerus upah riil buruh dan menekan daya beli warga.
Setelah sempat menurun pada Agustus 2021, data Keadaan Ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (9/5/2022) menunjukkan, rata-rata upah buruh kembali naik 1,12 persen pada Februari 2022. Besaran upah rata-rata bulanan meningkat dari Rp 2,86 juta pada Februari 2021 menjadi Rp 2,89 juta.
Berbeda dengan kondisi pada Agustus 2021, kali ini hampir semua sektor lapangan kerja mencatat kenaikan upah, sementara penurunan upah terpantau di empat sektor, yaitu jasa kesehatan dan kegiatan sosial (-0,29 persen), industri pengolahan (-0,94 persen), administrasi pemerintahan (-1,75 persen), dan jasa pendidikan (-6,5 persen).
Meski demikian, jika ditelisik dari persebaran regionalnya, separuh provinsi di Indonesia masih mengalami penurunan upah rata-rata. Upah di sebagian provinsi juga masih berada di bawah standar upah minimum yang berlaku. Provinsi yang upahnya menurun adalah Aceh (-3,99 persen), Sumatera Barat (-10,39 persen), Riau (-5 persen), Bengkulu (-6,89 persen), Lampung (-3,16 persen), Kepulauan Bangka Belitung (-0,26 persen), dan Kepulauan Riau (-3,9 persen).
Penurunan upah juga terjadi di Jawa Tengah (-2,16 persen), Jawa Timur (-3,63 persen), Banten (-7,91 persen), Nusa Tenggara Barat (-9,03 persen), Nusa Tenggara Timur (-6,21 persen), Kalimantan Tengah (-0,55 persen), Kalimantan Selatan (-7,11 persen), Sulawesi Selatan (-2,47 persen), Maluku Utara (-2,89 persen), dan Papua Barat (-2,83 persen).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, kenaikan upah rata-rata secara nasional tidak bisa menggambarkan kondisi riil ketenagakerjaan. Pemulihan kondisi ketenagakerjaan di setiap daerah tidak sama, tergantung pada sektor utama yang menggerakkan perekonomian daerah terkait.
”Daerah yang menjadi pusat industri dengan investor besar otomatis memiliki tingkat kenaikan upah yang lebih baik pascapandemi. Hal yang sama tidak terjadi di daerah-daerah yang lebih banyak bergantung pada usaha skala kecil-menengah,” papar Faisal, Selasa (10/5/2022).
Hal itu karena pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan kini harus menghadapi tantangan inflasi berupa kenaikan harga bahan baku, bahan bakar minyak (BBM), dan listrik. ”Untuk menjaga operasional usaha saja mereka masih kesulitan, apalagi untuk menaikkan lagi upah pekerjanya,” ujarnya.
Separuh provinsi di Indonesia masih mengalami penurunan upah rata-rata. Upah di sebagian provinsi juga masih berada di bawah standar upah minimum yang berlaku.
Termakan inflasi
Di sisi lain, kenaikan upah rata-rata nasional pada Februari 2022 juga tidak signifikan karena langsung tergerus oleh kenaikan inflasi yang jauh lebih tinggi. BPS mencatat, tingkat inflasi tahunan per April 2022 sudah mencapai 3,47 persen, tertinggi sejak Agustus 2019 dan berada jauh di atas tingkat kenaikan upah rata-rata yang hanya 1,12 persen.
Dari 17 provinsi yang mengalami kenaikan upah per Februari 2022, sebanyak tujuh provinsi mencatat kenaikan upah di bawah tingkat inflasi tahunan nasional. ”Meski upah nominal naik, upah riil pekerja masih termakan kenaikan harga kebutuhan pokok. Apalagi, situasi ke depan akan semakin berat, dengan inflasi sampai akhir tahun yang diperkirakan akan menyentuh angka 4 persen,” kata Faisal.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, pemetaan kondisi pengupahan per wilayah patut dijadikan acuan pemerintah dalam merumuskan kebijakan insentif dan perlindungan sosial, seperti bantuan subsidi upah (BSU) yang masih tertunda sampai hari ini.
Alih-alih memberikan dana BSU secara sporadis dan berpotensi salah sasaran, pemerintah dapat mengarahkan BSU kepada pekerja di daerah yang belum mengalami pemulihan upah. Tentunya, subsidi upah juga perlu dibarengi dengan kebijakan pengendalian inflasi yang terukur agar harga berbagai kebutuhan pokok tidak menjadi semakin liar.
”Mumpung regulasinya belum selesai, wilayah-wilayah yang belum pulih itu bisa diberikan insentif dan stimulus untuk menghidupkan lagi konsumsi serta pergerakan barang dan jasa di daerah terkait. Bantuan Rp 1 juta akan sangat berarti untuk pekerja dengan gaji di bawah upah minimum yang memang membutuhkan,” tuturnya.
Tentunya, subsidi upah juga perlu dibarengi dengan kebijakan pengendalian inflasi yang terukur agar harga berbagai kebutuhan pokok tidak menjadi semakin liar.
Pemulihan UMKM
Faisal menambahkan, untuk memperbaiki upah buruh dan menjaga daya beli warga, insentif kepada UMKM yang belum pulih betul dari dampak pandemi juga harus ditingkatkan. Apalagi, hampir seluruh tenaga kerja Indonesia terserap di sektor UMKM. Selama sektor UMKM belum pulih, kondisi ketenagakerjaan juga tidak akan pulih.
”Yang saat ini pulih dan survive dari dampak pandemi itu kebanyakan baru usaha-usaha besar, setidaknya menengah, sementara usaha mikro dan kecil masih belum. Artinya, pemerintah harus fokus pada insentif bagi kelompok ini karena mereka masih tertatih-tatih pascapandemi dan sekarang harus menghadapi tantangan lain, yaitu inflasi,” tutur Faisal.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemulihan sektor ketenagakerjaan yang kompleks menjadi fokus utama yang sedang dibahas dalam Kelompok Kerja Bidang Ketenagakerjaan (Employment Working Group) di Forum G20. Salah satu solusi yang ditawarkan Indonesia adalah memperkuat pemulihan UMKM sebagai pionir perekonomian negara.
”Semoga solusi ini bisa mendukung kebangkitan ekonomi dari krisis sesegera mungkin dengan memperkuat UMKM sebagai instrumen perluasan kesempatan kerja. Upaya ini bisa didukung dengan mendorong lingkungan usaha yang kondusif, transformasi formalisasi UMKM, serta membangun ketahanan pelaku UMKM,” katanya.