Perlu Ada Kesepahaman Petani dalam Membangun Korporasi
Situasi sekarang dan ke depan, petani dituntut untuk meningkatkan skala usaha sehingga tak bisa hanya mengandalkan usaha individu. Namun, pendampingan yang kuat kepada mereka amat diperlukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korporasi petani yang beberapa kali digaungkan Presiden Joko Widodo hingga kini dinilai belum berjalan optimal. Masih ada sejumlah kendala, di antaranya, ialah belum adanya kesepahaman dari petani sehingga diperlukan pendampingan yang kuat. Kelembagaan ekonomi petani juga perlu dibenahi lebih dulu.
Keinginan mendorong korporasi petani sudah muncul sejak 2017. Presiden Joko Widodo pada 2019 dan 2020 menggelar rapat terbatas tentang Korporasi Petani dan Nelayan dalam rangka mewujudkan transformasi ekonomi. Namun, upaya itu dirasa belum optimal dalam pelaksanaannya (Kompas, 7 Oktober 2020).
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional M Yadi Sofyan Noor saat dihubungi pada Kamis (5/5/2022) mengatakan, membangun korporasi petani tidak semudah yang dibayangkan atau dipikirkan. Masih ada sejumlah kendala dan tantangan yang membuat upaya tersebut sulit dilakukan.
”Agak sulit karena rata-rata petani di Indonesia (menggarap) lahan di bawah 0,5 hektar. Selain itu, yang ditanam pun bervariasi, bukan komoditas yang sama. Maka, menurut saya, perlu diinventarisasi kembali. Kelembagaan ekonomi petani sendiri juga harus dibenahi dulu. Jika tidak seperti itu, rasanya sulit untuk bangun korporasi,” ujar Yadi.
Yadi menambahkan, dalam membenahi kelembagaan ekonomi petani, KTNA akan membangun koperasi induk di tingkat pusat, yang rencananya segera dibentuk di Malang, Jawa Timur, tahun ini. Dimulai dari induk, nantinya akan dibentuk juga di tingkat provinsi. Strategi itu dicoba lantaran jika dimulai dari tingkat bawah, koperasi-koperasi pertanian kerap tak berjalan.
Pihaknya pun bekerja sama dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, termasuk dalam pelatihan pembentukan korporasi. ”Jika sebelumnya cenderung berjalan sendiri-sendiri, saat ini kami akan lebih fokus, termasuk dalam inventarisasi lahan. Dalam membangun korporasi, petani perlu menyamakan persepsi dulu,” katanya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, situasi sekarang dan ke depan, petani memang dituntut untuk meningkatkan skala usaha sehingga tak bisa hanya mengandalkan usaha individu. Saat ini, model usaha tani yang lebih efektif dan efisien menjadi tuntutan, baik dalam menghadapi perusahaan besar maupun persaingan dengan produk-produk impor.
Dari sisi konsep korporasi, yakni dengan menggabungkan unit-unit usaha, memang baik dan diperlukan. ”Namun, perlu diperkuat dalam penyadaran kepada petani dan dalam hal pengorganisasian. Pendampingan yang kuat diperlukan. Petani harus ditempatkan sebagai subyek, bukan sebagai proyek. Pelaksanaannya pun harus konsisten dan berkelanjutan,” ujar Said.
Dalam kerangka korporasi, badan usaha milik desa (BUMDes) bisa saja menjadi pelakunya. Apalagi, kini juga ada BUMDes Bersama. Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun 2022 disebutkan, Dana Desa penggunaannya, antara lain, untuk program ketahanan pangan dan hewani, paling sedikit 20 persen.
Akan tetapi, menurut Said, konsep dasar mesti dipahami dan diadaptasi oleh petani. Dalam hal ini, tak hanya pemerintah pusat, tetapi peran pemerintah daerah dan perguruan tinggi di daerah juga dilakukan. Selain itu, pelaksanaannya mesti secara konsisten serta berkelanjutan sehingga tak hanya menjadi proyek yang kemudian ditinggal begitu saja.
Pinjaman luar negeri
Sementara itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian bersama Kementerian Keuangan dan Bank Dunia telah melaksanakan negosiasi pinjaman luar negeri bertajuk ICARE (Integrated Corporation of Agricultural Resources Empowerment).
ICARE ialah program pengembangan kawasan berbasis komoditas pilihan dengan mengedepankan pemanfataan dan potensi kawasan dengan komoditas yang terintegrasi dan mendukung pengembangan kelembagaan petani. ”Sehingga menjadi kuat dalam sebuah korporasi petani,” kata Bram Kusbiantoro, selaku Tim Unit Persiapan Pengelolaan ICARE, dikutip dari situs Balitbangtan Kementan, Jumat (29/4/2022).
Sekretaris Balitbangtan Kementan Haris Syahbuddin mengatakan, dalam program itu, kawasan dipilih dengan potensi komoditas yang sudah berkembang serta didukung oleh off-taker yang mampu berkembang lebih cepat. Program ICARE sejalan dengan proyek Sustainable Management of Agricultural Research and Technology Dissemination (SMARTD) yang sebelumnya juga mendapat pendanaan dari Bank Dunia.
Program ICARE akan dilaksanakan di sejumlah provinsi di Indonesi, yakni Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Konsentrasi komoditas pilihan ialah kopi, kambing, kentang, domba, padi, pisang, jeruk, jagung, ayam KUB (Kampung Unggul Balitbangtan), kelapa, kakao, sapi potong, dan sapi perah.