Ketentuan Baru Dikhawatirkan Tekan Minat Berinvestasi dan Bertransaksi Nontunai
Ketentuan baru tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas penyelenggaraan teknologi finansial dikhawatirkan mengurangi minat masyarakat berinvestasi di platform tekfin dan bertransaksi secara nontunai.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai 1 Mei 2022, layanan yang disediakan oleh perusahaan teknologi finansial, mulai dari pinjam-meminjam uang, dompet elektronik, sampai bayar kemudian, dikenai Pajak Penghasilan atau PPh dan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Keputusan pemerintah ini terangkum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Akan tetapi, ketentuan baru tentang perpajakan itu dikhawatirkan mengurangi minat masyarakat berinvestasi di platform pinjam-meminjam uang atau bertransaksi nontunai. Padahal, pemerintah telah sejak lama mendorong terwujudnya masyarakat nontunai atau cashless society.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor, dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (5/4/2022), menyatakan, peraturan itu mengandung prinsip perlakuan setara pengenaan PPN atas transaksi digital dan konvensional. Dia menegaskan, tidak ada obyek pajak baru dalam ekonomi digital. ”Hanya cara orang bertransaksi di layanan ekonomi digital yang berbeda dengan transaksi konvensional,” ujarnya.
Neilmaldrin menambahkan, uang elektronik di dalam suatu media merupakan barang tidak dikenai pajak atau non-BKP. Jasa meminjamkan atau menempatkan dana oleh kreditor kepada debitor melalui platform layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dan jasa asuransi melalui platform merupakan jasa kena pajak yang dibebaskan dari PPN.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 ditetapkan oleh Menkeu Sri Mulyani pada 30 Maret 2022. Peraturan ini mulai berlaku 1 Mei 2022. ”Jasa penyediaan platform pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dan sarana/sistem pembayaran merupakan jasa kena pajak,” kata Neilmaldrin.
Dalam konteks layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, pemberi pinjaman dikenai PPh Pasal 23 dengan tarif 15 persen dari jumlah bruto bunga jika dia merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Sementara jika pemberi pinjaman merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, pemberi pinjaman dikenai PPh Pasal 26 dengan tarif 20 persen dari jumlah bruto bunga. Penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi membuat satu bukti pemotongan PPh atas seluruh transaksi pembayaran bunga pinjaman yang diterima oleh satu pemberi pinjaman dalam satu masa pajak.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022, PPN dikenakan atas delapan jenis jasa penyelenggaraan teknologi finansial. Kedelapan jenis jasa yang dimaksud meliputi jasa pembayaran, penyelenggaraan penyelesaian transaksi investasi, penghimpunan modal, pinjam-meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi daring, layanan pendukung pasar, serta pendukung keuangan digital dan aktivitas jasa keuangan lainnya.
Dalam peraturan yang sama, uang dalam media elektronik yang termasuk poin bonus merupakan barang yang tidak dikenakan PPN. Kemudian, jenis layanan uang dan dompet elektronik yang dikenakan PPN meliputi registrasi pemegang uang elektronik, isi ulang, pembayaran transaksi, tagihan, transfer dana, tarik tunai melalui pihak lain, dan bayar kemudian (paylater).
Sumber baru
Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Santoso Liem saat dihubungi, Rabu (6/4/2022), di Jakarta, berpendapat, di satu sisi asosiasi memahami pemerintah membutuhkan sumber-sumber baru penerimaan pajak untuk membantu pemulihan dari pandemi Covid-19. Sementara di sisi lain, pengenaan PPN atas jasa penyelenggara teknologi finansial, seperti penyedia jasa pembayaran, menimbulkan kesan di masyarakat bahwa segala macam transaksi terkena pajak.
”Kami masih menunggu pemerintah mengeluarkan petunjuk pelaksana secara mendetail. Saat keluar petunjuk pelaksana, kami bisa meninjau manfaat dan dampaknya kepada perekonomian masyarakat,” ujar Santoso.
Vice President Marketing and Communications Kredivo Indina Andamari mengatakan, Kredivo siap membantu dan mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional, termasuk melalui kebijakan penerapan pajak bagi layanan bayar kemudian yang akan dibebankan kepada pihak pemberi kredit. Kredivo akan tetap fokus memberikan layanan keuangan yang cepat, mudah diakses, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
”Selain itu, kami juga terus berupaya memberikan bunga terendah dan memperluas jangkauan layanan kami bagi 10 juta pengguna dalam beberapa tahun ke depan. Terlepas dari adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022, kami masih optimistis industri teknologi finansial di bidang bayar kemudian akan tetap tumbuh. Sebab, kami percaya bahwa masyarakat itu masih tetap membutuhkan alternatif pilihan metode pembayaran yang fleksibel di tengah rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia,” ujar Indina.
Secara terpisah, Head of Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda saat dihubungi menilai, keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 dipakai oleh pemerintah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan kebijakan antara penyelenggara layanan keuangan tradisional dan berbasis teknologi. Pada saat bersamaan, dia juga sependapat dengan Santoso bahwa peraturan itu digunakan pemerintah untuk mencari sumber-sumber baru penerimaan pajak.
Pengenaan pajak kepada layanan teknologi finansial seharusnya memperhatikan karakteristik pasar layanan.
Pengenaan pajak kepada layanan teknologi finansial seharusnya memperhatikan karakteristik pasar layanan. Sebagai contoh, layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Nailul menjelaskan, di dalam satu platform layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi biasanya terdapat pemberi dan penerima pinjaman. Kenaikan jumlah penerima pinjaman biasanya diikuti dengan pertambahan pemberi pinjaman, dan begitu pula sebaliknya.
”Ketika pemerintah mengenakan PPh kepada penghasilan bunga kepada pemberi pinjaman, hal ini berpotensi menurunkan minat masyarakat, terutama individu warga, untuk berinvestasi di layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi,” ujar Nailul.
Lebih jauh, dia mengatakan, pemerintah sejak lama mendorong masyarakat nontunai atau cashless society. Aktivitas masyarakat bertransaksi nontunai pun tengah mengalami kenaikan sejak pandemi Covid-19. Ketika pemerintah mengenakan PPN atas jasa penyelenggaraan teknologi finansial, seperti layanan uang dan dompet elektronik, dia khawatir kebijakan itu berpengaruh negatif terhadap langkah warga yang tengah beradaptasi ke cashless society.