Solar Bersubsidi Sulit Didapat, Pengusaha Perikanan Tangkap Bitung Terpukul
Kelangkaan solar bersubsidi dan kenaikan harga solar industri memukul industri perikanan tangkap di Bitung, Sulawesi Utara. Para pengusaha berharap pemerintah segera mencari cara untuk menjaga stok.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kelangkaan solar bersubsidi dan kenaikan harga solar industri memukul industri perikanan tangkap di Bitung, Sulawesi Utara. Para pengusaha berharap pemerintah dapat menjembatani kerja sama dengan pemasok solar di Sulut agar aliran pasokan ikan tidak tersendat.
Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan Sulut Budi Wahono mengatakan, kapal-kapal perikanan yang berukuran kurang dari 30 gros ton (GT) terlambat atau tidak bisa melaut karena kelangkaan stok biosolar (Rp 5.150 per liter) yang disubsidi pemerintah.
Mereka pun terpaksa beralih menggunakan solar industri, tetapi harganya melambung sampai Rp 15.000 per liter dari seharusnya Rp 12.400 (Dexlite) dan Rp 13.200 (Pertamina Dex) per liter.
”Sekarang cari solar subsidi sudah kayak cari emas, sulit sekali. Kami harus hunting (berburu) sendiri. Jadi, kami ini kayak benar-benar dibiarkan di hutan rimba. Apa hal-hal seperti ini negara tidak bisa serius mengatasi?” kata Budi, Jumat (25/3/2022), ketika dihubungi via telepon dari Manado.
CV Samudera Pangan Indonesia, perusahaan Budi yang mengekspor tuna beku, misalnya, mengalami penurunan pasokan sebanyak 50 persen dua pekan lalu. Para nelayan, kata Budi, kehilangan momentum untuk menangkap ikan yang sedang banyak di daerah perairan tertentu gara-gara harus mencari solar lebih dulu selama dua-tiga hari. Akibatnya, pasokan ikan ke pabrik-pabrik berkurang.
Jika tak ingin menunggu, biaya produksi harus direlakan membengkak. Biasanya, perusahaan Budi hanya menghabiskan Rp 41,2 juta untuk 8.000 liter solar bersubsidi yang dibutuhkan untuk sekali perjalanan sebuah kapal berukuran 6-30 GT selama dua minggu. Kini, biaya satu tripdengan solar industri bisa melonjak sampai Rp 120 juta.
Keadaan ini, lanjutnya, begitu membebani perusahaannya yang bermitra dengan lebih dari 25 kapal berukuran 6-30 GT. Pemerintah seolah-olah tak berkuasa mengatur distribusi solar. ”Ekspor perikanan ini, kan, sumber devisa negara. Banyak yang terlibat di dalamnya, mulai dari nelayan sampai eksportir. Harusnya pemerintah melindungi rantai pasok ini,” ujarnya.
Tedy, pemilik perusahaan perikanan tangkap PT Arta Samudera Pasifik, juga mengeluhkan sulitnya mencari solar bersubsidi. Kuota bagi semua nelayan di Bitung hanya 500 kiloliter (500.000 liter) sebulan sehingga nelayan kecil dan besar harus berebut.
”Kalau mau dihitung, total kapal di Bitung bisa lebih dari 1.000, dari yang besarnya 30 GT sampai kapal nelayan kecil yang pakai pancing. Jadi, kami harus rebutan. Biasanya stok sudah habis di tanggal 12 tiap bulan,” kata Tedy.
Biaya membengkak
Biaya melaut Tedy juga membengkak karena ia terpaksa menggunakan solar industri untuk 10 kapal pancing ulur (handline) yang sebetulnya berhak akan solar bersubsidi. Apalagi, dibutuhkan 8.000 liter solar untuk sekali melaut. ”Tidak apa-apa kalau dapat ikannya banyak. Kalau sedikit, ya, kami tekor,” katanya.
Para pengusaha seperti Budi dan Tedy pun berharap pemerintah bisa memperlancar distribusi solar, terutama yang bersubsidi. Perusahaan bahan bakar minyak (BBM) selain Pertamina, seperti PT AKR Corporindo, yang juga beroperasi di Bitung, mereka harapkan bisa membuka akses untuk transaksi.
Pemda harus proaktif untuk menyelesaikan permasalahan ini agar tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Apalagi, Bitung adalah salah satu pusat industri perikanan tangkap di Indonesia. Pada 2020, volume produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bitung mencapai 198.009 kilogram atau 198 ton setiap hari. Ada 60 unit pengolahan ikan (UPI), termasuk ikan beku, ikan kayu, dan ikan segar, yang tersebar di Bitung.
”Pemerintah harusnya proaktif menjembatani kami dengan depot-depot BBM. Mungkin bisa difasilitasi pembuatan MOU (nota kesepahaman) agar kami bisa mendapatkan solar nonsubsidi yang harganya wajar di kisaran Rp 12.000 per liter. Jadi, tidak akan ada pemain (mafia) yang membuat keadaan lebih semrawut,” ujar Budi.
Sementara itu, Kepala Biro Ekonomi Pemprov Sulut Lukman Lapadengan mengatakan, Gubernur Olly Dondokambey telah menggelar rapat koordinasi dengan bironya, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulut, serta instansi lain yang terlibat mengatur pasokan solar bersubsidi. Pengawasan ia sebut akan diperketat dengan bantuan kepolisian.
Pemprov Sulut juga akan meminta tambahan kuota solar bersubsidi. Sepanjang 2022, Sulut kebagian 143.987 kiloliter biodiesel. ”Angka penambahannya sedang dihitung setelah meminta masukan dari kabupaten dan kota. Nanti kami akan menyurati pemerintah pusat,” kata Lukman.
Senior Supervisor Communication dan Relations PT Pertamina MOR VII Taufiq Kurniawan juga berharap pemerintah bisa memainkan peran lebih dalam pengawasan. Yang tak kalah penting adalah penyusunan kebijakan peruntukan prioritas bagi beberapa sektor, seperti transportasi darat. ”Pemda harus proaktif untuk menyelesaikan permasalahan ini agar tidak terjadi lagi di kemudian hari,” katanya.