Jadi Operator Badan Pangan, Bulog Didorong Lebih Fleksibel
Perum Bulog, sebagai operator Badan Pangan Nasional, diharapkan lebih dinamis dalam mengelola pangan. Tak hanya beras, Bulog diharapkan menangani bahan pangan pokok lainnya sebagaimana diatur dalam regulasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perum Bulog, sebagai operator Badan Pangan Nasional, didorong agar tidak hanya terfokus pada komoditas beras, tetapi juga bahan pangan lain sesuai regulasi tentang badan tersebut. Bulog yang selama ini lebih dinilai statis juga didorong fleksibel dalam mengelola pangan dengan sistem yang dinamis.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Pada Pasal 29 Perpres 66/2021 disebutkan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang BUMN menugaskan kepada Kepala Badan Pangan Nasional untuk memutuskan penugasan Perum Bulog. Hal itu dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Muhammad Firdaus, saat dihubungi, Rabu (23/3/2022), mengatakan, setelah Kepala Badan Pangan Nasional dilantik, tim dari IPB University langsung menyampaikan hasil kajian. Salah satunya, Bulog harus menjadi operator sembilan bahan pangan, sesuai Perpres.
"Berarti, Bulog tidak hanya menangani beras. Kami juga sudah merekomendasikan beberapa (volume) cadangan pangan untuk setiap komoditas. Namun, karena bebannya akan bertambah, cadangan beras tidak perlu di atas 1 juta ton. Cukup, misalnya, 500.000-600.000 ton, tetapi diberi kewenangan untuk mengelola secara dinamis," kata Firdaus.
Selama ini untuk cadangan beras pemerintah, Bulog tak boleh mengeluarkannya, kecuali dengan perintah dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas). Seringkali, lanjut Firdaus, Bulog menyimpan beras dalam waktu lama sehingga terjadi kerusakan dan akhirnya terbuang karena harus dimusnahkan.
Akan tetapi, dengan fleksibilitas yang dimiliki, Bulog dapat mengelola secara dinamis berdasarkan rekomendasi. "Dengan jumlah beras yang lebih sedikit, maka Bulog bisa mengalihkan sumber dayanya ke komoditas lain, termasuk kedelai dan jagung. Itu bisa dikelola secara closed loop (kemitraan hulu-hilir), resi gudang, dan sebagainya. Dengan tidak menyimpan beras dalam jumlah banyak, Bulog juga tak perlu impor," ujar Firdaus.
Dengan sistem dinamis tersebut, kata Firdaus, beban APBN akan sangat berkurang. Namun, dengan tetap sebagai Perum yang bertugas mengelola cadangan pemerintah, Bulog tetap berhak mendapat APBN. Dengan sistem tersebut, sistem reimbursement atau pembayaran dalam operasional Bulog juga tidak akan digunakan lagi.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian, di kompleks Parlemen, Selasa (22/3/2022) Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, penyaluran cadangan beras pemerintah (CBP), maupun pemusnahan beras rusak, sudah terlaksana. Namun, yang masih belum jelas yakni terkait keterlambatan atau penundaan kepastian pembayarannya.
Salah satu kesimpulan rapat itu adalah Komisi IV DPR meminta Kementerian Keuangan membayar tagihan pelepasan stok cadangan beras pemerintah kepada Perum Bulog sebesar Rp 185,8 miliar. Dengan demikian, Bulog dapat beroperasi serta melakukan tugas dan fungsinya sebagai stabilisator pasokan dan harga pangan pokok nasional. Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian diminta menyelesaikan administrasi penagihan dan pembayaran atas tagihan Bulog.
Khawatir impor
Dalam rapat tersebut, Budi memastikan ketersediaan cadangan beras untuk kebutuhan nasional aman. Dalam menghadapi kebutuhan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri pun beras dipastikan mencukupi.
Akan tetapi, persoalannya saat ini Bulog kesulitan menyerap gabah petani. "Hari ini panen di mana-mana. Panen beras. Bulog tak bisa mengambil karena kami HPP (harga pokok pembeliannya)-nya Rp 4.300 (per kg) untuk gabah kering panen (GKP), sedangkan di lapangan sekarang gabah dibeli swasta Rp 4.700-4.800 (per kg GKP)," kata Budi.
Menurut Budi, di satu sisi, pihaknya senang karena para petani diuntungkan dengan kondisi tersebut (dibeli dengan harga baik). Artinya, beras banyak diserap swasta dan tak akan kekurangan beras. Namun, jika yang ditentukan nanti cadangan beras pemerintah (CBP), misal 1,5 juta ton, tak mungkin diserap oleh Bulog.
"Saya hanya takut, bahwa begitu Bulog tak bisa serap (beras untuk) CBP, kita dipaksa untuk impor. Mau tidak mau. Karena ini CBP, cadangan pemerintah yang ditentukan oleh negara. Kalau sudah ditentukan harus impor, ini menjadi masalah baru lagi karena akan mematikan petani lagi. Produksi yang luar biasa ini akan dipatahkan oleh impor," ujarnya.
Kendati demikian, Budi berharap hal tersebut tak terjadi. Saat ini, Bulog tetap menyerap beras petani, tetapi tidak dalam bentuk CBP, melainkan komersial.
Dalam rapat itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memastikan 12 pangan strategis, yakni beras, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai merah keriting, cabai rawit merah, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, gula konsumsi, dan minyak goreng aman stoknya hingga Mei 2022 atau setelah Lebaran atau bahkan hingga akhir Desember 2022.
Beras, misalnya, merupakan komoditas yang ketersediannya paling aman. Berdasarkan data prognosa neraca komoditas pangan strategis Kementerian Pertanian Januari-Mei 2022, dengan juga memperhitungkan panen raya, stok pada akhir Mei 2022 diperkirakan 9,8 juta ton. Sementara pada akhir 2022 stok beras stok beras diperkirakan 7,5 juta ton.
"Ketersediaan relatif aman. (Kebutuhan beras) Diperkirakan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun, untuk empat komoditas (kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula konsumsi) selain dari produksi dalam negeri, juga dari subtitusi impor. Ketersediaan dalam kondisi aman dan terkendali," kata Syahrul.