Problem menahun terkait tata kelola pangan membutuhkan solusi dan kebijakan yang berorientasi jangka panjang. Gejolak harga sejumlah komoditas membuktikan bahwa problem tak bisa diatasi dengan kebijakan ”analgesik”.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Pulihnya permintaan warga dunia, setelah dua tahun dihantam Covid-19, mendorong kenaikan harga sejumlah komoditas perdagangan. Tak terkecuali pangan. Situasi geopolitik yang memanas seiring konflik Rusia-Ukraina menambah kompleks problem perdagangan global. Situasi itu mengingatkan lagi pentingnya mengelola dan mengupayakan kemandirian pangan domestik.
Akan tetapi, sebelum segenap situasi itu terjadi, tata kelola pangan masih menjadi problem yang belum usai dibenahi di dalam negeri. Sayangnya, penanganannya kerap kali setengah hati, reaktif setiap gejolak muncul. Ibarat sakit yang diredam dengan analgesik atau obat pereda nyeri. Masalah tertangani dalam jangka pendek, tetapi sumbernya belum tersentuh sehingga ”penyakit” kambuh lagi di kemudian hari.
Gejolak kedelai, misalnya, berulang setiap harganya melonjak tinggi. Tingginya ketergantungan Indonesia pada kedelai impor membuat produsen tempe dan tahu menjerit setiap harga kedelai naik. Situasi itu berulang pada awal 2022. Para produsen tahu-tempe sampai mogok produksi beberapa hari.
Sejak akhir 2021, harga kedelai impor memang meroket naik. TradingEconomics mencatat, harga kedelai naik dari 11,78 dollar AS per gantang pada 8 November 2021 menjadi 17,16 dollar AS per gantang pada 23 Maret 2022. Angka itu menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir atau setelah melejit hingga 17,62 dollar AS per gantang pada tahun 2012.
Faktor cuaca, China yang memborong kedelai untuk industri ternak, serta ketegangan Rusia-Ukraina mendongkrak harga kedelai. Kedelai dari Amerika Serikat dan Brasil, dua produsen kedelai terbesar, jadi rebutan. Situasi itu sejatinya membuka peluang bagi kedelai lokal. Sayanganya, saat dibutuhkan, barangnya tidak ada.
Tiga tahun terakhir, produksi kedelai dalam negeri terus menurun, yakni dari 424.190 ton di tahun 2019, menjadi 290.250 ton tahun 2020, dan 215.000 ton pada tahun 2021. Selain kalah kompetitif dibandingkan dengan kedelai impor, kedelai lokal juga harus bersaing dengan tanaman palawija lain. Apalagi, selama ini, sebagian besar kedelai ditanam di lahan yang sama dengan padi atau jagung.
Rendahnya harga dan ketiadaan insentif membuat petani meninggalkan kedelai. Menurut Survei Panel Petani Nasional 2021, dalam analisis kelayakan usaha tani kedelai di lahan sawah tadah hujan, kedelai terendah dalam perbandingan pendapatan, yakni Rp 1,23 juta, sementara dari jagung Rp 4,19 juta, kacang tanah Rp 4,21 juta, dan kacang hijau Rp 1,88 juta.
Peluang mengangkat kedelai lokal yang nyaris datang tiap tahun itu kembali ditangkap. Direktorat Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, misalnya, menargetkan produksi 1 juta ton kedelai tahun ini. Caranya, antara lain, dengan melibatkan pihak penyerap atau off-taker sebagai avalis (penjamin) kredit usaha bagi petani.
Akan tetapi, tata kelola kedelai tak hanya soal produksi. Sebab, tak berkembangnya kedelai lokal juga koheren dengan masifnya kedelai impor. Selama ini, impor kedelai dilakukan secara bebas oleh swasta. Dalam rapat 22 Maret 2022, Kementerian Pertanian dan Komisi IV DPR RI pun menyepakati untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar kedelai masuk sebagai barang larangan terbatas (lartas).
Selain kedelai, harga daging sapi juga bergejolak seiring meningkatnya harga sapi bakalan impor dari Australia. Sejumlah pedagang daging sapi di pasar tradisional juga sempat mogok berjualan karena jumlah pembeli menurun kala daging sapi melonjak hingga sekitar Rp 145.000 per kilogram.
Selama ini, Australia menjadi pemasok tunggal pada impor bakalan sapi. Hal itu menyebabkan Indonesia tidak bisa berbuat banyak saat suplai berkurang atau saat harganya naik. Pada awal Maret 2022, misalnya, harga sapi bakal mencapai sekitar 4,45 dollar AS per kg bobot hidup, naik dibandingkan dengan situasi November 2021 yang masih 3,9 dollar AS per kg.
Pemerintah pun merespons situasi itu, antara lain dengan mobilisasi sapi lokal dari sentra produksi ke sentra konsumen terbesar, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Namun, respons itu sejatinya hanya ”obat pereda nyeri” yang membutuhkan langka jangka panjang. Harapannya, gejolak serupa dapat ditekan di kemudian hari.
Badan Pangan Nasional dalam data prognosis neraca pangan nasional 2022 menyebutkan, kebutuhan beras, jagung, bawang merah, cabai merah keriting, cabai rawit merah, daging ayam ras, telur ayam ras, dan minyak goreng dapat sepenuhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula konsumsi, diperlukan pasokan impor.
Jembatan
Salah satu problem menahun terkait tata kelola pangan ialah egosektoral antarkementerian/lembaga. Kementerian Pertanian tentu bakal mengutamakan produksi dalam negeri. Sementara Kementerian Perdagangan menekankan pada aspek ketersediaan dan stabilitas harga. Tarik menarik di antara keduanya menguji efektivitas solusi yang ditempuh pemerintah. Apakah kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan sejalan dengan tujuan jangka panjang?
Kini, harapan besar tertuju pada Badan Pangan Nasional, lembaga yang pembentukannya merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden RI itu dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021. Lalu pada 21 Februari 2022, Presiden Joko Widodo akhirnya melantik Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional.
Sesuai regulasi, ada sembilan komoditas pangan yang menjadi wilayah tugas Badan Pangan Nasional, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Menurut Arief, ada ego sektoral yang selama ini terkadang membuat pengambilan keputusan jadi lebih lama. Oleh karena itu, ia beberapa kali menekankan pentingnya kolaborasi dan sinergi dalam membenahi tata kelola pangan nasional.
Implementasinya memang tidak mudah. Namun, koordinasi lintas kementerian/lembaga serta instansi lain yang terkait bakal menjadi ujian. Ke depan Badan Pangan Nasional diharapkan mampu mengembangkan produksi dalam negeri, mengelola distribusi, serta bertaji saat menghadapi tarik ulur terkait pangan. Pengelolaan pangan diharapkan lebih optimal dengan terjaganya keseimbangan antara kesejahteraan petani, pemenuhan kebutuhan dalam negeri, serta harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Di tengah situasi global yang serba tak pasti, kemandirian dan kedaulatan pangan negara diuji. Oleh karena itu, segenap problem semestinya diatasi dengan cermat dan tujuan jangka panjang. Bukan dengan jurus reaktif dan analgesik yang hanya meredakan nyeri sementara.