Pencabutan Izin Mundur dari Target, Pengusaha Diberi Ruang Klarifikasi
Proses pencabutan izin usaha pertambangan terpaksa mundur dari target karena pemerintah ingin berhati-hati. Areal yang izinnya sudah dicabut kelak akan didistribusikan ke sejumlah kelompok prioritas mulai Mei 2022.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan 2.078 izin usaha pertambangan atau IUP bermasalah yang awalnya direncanakan rampung pada April 2022 mundur dari target. Sebelum lahan dialihkan dan didistribusikan ke pihak lain, pemerintah memutuskan memberikan ruang klarifikasi kepada pelaku usaha tambang yang keberatan izin usahanya dicabut.
Kementerian Investasi mencatat, per 24 April 2022, dari total 2.078 IUP bermasalah dengan total luas 3,2 juta hektar yang direkomendasikan pencabutannya pada Januari 2022 lalu, pemerintah sudah menandatangani pencabutan IUP sebanyak 1.118 IUP dengan total luas areal lahan 2,7 juta hektar.
Secara rinci, usaha tambang yang izinnya dicabut terdiri dari batubara (271 IUP dengan luas 914.136 hektar), timah (237 IUP dengan luas 374.031 hektar), nikel (102 IUP dengan luas 161.254 hektar), emas (59 IUP dengan luas 529.869 hektar), bauksit (50 IUP dengan luas 311.294 hektar), tembaga (14 IUP dengan luas 51.563 hektar), dan mineral lainnya (385 IUP dengan luas 365.296 hektar).
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Senin (25/4/2022), di Jakarta, mengatakan, masih ada 960 IUP lainnya yang perlu diproses pencabutannya. Pencabutan terpaksa mundur dari target yang seharusnya dirampungkan pada April 2022 karena pemerintah perlu berhati-hati dalam mencabut izin usaha.
”Seharusnya target dari Presiden memang rampung bulan ini, tetapi karena kita harus hati-hati, kita harus cek betul, maka kemungkinan butuh waktu sampai bulan depan. Targetnya, bulan depan, sudah harus clear ini semua,” kata Bahlil.
Bahlil menambahkan, Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi tidak ingin pencabutan IUP tersebut menjadi kontraproduktif terhadap iklim usaha. Satgas ingin betul-betul memastikan bahwa usaha yang dicabut izinnya itu betul-betul memenuhi syarat.
Antara lain, masa berlaku izin usaha terkait sudah habis, izin tak kunjung direalisasikan, pemilik usaha tidak jelas, perusahaan dinyatakan sudah pailit, izin hanya digunakan sebagai jaminan di bank tetapi tidak direalisasikan, pengusaha yang sudah mendapat IUP tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan tidak mengurus rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), dan lain sebagainya.
Kalau ternyata mereka bisa membuktikan sebaliknya, satgas harus kembalikan lagi hak-haknya. Tetapi, kalau memang benar, langsung dicabut.
Untuk itu, pemerintah pun akan memberikan ruang klarifikasi kepada pelaku usaha yang keberatan izin usahanya dicabut. Sejauh ini, ada 226 perusahaan yang menyatakan keberatannya. Dari jumlah tersebut, 160 perusahaan telah diundang untuk melakukan klarifikasi dan 144 perusahaan hadir untuk memberi klarifikasi.
Mereka diminta menyiapkan dokumen pendukung, bukti pemenuhan kewajiban, serta justifikasi terkait kegiatan usaha terkait yang izinnya dicabut. “Kalau ternyata mereka bisa membuktikan sebaliknya, satgas harus kembalikan lagi hak-haknya. Tetapi, kalau memang benar, langsung dicabut. Kami tidak ingin pakai kacamata kuda,” kata Bahlil.
Distribusi harus tepat
Kementerian Investasi pun menargetkan memulai pendistribusian areal IUP yang sudah dicabut pada Mei 2022. Izin usaha yang sudah dicabut itu akan dialihkan ke beberapa kelompok prioritas, seperti organisasi masyarakat, tempat ibadah atau organisasi agama, badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), koperasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah.
“Jangan sampai pemilik IUP ini semua berkantor di Jakarta. Penataan ini kita lakukan supaya percepatan investasi dan dampaknya terhadap perekonomian daerah bisa terjadi, agar asas keadilan terpenuhi. Tugas negara memastikan dengan strategi yang tepat agar pemerataan kue ekonomi bisa terjadi,” ujarnya.
Untuk saat ini, belum ada distribusi IUP yang dilakukan karena pemerintah masih pada fase memproses pencabutan. ”Kita belum sampai pada fase pembagian. Kita cabut dulu, lalu memberi kesempatan pada pengusaha untuk klarifikasi. Ketika sudah dinyatakan clean and clear, baru kita bagi. Jangan kita membagi-bagi barang yang masih berperkara,” kata Bahlil.
Secara terpisah, Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, pencabutan IUP ini perlu dijadikan momentum untuk bertransformasi meninggalkan sektor pertambangan yang selama ini menghasilkan emisi karbon tinggi dan berdampak buruk pada lingkungan.
Pencabutan IUP perlu dijadikan momentum untuk bertransformasi meninggalkan sektor pertambangan yang selama ini menghasilkan emisi karbon tinggi dan berdampak buruk pada lingkungan.
Hal terpenting yang perlu diperhatikan pemerintah setelah pencabutan izin dirampungkan adalah mekanisme distribusi serta penentuan pengalihan izin. Distribusi izin hasil pencabutan harus betul-betul ditujukan pada sektor pengganti dan pihak pengelola yang tepat untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah terkait.
”Dari pencabutan IUP ini, harus ada transformasi struktur ekonomi dari pertambangan menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan, lebih bernilai tambah, dan produktif. Misalnya, apakah nanti lahan eks tambang ini dapat dialihkan untuk mengelola energi baru dan terbarukan,” kata Heri.
Seiring dengan itu, perlu ada pula program pendampingan terhadap masyarakat di daerah setempat, khususnya yang selama ini bergantung pada sektor pertambangan terkait yang izin usahanya dicabut.
“Perlu kehati-hatian agar jangan sampai nantinya transformasi yang dilakukan ini memunculkan banyak pengangguran. Harus ada persiapan untuk membangun sektor pengganti, termasuk menyesuaikan keahlian masyarakat setempat yang selama ini terbiasa dengan pertambangan agar lebih adaptif terhadap sektor baru,” kata Heri.