Harapan di Balik Pencabutan Izin
Pencabutan lebih dari 2.000 izin usaha dipandang tidak sepenuhnya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa pencabutan itu serius.
Berbagai tanggapan dan sikap kritis masyarakat sipil terus disampaikan sejak pemerintah mengumumkan pencabutan lebih dari 2.000 izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan pada 6 Januari 2021. Apalagi, pencabutan itu diumuman langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor dengan didampingi para pembantunya.
Keputusan di pekan pertama awal 2022 itu cukup mengejutkan, terutama di kalangan usaha. Meski sejumlah pihak masyarakat sipil menilai angka luasan yang dicabut, terutama pada izin perkebunan, masih sangat kecil.
Presiden Joko Widodo saat itu menyebutkan ada 2.078 izin pertambangan mineral dan batubara, 192 izin kehutanan, dan 137 izin perkebunan yang dicabut oleh pemerintah. Pencabutan dilakukan karena izin-izin yang diterbitkan tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan.
Saat penyampaian pencabutan izin tersebut, Presiden juga didampingi empat menteri yang memiliki tugas dan fungsi mengelola sumber daya alam. Mereka, di antaranya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, serta Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra sebelumnya juga menyatakan, sebagian lahan akan didistribusikan ke masyarakat lokal dan sebagian lainnya ke perusahaan yang kredibel.
Presiden menyatakan, pencabutan ini merupakan bentuk upaya pemerintah dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Melalui perbaikan ini, diharapkan terjadi pemerataan dan transparansi untuk mengoreksi ketidakadilan dan kerusakan alam.
Selama ini, data dan implementasi di lapangan memang menunjukkan tata kelola sumber daya alam di Indonesia masih buruk. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Januari 2022 terdapat 5.273 izin usaha pertambangan (IUP). Namun, dari jumlah tersebut, hanya 2.533 IUP atau sekitar 40 persen yang dinyatakan memenuhi ketentuan dan masih berlaku di basis data, sedangkan 2.741 IUP lainnya tercatat belum sepenuhnya memenuhi ketentuan.
Pemerintah pun memutuskan mencabut 2.078 IUP yang terdiri dari 1.776 perusahaan mineral dan 302 perusahaan batubara yang tersebar di 22 provinsi. Luas areal lahan pertambangan yang dicabut mencapai 3,2 juta hektar.
Dari sektor kehutanan, 192 izin usaha yang akan dicabut tercatat menguasai lahan seluas 3,1 juta hektar. Hal ini sekaligus menambah catatan pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Pada periode September 2015 hingga Juni 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mencabut 42 izin konsesi kawasan hutan seluas 812.796 hektar.
Sementara di sektor perkebunan, pemerintah akan mencabut 137 izin dengan luas mencapai 34.000 hektar. Tindakan tegas mencabut izin perusahaan perkebunan sawit juga telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat, pada 2021. Pemkab Sorong mencabut 14 izin konsesi sawit dengan luasan mencapai lebih dari 200.000 hektar.
Baca juga :Pencabutan Izin Usaha Belum Transparan
Hasil evaluasi dari berbagai pihak tersebut menunjukkan, perusahaan sawit yang dicabut izinnya tidak menjalankan kewajibannya seperti pengembangan kebun plasma hingga mengurus persyaratan hak guna usaha. Bahkan, beberapa perusahaan sudah tidak ada aktivitas dan tidak memiliki dokumen apapun yang tercatat di Pemkab Sorong.
Konflik di masyarakat
Tata kelola di sektor perkebunan juga paling banyak mendapat sorotan karena kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sektor perkebunan adalah penyebab konflik agraria tertinggi setiap tahunnya.
Salah satu lokasi perkebunan sawit di pinggir jalur trans Kalimantan di Kalimantan Barat, awal Desember 2021.
Data terakhir KPA sepanjang 2021, terdapat 74 konflik agraria di sektor perkebunan. Dari jumlah tersebut, 59 kasus di antaranya terjadi di perkebunan swasta dengan luas mencapai 255.000 hektar dan 15 kasus lainnya di perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tipologi konflik agraria perkebunan tersebut di sektor sawit 59 kasus, kelapa (4), kopi (4), karet (3), dan satu kasus masing-masing di sektor tebu, bawang, atsiri, serta sengon.
Kepala Kampanye Anti Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko menyatakan, pencabutan izin usaha khususnya di sektor kehutanan belum sepenuhnya menjawab tuntutan masyarakat yang berkonflik. Sebab, dilihat dari alasan pencabutan izin tersebut, pemerintah hanya melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan-kemudahan izin yang transparan dan akuntabel.
Di sisi lain, pemerintah tidak mencabut izin usaha dengan alasan perusahaan tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan atau berkonflik dengan masyarakat. Hadi pun menyimpulkan, pencabutan izin ini bukan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup, tetapi lebih ke tarik menarik kekuasaan tata kelola sumber daya alam.
Dari analisis yang dilakukan Walhi, pencabutan lebih dari 2.000 izin usaha tersebut memiliki sejumlah indikasi kepentingan. Beberapa indikasi tersebut, antara lain, untuk melepaskan tanggung jawab perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mempercepat pengerukan sumber daya alam, mengalihkan izin kepada pihak lain melalui mekanisme bank tanah, hingga konsolidasi serta modal politik 2024.
Adanya indikasi kepentingan di balik pencabutan izin usaha ini juga disampaikan Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar. Menurut Melky, pencabutan izin ini hanya berbasis administratif dan tertutup karena tidak membuka seluruh data secara detail ke publik. Pencabutan izin juga belum menyentuh perusahaan besar yang memiliki catatan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.
Baca juga :Pencabutan Izin Usaha Dinilai Belum Atasi Ketimpangan Penguasaan Lahan
Melky menilai, seluruh fakta ini mengindikasikan pencabutan izin penuh transaksional khususnya sebagai konsolidasi oligarki politik dan ekonomi menuju kontestasi Pemilihan Umum 2024. Tidak adanya ketegasan dari pemerintah dalam mencabut perusahaan yang memiliki catatan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan juga mengindikasikan negara cenderung dikendalikan oligarki tambang.
Redistribusi
Guna mencegah terjadinya berbagai indikasi kepentingan ini, Hadi merekomendasikan agar hutan dan lahan yang beban izinya telah dicabut tidak kembali dilelang ke perusahaan. Hutan dan lahan yang rusak akibat aktivitas perizinan juga perlu segera dipulihkan dan dibagikan kepada rakyat atau redistribusi.
Selain itu, izin yang masuk dalam tahapan evaluasi juga harus segera dilakukan pencabutan dengan tidak melepaskan tanggung jawab perusahaan untuk memulihkan lingkungan hidup dan hak rakyat. Pemerintah harus menjadikan pencabutan dan evaluasi izin ini sebagai agenda tetap serta berkala secara transparan dengan indikator yang jelas. Pemerintah jangan hanya mencabut izin perusahaan yang tidak mengelola lahannya, tetapi juga yang berkonflik dengan masyarakat dan merusak lingkungan.
Hadi menegaskan, masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri. Penguasaan daratan dan laut oleh korporasi secara masif tidak hanya akan menimbulkan konflik agraria, tetapi juga dampak lingkungan termasuk bencana ekologis.
Data yang dihimpun Walhi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana ekologis di Indonesia cenderung mengalami tren peningkatan setiap tahunnya. Sepanjang 2017-2021, telah terjadi 737 kejadian banjir, 651 puting beliung, 577 tanah longsor, serta 96 kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pohon yang ditebang untuk pembukaan perkebunan tanaman penghasil minyak atsiri oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai di Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada Oktober 2021. Pembukaan lahan ini menuai polemik di tengah masyarakat.
”Dampak bencana ekologis pada 2021 terhadap masyarakat jauh lebih luas dibandingkan tahun 2020. Bencana ekologis ini terhubung langsung dengan krisis iklim yang ditandai dengan meningkatnya kejadian puting beliung dan gelombang abrasi,” ujarnya.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah akan mendistribusikan areal yang telah dicabut izinnya ke pihak lain yang lebih kredibel dan bersungguh-sungguh dalam mengelola sumber daya alam setelah semua proses pencabutan izin selesai dilakukan. Pihak itu bisa dari perusahaan, kelompok masyarakat adat, organisasi keagamaan, badan usaha milik daerah (BUMD), hingga koperasi.
”Pencabutan ini merupakan bentuk penataan yang dilakukan oleh pemerintah untuk didistribusikan kepada pelaku usaha di daerah yang memiliki kompetensi. Kami tidak mau izin-izin yang diberikan hanya jadi kertas di bawah bantal atau dibawa lagi untuk mencari investor yang pada akhirnya tidak bisa terealisasi,” kata Bahlil.
Baca juga :Areal Pencabutan Izin Perusahaan Akan Didistribusikan
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra sebelumnya juga menyatakan, sebagian lahan akan didistribusikan ke masyarakat lokal dan sebagian lainnya ke perusahaan yang kredibel. Skema dan ketentuan distribusi lahan ini secara detail masih dibahas oleh kementerian/lembaga terkait.
Surya memastikan, upaya membenahi tata kelola lahan tidak akan berhenti pada pencabutan izin perusahaan yang dilakukan saat ini. Ke depan, diharapkan pencabutan izin akan terus dilakukan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya.
“Salah satu strategi evaluasi izin perusahaan yang dilakukan saat ini ialah untuk menyediakan ruang atau lahan. Menyediakan obyek berupa tanah ini yang masih menjadi tantangan. Setelah obyeknya ada, barulah dilakukan reforma agraria,” ucapnya.
Kini obyeknya telah ada melalui pencabutan izin-izin usaha tersebut. Tinggal redistribusi lahan dijalankan untuk mulai mengatasi ketimpangan lahan yang berlarut-larut.
Obyek yang di kawasan hutan, pemerintah bisa menerbitkan izin perhutanan sosial bagi masyarakat adat dan masyarakat marginal di dalam maupun di sekitar lokasi itu. Bukankah rezim ini pernah berjanji akan menyediakan areal perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar?