Berharap Kebijakan Berorientasi pada Kesejahteraan Nelayan Kecil
Kendati telah menempuh segala cara, nelayan kecil belum kunjung sejahtera. Kondisinya dinilai belum berubah dari tahun ke tahun. Mereka berharap kebijakan pemerintah berpihak kepada nelayan kecil.
KENDARI, KOMPAS — Nelayan kecil dan tradisional hingga kini masih kesulitan meningkatkan kualitas hidup. Mereka membutuhkan kebijakan yang berpihak agar usahanya berkembang dan kehidupa mereka bisa lebih sejahtera.
Abdul Majid (53), nelayan kecil di Teluk Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menyampaikan, jumlah tangkapan ikan terus menurun. Meski berbagai cara ditingkatkan, hasil tangkapan tidak sebaik beberapa tahun sebelumnya.
“Kemarin melaut dan menyebar sampai 1.000 mata pancing, dari jam 04.00 Wita sampai jam 08.00 Wita. Itu dapatnya hanya sekitar 5 kilogram (kg) ikan, seperti kerap dan kakap. Hasilnya sekitar Rp 150.000, dikurangi modal, bersihnya Rp 80.000,” kata Majid, Senin (28/3/2022).
Padahal, beberapa tahun sebelumnya, dengan jumlah mata pancing yang jauh lebih sedikit, dan waktu penangkapan yang lebih singkat, ia bisa mendapatkan ikan lebih dari 10 kg dengan mudah. Kondisi ini membuat kehidupan nelayan semakin sulit.
Jumlah ikan yang menurun, kata Majid, disebabkan penangkapan berlebih selama puluhan tahun sebelumnya. Kapal berbagai ukuran dan alat tangkap rutin datang ke wilayah itu untuk menangkap ikan. Meski berkali-kali berkonflik dengan nelayan lokal, kapal tersebut masih sering datang.
Bahkan, saat wilayah Teluk Moramo telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kapal-kapal ikan masih sering datang. Kapal-kapal ikan dengan ukuran di atas 10 gros ton lainnya rutin terlihat menangkap ikan setiap hari.
”Wilayah ini sudah masuk konservasi, dan pastinya di bawah dua mil laut, tetapi juga masih didatangi kapal berukuran besar. Kami harapkan penegakan aturan bisa lebih baik ke depannya,” kata Majid.
Terlebih lagi, nelayan kecil telah melengkapi dokumen sebagai syarat penangkapan. Jenis alat tangkap juga disesuaikan dengan aturan untuk menjaga kondisi laut tetap baik dan berkesinambungan. ”Kita harus jaga laut agar bisa makan ikan dari wilayah kita sendiri. Jangan sampai nanti untuk makan ikan saja kita harus beli dari Kendari,” katanya.
Baca juga: Peluang Koperasi Nelayan Minim
Ridwan (38), nelayan tradisional di Kendari, menyatakan, berbagai aturan telah ditetapkan pemerintah terkait penangkapan ikan. Selain dokumen lengkap, kapal juga diatur menangkap ikan di lokasi yang sesuai berat kapal dan alat tangkap.
Hanya saja, hasil tangkapan tidak banyak berubah. Sebab, kondisi di lapangan tidak banyak berubah. Kapal dengan pukat beraktivitas bebas. Nelayan yang bisa melakukan pengeboman dan bius masih sering ditemukan. Bahkan, medio 2019, ia ketemu dengan nelayan asing di perairan Wawonii, tak jauh dari Kendari.
Dengan aturan yang berlimpah saat ini, ia bingung dengan kebijakan pemerintah. Terlebih penegakan aturan belum dilakukan secara maksimal. Padahal, untuk melengkapi dokumen setiap tahun dibutuhkan biaya tidak sedikit, yakni mencapai Rp 15 juta. Setiap keluar melaut, nelayan juga harus mengeluarkan kisaran Rp 1 juta.
”Kita ini sudah kayak beli laut dengan dokumen dan persyaratan pemerintah. Tapi, di luar (perairan) masih kayak bebas-bebas saja. Kalau ada aturan baru lagi, kami semakin pusing. Maunya ya keluar menangkap ikan dengan tenang dan hasilnya banyak,” kata nakhoda kapal bagang tersebut.
Ridwan menambahkan, saat terakhir melaut, ia dan rekan-rekannya membawa pulang ikan senilai Rp 60 juta. Setelah mengeluarkan modal dan berbagai kebutuhan selama melaut, setiap anak buah kapal (ABK) mendapat sekitar Rp 2 juta. Padahal, mereka telah menghabiskan waktu sekitar lebih dari dua pekan di laut.
Muslim Tadjuddah, pakar perikanan tangkap di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo, menyampaikan, kondisi nelayan kecil tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Sejak berpuluh tahun lalu, komunitas nelayan selalu termasuk dalam kategori masyarakat miskin.
”Di mana-mana, masyarakat nelayan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka seperti ayam yang tidak bisa hidup di lumbung beras,” kata Muslim.
Di mana-mana, masyarakat nelayan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka seperti ayam yang tidak bisa hidup di lumbung beras.
Baca juga: Kelangkaan Solar Ganggu Aktivitas Nelayan
Berbagai aturan yang berlaku, kata Muslim, tidak memberikan dampak besar terhadap kehidupan mereka. Nelayan kecil masih berkutat dengan kemampuan produksi, terjebak utang, dan tidak mempunyai keterampilan lain.
Di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya area Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714, misalnya, aturan jalur penangkapan telah berlaku. Kapal dengan berat tertentu dilarang masuk dan menangkap ikan di wilayah ini. Di satu sisi, aturan ini baik untuk nelayan kecil. Dengan sendirinya, jumlah ikan akan terjaga karena wilayah ini merupakan daerah pemijahan dan berkembangbiaknya ikan.
Namun, di satu sisi, nelayan kecil dengan kapal di bawah lima gros ton tidak bisa melaut jauh. Mereka memerlukan perlengkapan, armada, dan alat tangkap yang maksimal untuk mendapatkan hasil yang baik.
”Belum lagi dengan rencana penangkapan terukur saat ini. Itu artinya membuka kesempatan ke industri untuk masuk, bahkan sampai kapal asing. Padahal, belum ada kajian mendalam akan kondisi perairan dan nelayan kecil di wilayah Indonesia,” tambahnya.
Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah melakukan riset lengkap kondisi perairan dan sosial ekonomi nelayan. Hasil riset itu yang akan menjadi tumpuan untuk mengambil kebijakan baru ke depan.
Kepala Seksi Pengelolaan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara Iman Botji menjelaskan, selama ini, nelayan kecil khususnya 0-10 gross ton memang mengalami sejumlah kesulitan, mulai dari alat tangkap, armada, hingga ancaman penangkapan destruktif.
Kondisi itu merupakan permasalahan kompleks yang terjadi sejak dulu. Sejumlah upaya terus dilakukan agar permasalahan bisa terselesaikan dan memberi dampak baik bagi nelayan secara luas.
Baca juga: Penangkapan Ikan Terukur Butuh Pengawasan Ketat
”Saat ini pemerintah telah mengeluarkan aturan pembatasan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan 714 yang meliputi semua perairan Sulawesi Tenggara, terkecuali Teluk Bone. Jadi, selain Teluk Bone, kapal dengan berat 30 gros ton dilarang menangkap ikan di wilayah ini, juga mereka yang termasuk nelayan andong,” katanya.
Pelarangan ini diharapkan berdampak lebih bagi nelayan kecil. Sebab, WPP 714 merupakan lokasi pemijahan dan berkembangnya ikan. Nelayan kecil, baik di bawah 5 GT maupun di bawah 10 GT, diupayakan jauh bisa mereguk manfaat lebih ke depannya.
”Terkait dengan aturan penangkapan terukur, kami belum tahu seperti apa detailnya. Apakah WPP 714 itu dibuka juga untuk industri, dan kapal asing, atau bagaimana. Rasanya tidak mungkin dibuka karena sekarang saja nelayan kita sudah dilarang,” harapnya.