PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM nonsubsidi jenis pertamax (RON 92) dari Rp 9.200 per liter menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter mulai Jumat (1/4/2022) pukul 00.00.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Tingginya disparitas harga antara bahan bakar minyak atau BBM jenis pertamax, yang baru naik menjadi Rp 12.500 per liter, dengan pertalite seharga Rp 7.650 per liter dinilai berpotensi menekan ketersediaan pertalite. Selain perlunya jaminan distribusi, mekanisme subsidi energi BBM secara tertutup perlu dipercepat.
PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM nonsubsidi jenis pertamax (RON 92) dari Rp 9.200 per liter menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter mulai Jumat (1/4/2022) pukul 00.00. Adapun harga pertalite (RON 90), yang telah ditetapkan menjadi jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP), tetap Rp 7.650 per liter.
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov, saat dihubungi Jumat (1/4/2022), mengatakan, kenaikan harga pertamax sekitar 38 persen sebenarnya telah diantisipasi dengan penetapan sebagai JBKP yang menggantikan premium.
Akan tetapi, dengan kondisi itu, ada potensi shifting (pergeseran) cukup signifikan dari pertamax ke pertalite. ”Dengan adanya disparitas harga, masih ada pilihan bagi masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih murah. Hal ini harus diantisipasi karena ada risiko terjadinya peningkatan permintaan sangat tinggi. Distribusi pasokan pertalite ini harus dipastikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebagian konsumen pertamax akan loyal karena mengedepankan kualitas. Artinya, tetap menggunakan BBM sesuai dengan spesifikasi kendaraan. Namun, dari sisi rasionalitas, dengan adanya disparitas tinggi, dapat menggoyahkan sebagian pengguna. Misalnya, pada pekerja yang saat ini yang kebutuhannya meningkat, tetapi penghasilannya tidak naik.
Kenaikan harga pertamax itu, kata Abra, terjadi saat ada fenomena demand pull inflation, tidak hanya cost push inflation. Pasalnya, saat ini mobilitas dan aktivitas ekonomi masyarakat juga semakin tinggi seiring tren melandainya Covid-19. Terlebih, segera memasuki bulan Ramadhan. Peningkatan permintaan akan menekan suplai pertalite.
Apabila tak diantisipasi, kuota pertalite berpotensi jebol. ”Karena itu, pemerintah perlu mempercepat mekanisme subsidi energi secara tertutup, salah satunya pada pertalite. Pemerintah jangan membuang-buang waktu. Jangan jadi bom waktu. Sebab, saat ini mekanismenya terbuka. Kendaraan roda empat mewah pun bisa membeli pertalite," ujarnya.
Menurut Abra, menuju transisi subsidi tertutup, yang paling feasible dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah mengeluarkan regulasi pembatasan. Misalnya, pelarangan kendaraan roda empat pribadi, dengan spesifikasi tertentu, untuk membeli pertalite. Namun, transportasi umum tetap dibolehkan membeli pertalite.
”(Pelarangan itu) dari sisi keadilan juga masuk akal. Selama ini sepeda motor sekali beli 3-5 liter, sedangkan mobil bisa 20-30 liter sehingga dari sisi keadilan yang lebih menikmati justru kendaraan roda empat itu. Dengan adanya regulasi itu, setidaknya dapat menahan potensi jebolnya pertalite,” ucapnya.
Di sisi lain, kata Abra, pemerintah juga perlu menggencarkan narasi bahwa kenaikan harga BBM memang terjadi akibat mekanisme pasar akibat melonjaknya harga minyak mentah. Selain itu, sifatnya juga temporer. ”Ini juga jadi pelajaran penting karena idealnya, kenaikan harga BBM dilakukan bertahap, tidak langsung 38 persen seperti ini,” ujarnya.
Kendaraan listrik
Terkait kendaraan listrik, Abra menilai transisinya memang perlu dimulai secara bertahap. Namun, pengembangan kendaraan listrik juga membutuhkan investasi besar. Tak hanya terkait stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) atau infrastruktur, tetapi juga dari industri otomotifnya dan kesiapan masyarakat dalam mengadopsi.
Dengan beragam tantangan, perlu diperjelas dulu sisi mana yang akan segera ditingkatkan, tetapi tak serta merta kendaraan listrik langsung menjadi solusi atas ketergantungan pada energi fosil. ”Ke arah sana tetap perlu, dalam artian memberi pilihan pada pasar. Nanti konsumen melihat sendiri mana yang lebih efisien. Apabila demand meningkat, pasti investor juga akan berlomba mengembangkan kendaraan listrik dan ekosistemnya,” katanya.
Penjabat Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menuturkan, dengan ditetapkannya pertalite sebagai JBKP, akan ada kompensasi dari pemerintah. Namun, pihaknya tetap berharap masyarakat tak beralih dari pertamax ke pertalite. Pertamina bakal terus menyosialisasikan dan mengedukasi agar penggunaan BBM sesuai dengan spesifikasi kendaraan.
Ia memastikan ketersediaan dan penyaluran, termasuk kaitannya dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri. ”Kami sudah menyiapkan satgas dalam menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. SPBU-SPBU dan Pertashop juga siaga. Masyarakat tak perlu khawatir akan stok dan penyaluran. Stok ada di level yang sangat baik, pada posisi 20 hari,” ujar Irto.
Berdasarkan data Pertamina terbaru, stok solar sebanyak 1,9 juta kiloliter untuk 23,27 hari. Stok pertalite tercatat 1,15 juta kiloliter untuk 15,7 hari. Adapun stok pertamax sebanyak 927.137 kiloliter untuk 25,99 hari. Untuk pertamina Dex, stoknya 29.212 kiloliter untuk 23,41 hari (Kompas, 1/4/2022).