Dominasi impor produk akhir besi dan baja membuat produsen lokal sulit bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah. Ada beberapa dugaan modus penyalahgunaan yang membuat impor besi baja sulit dibendung.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utilisasi industri baja nasional tergerus oleh derasnya arus impor produk jadi besi dan baja. Kasus dugaan korupsi surat penjelasan pengecualian impor yang kini sedang ditangani Kejaksaan Agung dinilai dapat menjadi pintu masuk untuk membenahi tata kelola impor dan memperkuat industri besi dan baja dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Krakatau Steel, volume impor HS 72 (produk jadi besi dan baja) sepanjang tahun 2021 meningkat 22 persen dari 4,75 juta ton pada tahun 2020 menjadi 5,80 juta ton. Porsi impor terbesar adalah produk baja cold rolled coil/sheet (CRC/S) sebanyak 1,85 juta ton, meningkat hingga 73 persen dibandingkan tahun 2020.
Sejalan dengan itu, nilai impor besi dan baja sepanjang 2021 juga melonjak. BPS mencatat, impor besi dan baja mencapai 5,34 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 76,8 triliun (kurs Rp 14.357 per dollar AS). Jumlah tersebut meningkat hingga 66 persen dibandingkan nilai impor pada tahun 2020 yang sebesar 3,22 miliar dollar AS atau setara Rp 46,3 triliun.
Kenaikan impor terus terjadi di awal tahun ini. Pada Januari-Februari 2022, nilai impor besi dan baja 2,34 miliar dollar AS atau Rp 33,71 triliun, meningkat 75,2 persen dibandingkan dengan periode Januari-Februari 2021 dengan nilai impor 1,33 miliar dollar AS atau Rp 19,24 triliun.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, Jumat (1/4/2022), mengatakan, dominasi impor produk akhir besi dan baja yang semakin tinggi itu membuat produsen lokal sulit bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.
”Harga yang ditawarkan tergolong murah karena mereka diberikan subsidi oleh pemerintah asalnya dan bisa menekan cost minimum. Ini menjadi salah satu praktik dagang yang tidak adil yang kerap terjadi,” katanya.
Disparitas harga yang cukup tinggi antara besi dan baja lokal dengan impor itu, khususnya asal China, membuat rata-rata utilisasi industri baja nasional selalu berada di bawah 60 persen. Idealnya, utilisasi industri perlu mencapai 80 persen untuk mendapat keuntungan sepadan dan bertumbuh optimal.
Andry berpendapat, ada beberapa modus penyalahgunaan yang membuat impor besi dan baja sulit dibendung. Selain praktik dumping atau mengekspor besi dan baja dengan harga jauh lebih murah untuk menguasai pasar negara lain, ada pula modus circumvention atau pengalihan kode HS demi menghindari terkena bea masuk di negara tujuan dan demi mendapat potongan pajak ekspor (tax rebate) dari negara asal.
Modus lainnya adalah penyalahgunaan izin impor sebagaimana saat ini sedang diusut oleh Kejaksaan Agung. Persetujuan impor selama ini dinilai belum sepenuhnya mempertimbangkan kemampuan suplai industri baja nasional. ”Ini perlu diusut secara mendalam, apakah selama ini ada pemberian privilege kepada beberapa importir agar mendapatkan izin impor produk jadi besi dan baja, yang kemudian bisa saja dipakai di proyek-proyek strategis nasional?” kata Andry.
Persetujuan impor selama ini dinilai belum sepenuhnya mempertimbangkan kemampuan suplai industri baja nasional.
Baru-baru ini Kejaksaan menaikkan status dugaan kasus korupsi impor besi dan baja pada tahun 2016-2021 ke tahap penyidikan. Pada Rabu (30/3/2022), Kejaksaan menggeledah kantor Kementerian Perindustrian dan menyita dua barang bukti. Sementara, minggu lalu, Kejaksaan menggeledah kantor Kementerian Perdagangan lalu menyita puluhan dokumen dan perangkat elektronik sebagai bukti.
Dalam kasus tersebut, diduga terjadi penyelewengan penggunaan surat penjelasan pengecualian ketentuan importasi besi baja yang melibatkan enam perusahaan importir. Surat itu diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berdasarkan permohonan dari importir.
Keenam perusahaan itu beralasan impor diperlukan untuk menyelesaikan konstruksi proyek pembangunan jalan dan jembatan dengan sejumlah BUMN, seperti PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Nindya Karya, dan PT Pertamina Gas. Namun, berdasarkan keterangan keempat perusahaan BUMN terkait, tidak ada kerja sama pengadaan material sebagaimana dimaksud.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya, pengecualian aturan impor memang dimungkinkan untuk baja yang diimpor bagi keperluan lembaga pemerintah atau proyek pembangunan strategis. Untuk mendapat pengecualian, importir harus terlebih dahulu mendapatkan surat penjelasan pengecualian dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Haryadi mengatakan, penyidikan yang sedang dilakukan Kejagung dapat menjadi pintu masuk untuk membenahi tata kelola impor besi dan baja yang sudah lama bermasalah. Tidak cukup hanya sampai pemain di sektor swasta, menurutnya, persoalan ini juga perlu ditelisik sampai ke tingkat kementerian sebagai pemberi izin importasi.
”Ini pintu masuk, tapi kami harap tidak berhenti sampai di sini saja. Ada banyak kasus lain terkait permainan kuota impor ini, bahkan yang lebih besar. Perlu ditelisik, apakah importasi ini murni untuk pemenuhan bahan baku atau demi mengeruk keuntungan sebesar mungkin?" tutur Bambang, yang juga pimpinan Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Impor Bahan Baku Industri.
Ia menduga, jika tidak segera dibenahi, impor besi dan baja ke depan akan semakin membeludak dan melemahkan industri dalam negeri. Apalagi, di tengah proyek besar pembangunan ibu kota negara baru yang akan membutuhkan banyak material besi dan baja dalam waktu dekat.
”Naiknya impor dalam beberapa bulan terakhir ini bukan tanpa sebab. Kami menduga ini ada kaitannya dengan rencana pemerintah membangun ibu kota baru. Selisihnya (harga) dengan produk besi dan baja dalam negeri memang jauh, sekitar 30 persen sehingga ada indikasi material dibeli dari luar negeri,” kata Bambang.