Peran Bulog Akan Diperluas untuk Jaga Cadangan Komoditas Pangan Strategis
Badan Pangan Nasional akan mengoptimalkan peran Bulog untuk memperkuat cadangan pangan nasional selain beras, jagung, dan kedelai. Badan Pangan Nasional juga diharapkan dapat menghimpun data pangan secara terpusat.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna menjaga stabilisasi pasokan dan harga berbagai komoditas pangan strategis, Badan Pangan Nasional yang baru resmi dibentuk akan memaksimalkan peran Perum Bulog. Selain menangani tiga komoditas utama, yakni beras, jagung, dan kedelai seperti sekarang, Bulog juga akan ditugaskan menjaga cadangan untuk komoditas pangan lainnya.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2016 tentang Badan Pangan Nasional, ada sembilan komoditas pangan yang berada di bawah kewenangan Badan Pangan Nasional, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging unggas, daging ruminansia, dan cabai.
Pelaksana Tugas Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional Risfaheri menjelaskan, peran Bulog dan BUMN pangan lainnya, seperti ID Food, akan dioptimalkan sebagai operator untuk memperkuat cadangan pangan nasional. ”Dengan ketersediaan stok yang cukup, kita bisa lebih mudah melakukan langkah stabilisasi pasokan dan harga ketika terjadi gejolak di pasar,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (14/4/2022).
Berkaca dari beras sebagai komoditas yang pasokan dan harganya paling stabil, Badan Pangan Nasional berencana memperluas penugasan untuk Bulog. Tidak hanya mengurusi cadangan padi, jagung, dan kedelai, Bulog juga akan ditugaskan menyerap dan menyalurkan enam komoditas pangan lain, bersama dengan ID Food atau BUMN pangan lain.
Peran BUMN akan dioptimalkan sebagai pembeli (off-taker) hasil produksi petani dan peternak dalam negeri, serta sebagai pemasok ke pedagang pasar. Dengan demikian, hasil tani dan ternak terserap dan para pedagang mendapat pasokan dengan harga yang lebih stabil. Kemitraan antara BUMN dengan petani, peternak, dan pedagang pasar juga diharapkan lebih kuat.
”Kalau kita ingin pasokan dan harga komoditas lain juga stabil, kita tentu harus memiliki cadangan nasional, seperti halnya beras. Semakin banyak BUMN yang bisa kita galang untuk menjaga stabilitas pangan ini, semakin baik,” kata Risfaheri.
Adapun skema pembagian tugas untuk Bulog dan ID Food saat ini masih digodok. Sesuai dengan Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, tugas utama Bulog adalah tetap menjaga cadangan untuk beras, jagung, dan kedelai. Namun, Bulog juga akan menjalankan fungsi stabilisator sekaligus fungsi komersial untuk komoditas lainnya.
”Prioritasnya tetap tiga komoditas itu, sesuai kewajiban. Untuk komoditas lain, Bulog juga ikut menjaga stabilitas harga. Tetapi, prinsipnya tetap fleksibel. Kalau tidak tertangani semua, kita bisa manfaatkan BUMN lain,” katanya.
Jangan sampai, dengan perluasan peran itu, tanggung jawab Bulog dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, jagung dan kedelai menjadi terganggu.
Skala prioritas
Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Jangkung Handoyo Mulyo berpendapat, perluasan peran Bulog tetap perlu dilakukan dengan berhati-hati. Terutama di tengah tahap transisi kelembagaan dari kementerian teknis yang selama ini mengurusi penugasan pangan ke Badan Pangan Nasional.
Menurut Jangkung, Badan Pangan Nasional tetap perlu membuat skala prioritas dengan melihat kemampuan sumber daya yang dimiliki Bulog. Jangan sampai, dengan perluasan peran tersebut, tanggung jawab Bulog dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, jagung, dan kedelai menjadi terganggu.
”Yang sudah ada harus kita pertahankan, terutama beras, yang bukan hanya menjadi komoditas ekonomi, tetapi juga politik. Keberhasilan beras bisa direplikasi ke pangan strategis lain, tetapi dengan perhitungan tertentu. Jangan sampai apa yang selama ini sudah dicapai, karena banyak penugasan lain, kualitasnya jadi menurun,” katanya.
Ia mengusulkan, Badan Pangan Nasional dapat membagi tugas antara Bulog dan ID Food berdasarkan jenis komoditas. Dengan demikian, akan lebih mudah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja masing-masing lembaga. Penugasan juga bisa diberikan secara terukur sesuai dengan kapasitas tiap lembaga. Opsi kedua adalah pembagian tugas berdasarkan regional/kawasan. Namun, pengawasannya akan lebih rumit dilakukan.
Jangkung juga menyoroti pentingnya dukungan penuh ke Bulog untuk mengelola berbagai cadangan pangan tersebut, khususnya dari segi kecukupan anggaran. ”Harus difasilitasi penuh oleh pemerintah karena mulai dari pengadaan, pengelolaan di gudang, sampai penyaluran, itu butuh biaya besar. Agar perluasan tugas itu efektif dilakukan, budgeting harus difasilitasi sepenuhnya,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Pembinaan dan Pendidikan Pedagang Pasar DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Choirul Furqon mengatakan, neraca pangan nasional yang berbasis data tunggal dibutuhkan untuk mengatasi persoalan pasokan dan harga pangan di pasar.
Saat ini, data pangan nasional dinilai masih semrawut dan tidak satu pintu. Padahal, selama data belum terpusat, pengambilan kebijakan juga akan ikut berantakan. Menurut dia, pemerintah perlu memusatkan data ke Badan Pangan Nasional sebagai satu-satunya lembaga yang menghimpun data ketersediaan pangan nasional agar tidak terjadi lagi tumpang tindih data antarlembaga.
Saat ini, data pangan nasional dinilai masih semrawut dan tidak satu pintu. Padahal, selama data belum terpusat, pengambilan kebijakan juga akan ikut berantakan.
”Kalau ini dilakukan, tentu pemerintah juga akan lebih dipermudah dalam proses perumusan kebijakan pangan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Jangkung. Menurut dia, selain sumber data yang tunggal, neraca pangan nasional juga harus memastikan kualitas data yang dipakai. Data yang dipakai harus bersifat sahih/valid dan mutakhir. ”Harus betul-betul merepresentasikan gambaran sesungguhnya di lapangan. Karena data ini akan dianalisis dan digunakan sebagai input kebijakan pangan nasional,” kata Jangkung.
Kehadiran neraca pangan nasional dengan data tunggal yang sahih itu juga akan mengurangi kegaduhan seputar impor. Jangkung mengatakan, jika ada neraca pangan yang datanya selalu diperbarui dan menggambarkan kondisi riil, kebijakan impor akan lebih terukur dan rasional. ”Tidak perlu lagi ada gaduh-gaduh setiap tahun tentang perlu tidaknya impor karena tinggal mengacu pada neraca pangan,” ujarnya.