Masih Bekerja Saat Libur, Pekerja Berhak Atas Upah Lembur
Pengusaha yang tetap mempekerjakan buruh pada hari libur resmi karena kondisi tertentu wajib membayarkan upah kerja lembur. Semakin lama seseorang bekerja saat libur, semakin besar pula besaran upah lemburnya.
Oleh
AGNES THEODORA,
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Setelah dua tahun “berpuasa” libur panjang akibat pandemi, hampir semua pekerja bisa kembali menikmati libur dan cuti bersama Lebaran sampai berhari-hari tahun ini. Namun, tidak semua orang bisa menikmati liburan panjang karena faktor tuntutan pekerjaan. Mereka yang kurang beruntung itu berhak mendapat kompensasi upah lembur.
Hak tersebut tercantum di Pasal 85 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Aturan itu dikecualikan untuk beberapa jenis pekerjaan yang harus dijalankan secara terus-menerus atau berdasarkan kondisi dan kesepakatan tertentu antara pekerja dengan pengusaha.
Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor KEP-233/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Terus-Menerus, beberapa jenis pekerjaan itu antara lain pelayanan jasa kesehatan, jasa transportasi, media massa, pengamanan, pariwisata, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan bahan bakar minyak, pekerjaan di pusat perbelanjaan/swalayan, serta pekerjaan lain yang jika dihentikan dapat mengganggu proses produksi dan merusak bahan.
Pengusaha yang tetap mempekerjakan buruh pada hari libur resmi karena kondisi khusus tersebut wajib membayarkan upah kerja lembur. Adapun rumus penghitungan upah lembur di hari libur nasional itu diatur secara detail lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Secara garis besar, perhitungan upah lembur dihitung berdasarkan total jam kerja karyawan bersangkutan pada hari libur, upah bulanannya, dan waktu kerja normalnya dalam seminggu. Semakin lama seseorang bekerja saat libur, semakin besar pula besaran upah lemburnya.
Seseorang dengan waktu kerja 6 hari kerja dan 40 jam seminggu akan mendapat upah lembur 2 kali upah sejam jika ia bekerja selama 1-7 jam saat hari libur. Kalau yang bersangkutan bekerja sampai delapan jam, bayarannya 3 kali upah sejam, dan seterusnya. Adapun untuk seseorang dengan waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu, ketentuan bayaran upah lemburnya adalah 2 kali upah sejam jika ia bekerja selama 1-8 jam dan terus berlipat ganda sampai seterusnya.
Sebagai contoh, seorang pekerja dengan upah bulanan Rp 4 juta dan waktu kerja 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu terpaksa bekerja lembur selama 7 jam saat hari-H Lebaran. Sesuai rumus yang diatur dalam PP 35/2021, upah lembur yang berhak didapatkan pekerja itu adalah Rp 323.699.
Aturan ini sempat diunggah akun resmi Instagram Kementerian Ketenagakerjaan pada Minggu (1/5/2022) sampai Selasa (3/5/2022). Rangkaian unggahan itu pun sontak mengundang komentar warganet. Ada yang mengeluh tidak dibayarkan uang lembur, ada yang hanya diganti hari libur tetapi tidak diberi uang lembur, ada yang bertanya-tanya jika aturan itu ikut berlaku untuk pekerja kontrak dan alihdaya atau hanya untuk pekerja tetap, tidak sedikit pula yang baru tahu soal ketentuan itu.
Semakin lama seseorang bekerja saat libur, semakin besar pula besaran upah lemburnya.
Tidak semua tahu
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Rabu (4/5/2022) mengatakan, hak upah lembur jika bekerja di hari libur nasional ini kerap kali tidak diketahui pekerja. Kalaupun tahu, tidak banyak yang mengerti bagaimana cara menghitung besaran upah lemburnya. “Padahal, upah lembur saat libur nasional itu lebih besar daripada hitungan upah lembur biasa,” katanya.
Menurut dia, selama ini, sebagian perusahaan sudah menjalankan peraturan itu, meski tidak sedikit pula yang tidak melakukannya. Hal itu kerap tergantung pada peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku di perusahaan bersangkutan. Ada usaha dengan sifat pekerjaan tertentu yang memang tidak mengatur tentang perjanjian upah lembur.
Sementara, untuk perusahaan yang tidak menjalankannya kendati wajib, hal itu menjadi satu dari sekian banyaknya persoalan pemenuhan hak normatif buruh dalam hubungan industrial. “Kembali berpulang ke pengusahanya, mau tidak menjalankan itu, lalu buruhnya tahu tidak ada peraturan itu. Jangankan upah lembur Lebaran, soal THR saja kita harus terus perjuangkan setiap tahun karena tidak selalu dibayarkan sesuai aturan,” ujar Elly.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Adi Mahfudz mengatakan, pembayaran upah lembur untuk pekerja yang bekerja saat libur nasional itu sudah menjadi praktik lazim yang dilakukan perusahaan. Menurutnya, sebagian besar perusahaan menyanggupi pembayaran upah lembur itu dan tidak memandangnya sebagai beban.
Jangankan upah lembur Lebaran, soal THR saja kita harus terus perjuangkan setiap tahun karena tidak selalu dibayarkan sesuai aturan.
“Upah lembur untuk hari libur resmi harus tetap dibayarkan sesuai regulasi. Pengusaha harus menyanggupi itu sebagai konsekuensi karena sudah mengadakan lembur di saat libur,” kata Adi.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, jika perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membayar upah lembur bagi pekerja yang bekerja saat libur, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana. Hal itu tertera dalam Pasal 187 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni sanksi pidana kurungan paling singkat sebulan dan paling lama 12 bulan, serta denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak 100 juta.
Adapun terkait pembayaran tunjangan hari raya (THR) keagamaan, sampai dua hari setelah Lebaran, Kemenaker sudah mengeluarkan nota pemeriksaan atau surat teguran pertama terhadap 10 perusahaan yang diadukan di Jawa Barat (dua pengaduan) dan Jawa Tengah (delapan pengaduan).
Sampai 3 Mei 2022, Posko Pemantauan THR Kemenaker telah menerima total 5.589 laporan yang terdiri dari 2.586 laporan konsultasi dan 3.003 laporan pengaduan. Sebanyak 833 perusahaan tidak membayarkan THR sama sekali, 695 perusahaan tidak membayar THR sesuai ketentuan, dan 208 perusahaan terlambat membayarkan THR.
Anwar mengatakan, sebanyak 72 laporan sudah ditindaklanjuti dan 1.664 laporan msaih berproses. Sesuai Pasal 79 PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada sanksi bertahap yang diberikan kepada pengusaha yang tidak membayar THR atau membayar THR tetapi tidak sesuai ketentuan. "Mulai dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, sampai pembekuan kegiatan usaha," katanya.