Peningkatan Konsumsi Pertalite Bakal Tambah Beban Fiskal
Migrasi pengguna bahan bakar minyak dari Pertamax ke Pertalite dinilai bakal semakin menambah beban keuangan pemerintah. Sebab, Pertalite kini jadi bahan bakar khusus penugasan yang mendapat kompensasi dari pemerintah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan harga bahan bakar minyak, yakni antara jenis Pertamax yang dijual dengan harga Rp 12.500 per liter dan Pertalite yang dijual Rp 7.650 per liter, diperkirakan memicu migrasi konsumsi bahan bakar. Perpindahan tersebut dinilai bakal menambah beban keuangan pemerintah mengingat Pertalite kini menjadi jenis bahan bakar khusus penugasan atau JBKP.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Westri Kekalih, saat dihubungi, Selasa (5/4/2022), mengatakan, tingginya selisih harga Pertamax dan Pertalite, yakni mencapai Rp 4.850, berpotensi mengalihkan sebagian pengguna Pertamax ke Pertalite yang harganya lebih murah.
Menurut dia, pengguna Pertamax yang merupakan kelompok menengah ke atas sebenarnya inelastis atau tak terlalu peka terhadap perubahan harga. ”Namun, terkadang ekspektasi juga memberi pengaruh. Sebenarnya mereka mampu, tetapi secara emosi dan ekspektasi shock (gegar) sehingga akan berusaha migrasi,” kata Westri.
Apabila migrasi ini terus terjadi, dipastikan ada peningkatan permintaan terhadap Pertalite, yang juga berpotensi menyebabkan kelangkaan. Terlebih, tahun ini pemerintah sudah membolehkan mudik Lebaran dan merupakan kebijakan yang pertama kali sejak pandemi Covid-19. Apabila permintaan Pertalite melonjak, beban pemerintah akan meningkat karena BBM jenis tersebut mendapat kompensasi dari pemerintah.
”Bicara asumsi fiskal pada 2022, kan, masih dengan harga minyak 60-65 dollar AS per barel, sedangkan kini harganya melejit di atas 100 dollar AS per barel. Menurut saya, ini jadi persoalan karena akan ada tekanan kuat pada fiskal. Pekerjaan pemerintah akan luar biasa karena sebelumnya ada juga (pengeluaran untuk) penanganan pandemi,” ujar Westri.
Penyesuaian harga Pertalite, kata Westri, mau tidak mau harus dilakukan. ”Pada jangka panjang, nantinya orang pasti akan menyesuaikan. Namun, dalam jangka pendek, yang penting bagi pemerintah dan Pertamina ialah mengantisipasi migrasi. Ketersediaan Pertalite harus dipastikan. Kelangkaan akan membuat orang semakin shock,” katanya.
Westri menambahkan, pemerintah juga perlu memperkuat edukasi kepada masyarakat tentang fluktuasi ekonomi. Sentimen pasar, katanya, mudah tersulut atau tersentuh, terutama di awal perubahan harga yang dapat menyebabkan orang panik. Namun, lama-kelamaan, pada akhirnya orang-orang akan menyesuaikan.
Saat dikonfirmasi terkait kepastian ketersediaan Pertalite, Selasa, Penjabat Sementara Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, stok Pertalite cukup aman. ”Saat ini berada di posisi 17 hari dan kilang terus memproduksi. Stok akan kami jaga, terutama dalam mendekati mudik Lebaran nanti. Semua SPBU akan kami pasok sesuai kebutuhan,” kata Irto.
Sebelumnya, Senin (4/4/2022), Irto mengakui adanya peningkatan permintaan Pertalite pada Jumat-Sabtu (1-2/4/2022). Namun, belum dapat dipastikan apakah itu dari konsumen Pertamax yang beralih ke Pertalite atau hal lain.
”(Sebab), pada Kamis malam masyarakat memenuhi tangki kendaraan dengan Pertamax. (Pergeseran) ini belum bisa dilihat trennya. Ini temporary (sementara). Kita akan lihat dalam 1-2 minggu ke depan,” kata Irto, yang juga memastikan tidak ada pembatasan dalam distribusi Pertalite.