Kesiapan pelabuhan perikanan untuk kebijakan penangkapan terukur perlu ditingkatkan. Infrastruktur antar-pelabuhan dinilai masih timpang.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan 79 lokasi pelabuhan pangkalan perikanan untuk implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur tahun ini. Peran pelabuhan disiapkan untuk pemungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sistem kontrak penangkapan dan pascaproduksi.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, kebijakan penangkapan ikan terukur menjadi momentum agar pengelolaan pelabuhan perikanan menjadi lebih baik. Secara bertahap, pihaknya menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, sumber daya manusia, dan petunjuk teknis pelaksanaan, termasuk prosedur standar operasi.
”Uji coba dan simulasi timbangan elektronik dan sistemnya sudah kita lakukan, akan kita konsolidasikan tidak hanya dengan internal, tetapi juga dengan eksternal KKP,” ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (29/3/2022).
Menurut dia, pelabuhan perikanan merupakan ujung tombak kegiatan penangkapan ikan terukur yang menyelaraskan antara ekologi dan ekonomi. Karena itu, pelabuhan harus memberikan pelayanan yang tidak berbelit-belit ke masyarakat. ”Pelabuhan perikanan harus menjadi pusat bisnis perikanan yang kondusif, aman, dan tertib melalui pembinaan dan pengendalian,” tambahnya.
Direktur Kepelabuhanan Perikanan Tri Aris Wibowo mengemukakan, SDM andal akan disiapkan, di antaranya petugas syahbandar di pelabuhan perikanan, pengolah data, pemverifikasi data pendaratan ikan, dan petugas inspeksi mutu ikan. Ia meminta pengelola pelabuhan perikanan tetap optimistis dalam melaksanakan kebijakan penangkapan ikan terukur. Evaluasi dan perbaikan akan terus dilakukan untuk peningkatan kinerja.
Secara terpisah, Ketua I Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus menyoroti infrastruktur pelabuhan perikanan yang masih minim di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 dan sumber daya manusia di pelabuhan. Kendala yang dikhawatirkan adalah kesiapan bongkar muat hingga skema ekspor, termasuk kesiapan kontainer. Di samping itu, kesulitan dalam merekrut anak buah kapal (ABK) setempat.
Dicontohkan, saat ini kapal anggota ATLI di Benoa, Bali, berjumlah sekitar 280 unit. ABK selama ini cenderung musiman dengan pergantian ABK berkisar 10.000-11.000 orang per tahun. ABK yang direkrut telah dilengkapi buku pelaut yang berbasis pelatihan keamanan dasar (BST). Namun, kelembagaan pelatihan keamanan dasar bagi ABK untuk landasan buku pelaut di Indonesia masih timpang, terutama di wilayah timur Indonesia.
Tanpa diimbangi kesiapan infrastruktur, pemindahan lokasi pelabuhan pendaratan pada sistem kontrak yang mendekati daerah produksi ikan dikhawatirkan menghambat mekanisme hulu-hilir perikanan tangkap.
”Pelaku usaha perikanan butuh kecepatan (bongkar muat) karena selesai bongkar langsung ke laut lagi. Kami berupaya menjaga mutu barang karena sudah mendapat kepercayaan di pasar ekspor. Upaya pemindahan (pangkalan) untuk ekonomi baru jangan sampai membuat pelaku usaha babak belur,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta agar petugas di pelabuhan perikanan dapat menjadi garda terdepan pelaksanaan penangkapan ikan terukur. Inovasi dan digitalisasi juga terus dilakukan sehingga kualitas pelayanan bisa lebih maksimal dan pertumbuhan ekonomi turut meningkat.