Bahan Baku Melimpah, Konsumsi Baja Berpotensi Dipenuhi dari Dalam Negeri
Hingga sekarang, masih ada kesenjangan antara produksi dan konsumsi besi baja domestik. Berbagai solusi bisa dilakukan, mulai dari perbaikan sisi hulu tambang besi hingga dukungan kemudahan investasi dari pemerintah.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan baja nasional selama lima tahun terakhir mengalami tren kenaikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Namun, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak bisa dilakukan sendiri oleh produksi dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2016 konsumsi baja (apparent steel consumption) mencapai 12,7 juta ton, dengan produksi dalam negeri 6,6 juta ton dan impor 6,9 juta ton. Pada 2017, konsumsi sebesar 13,6 juta ton, dengan produksi dalam negeri 7,9 juta ton dan impor 7,1 juta ton. Kemudian, tahun berikutnya, konsumsi telah naik menjadi 15,1 juta ton, dengan produksi dalam negeri 10 juta ton dan impor 7,6 juta ton.
Pada 2019, apparent steel consumption kembali meningkat menjadi 15,9 juta ton, dengan produksi 10,9 juta ton dan impor 8,4 juta ton. Adapun pada tahun 2020, Ketua Kelompok Kerja Konservasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Donny P Simorangkir menyebutkan, industri baja domestik memiliki kapasitas produksi sekitar 13 juta ton. Dengan proyeksi konsumsi 15 juta ton, Indonesia akan mengimpor sekitar 2 juta ton.
Menurut dia, dari sisi hulu, Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya pasir besi/bijih besi laterit. Saat ini, untuk komoditas besi, ada 103 pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan dua kontrak karya. Sebagian besar dari mereka berada di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Namun, Indonesia memiliki beberapa kelemahan, seperti kapabilitas yang rendah dalam mengakses bahan baku.
”Sumber daya dan cadangan pasir besi pun belum terukur maksimal. Padahal, dalam Strategi Besar Komoditas Minerba sampai 2045, harus ada ketahanan cadangan dan optimalisasi produksi bahan baku industri. Maka, kami rasa perlu terlebih dulu ada basis data sumber daya cadangan bijih besi dan pasir besi yang terverifikasi, serta beraliansi global dengan tambang luar negeri guna mendapatkan akses bahan baku yang kompetitif,” tuturnya saat menghadiri webinar Nikel, Kobalt, dan Besi: Strategi Hilirisasi Industri Metalurgi untuk Daya Saing Bangsa, Kamis (4/11/2021), di Jakarta.
Donny juga menyampaikan, saat pengolahan bijih besi menjadi produk antara, masih sedikit industri yang mengolahnya. Beberapa faktor tantangan yang mempengaruhinya seperti sumber daya manusia, teknologi, dan investasi.
Dewan Penasihat Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) R Sukhyar berpendapat senada. Sumber daya alam berupa bijih besi di Indonesia itu menyebar. Badan Geologi Kementerian ESDM bisa didorong untuk ambil bagian mengidentifikasi secara rinci persebarannya.
”Indonesia memiliki kekuatan di sumber daya pasir besi, tetapi lemah di teknologi pemrosesan. Ini juga membuat Indonesia tetap harus impor,” katanya.
Menurut Sukhyar, hal penting lainnya ialah mengidentifikasi serapan hasil para IUP besi dan mengevaluasi produksi nickel pig iron (NPI)–feronikel berkadar rendah yang biasa dipakai sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat–serta pembelinya. Pemerintah bersama pelaku industri baja nasional juga perlu memiliki strategi khusus inovasi teknologi agar lebih kompetitif.
”Ancaman geopolitik pun harus diwaspadai. Kalaupun kini sudah ada strategi besar menuju 2045, kami harap jangan sampai ada inkonsistensi regulasi ataupun kebijakan yang menghalangi industri baja nasional untuk maju,” ujar Sukhyar.
Direktur Produksi PT Krakatau Steel Djoko Mulyono menilai, teknologi untuk memaksimalkan pemanfaatan pasir besi harus menjadi prioritas seluruh pemangku kepentingan di industri baja nasional, karena cadangan pasir besi melimpah dan mempunyai kandungan yang bernilai tambah tinggi. Kesiapan dan kesediaan infrastruktur yang menujang serta suplai energi ke industri baja nasional perlu dibangun. Hal itu bisa menarik investasi dari sisi hulu besi baja.
”Kami juga memandang perlu dorongan investasi lebih ke industri pengolahan,” ujarnya.
Saat ini telah terjadi pergeseran kenaikan produksi baja dunia ke negara seperti Vietnam dan China. Korea Selatan pun terus berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas produksi besi baja. Menurut Djoko, hal itu perlu diwaspadai demi kelangsungan industri besi baja nasional.
”Dengan situasi sekarang, kami harap pemerintah mendukung, baik dari sisi kemudahan investasi bagi pelaku industri baja nasional maupun kebijakan lain yang berpihak, seperti mungkin pembatasan impor produk baja,” kata Djoko.