Harga jual biosolar yang disubsidi jauh di bawah harga keekonomian. Penambahan kuota biosolar seperti yang diminta DPR berpotensi menekan APBN.
Oleh
MEDIANA, ADITYA PUTRA PERDANA, NIKSON SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan DPR kepada pemerintah untuk menambah kuota biosolar sebanyak 2 juta kiloliter tahun ini harus dibarengi dengan antisipasi tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasalnya, harga jual biosolar yang sebesar Rp 5.150 per liter jauh di bawah harga riil yang lebih dari Rp 10.000 per liter.
Sebelumnya, Komisi VII DPR mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menambah kuota biosolar sebanyak 2 juta kiloliter (Kompas, 30/3/2022). Dengan demikian, permintaan tersebut akan menjadikan kuota biosolar 2022 naik dari 15,1 juta kiloliter menjadi 17,1 juta kiloliter. Desakan tersebut untuk mengatasi kekurangan pasokan biosolar di sejumlah daerah akhir-akhir ini.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, agar beban APBN tidak semakin berat, penambahan kuota biosolar tahun ini sebaiknya diikuti penyesuaian harga yang mengikuti harga keekonomian. Dengan begitu, beban negara berkurang karena masyarakat membayar untuk kenaikan harga biosolar.
”Harga komoditas (biodiesel dari minyak kelapa sawit mentah/CPO) yang dipakai untuk campuran biosolar memang sedang tinggi. Sementara di saat bersamaan, pemerintah tidak mengantisipasi kenaikan harga komoditas itu yang diikuti tingginya permintaan seiring pemulihan ekonomi dari pandemi,” ujar Komaidi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Apabila pemerintah harus menaikkan harga biosolar, tambah Komaidi, harus dihitung dampak terhadap pengadaan barang dan jasa sebagai konsekuensi naiknya harga bahan bakar. Selain itu, daya beli masyarakat pengguna biosolar juga patut diperhitungkan. Terkait penyaluran biosolar yang merupakan bahan bakar bersubsidi, ia mengusulkan subsidi kepada orang yang berhak, bukan pada subsidi harga (barang), untuk mencegah penyelewengan.
Terkait kenaikan harga biosolar, menurut analis makroekonomi Bank Danamon, Irman Faiz, dampak terhadap inflasi diperkirakan tidak signifikan. Hal berbeda apabila harga Pertalite (bensin dengan RON 90) dinaikkan. ”Jika terjadi kenaikan harga biosolar, setiap kenaikan Rp 500 per liter akan berdampak sekitar 0,05 sampai 0,08 poin persentase terhadap inflasi,” ucap Irman.
Apabila pemerintah harus menaikkan harga biosolar, harus dihitung dampak terhadap pengadaan barang dan jasa sebagai konsekuensi naiknya harga bahan bakar.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, harga biosolar saat ini jauh di bawah harga keekonomian. Dengan harga jual Rp 5.150 per liter, terdapat selisih Rp 7.800 per liter dengan harga sesungguhnya. Padahal, penjualan biosolar mencapai 97 persen, sedangkan solar nonsubsidi memakan porsi 3 persen saja.
Meski permintaan solar meningkat, menurut Nicke dalam siaran pers, Rabu, pihaknya terus mengupayakan pasokan biosolar lancar dan tepat sasaran. Sampai Februari 2022, penyaluran biosolar telah dipenuhi Pertamina hingga mengalami kenaikan sekitar 10 persen dari kuota semestinya.
”Pertamina dan pemerintah sepakat merelaksasi penyaluran kuota, khususnya untuk daerah yang sudah melampaui batas kuota sehingga dinormalisasi dengan penambahan pasokan biosolar sesuai permintaan di wilayah-wilayah yang mengalami antrean,” kata Nicke.
Nicke menambahkan, saat ini pasokan solar di Indonesia sebanyak lebih dari 1,9 juta kiloliter per hari atau cukup untuk kebutuhan selama 23 hari.
Kelangkaan biosolar terjadi dua pekan terakhir di Sumut dan sepanjang Jalan Lintas Sumatera. Namun, pantauan Kompas, biosolar mulai tersedia di sejumlah SPBU di Jalan Sisingamangaraja, Medan, sejak awal pekan. Antrean pun tidak panjang lagi. Sebelumnya, rata-rata SPBU di Jalan Lintas Sumatera kehabisan biosolar.
Subsidi biodiesel
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR, Rabu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, subsidi untuk biodiesel yang menjadi bahan campuran biosolar selalu naik. Pada 2015, besaran subsidi mencapai Rp 460 miliar dan naik menjadi Rp 51,86 triliun pada 2021. Penyebab kenaikan adalah lonjakan harga CPO akhir-akhir ini.
”Kemungkinan, pada 2022, apabila harga CPO tetap tinggi dan harga solar tidak naik, selisihnya (yang harus ditutup dengan subsidi) akan tetap tinggi,” kata Eddy.
Tak hanya soal kenaikan harga biosolar, wacana kenaikan harga bahan bakar lainnya juga menguat, terutama jenis Pertamax. Saat ini, Pertamax yang nonsubsidi dijual Rp 9.000 per liter. Dari perhitungan pemerintah, harga keekonomian Pertamax adalah Rp 14.500 per liter. Namun, belum ada kejelasan tentang rencana untuk menaikkan harga Pertamax tersebut.